Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Ketua DPR Tak Segera Lapor Kekayaan?

16 April 2016   09:54 Diperbarui: 16 April 2016   10:02 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ternyata, Ketua DPR RI Ade Komaruddin belum juga menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertanyaannya, mengapa Ade Komaruddin yang mendukung pembahasan RUU Tax Amnesty segera dilakukan dan disahkan menjadi UU itu tak juga melaporkan LHKPN ke KPK. Terlalu sibuk dengan tugas negara atau menunggu tax amnesty diberlakukan?

Dua kemungkinan yang jadi tanda tanya itu didasari prasangka baik dan prasangka buruk. Prasangka baik, sebagai anggota DPR, pimpinan di SOKSI atau Partai Golkar, tentu jadwal kerja Ade Komaruddin tergolong sangat padat. Akibatnya, urusan LHKPN terbengkelai bertahun-tahun. Karena sibuk mengurus tugas partai dan tugas negara, dia tak bisa menyisakan waktu beberapa menit atau jam untuk mengisi LHKPN dan menyerahkannya ke KPK.

Prasangka buruk, harta kekayaan Ade Komaruddin bertambah pesat sejak terkhir mengisi LHKPN dan menyerahkannya ke KPK. Dengan alasan yang sama, pengisian jumlah harta yang bertambah banyak itu dimungkinkan tak sama dengan SPT Pajak yang diserahkannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Bahasa kasarnya, ada harta milik Ade Komaruddin yang tersembunyi dan menunggu pemberlakuan tax amnesty untuk men-clear-kannya.

Prasangka baik atau prasangka buruk terkait sikap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Ade Komaruddin yang tak segera menyerahkan LHKPN ke Komisi Pemberantasan Korupsi itu, sah-sah saja muncul. Prasangka baik karena seharusnya begitulah kita memandang pemimpin, prasangka buruk karena kenyataan ada pejabat, mantan pejabat, dan juga anggota DPR yang tak jujur mengisi SPT pajaknya. Untuk mendapat kepastian, mana yang benar di antara dua prasangka itu, Ade Komaruddin sendiri yang bisa melakukannya.

Sebagai ketua DPR, menggantikan Setya Novanto yang tergeser skandal “Papa Minta Saham”, Ade bisa jadi cermin kepatuhan anggota DPR secara keseluruhan terhadap pentingnya LHKPN dalam upaya terciptanya pemerintahan yang bersih, bebas KKN. Namun, agaknya cermin itu tak sekinclong yang diharapkan, karena LHKPN Ade Komaruddin terakhir bertahun 2010. Artinya, sudah 6 tahun dia absen LHKPN. Lama ya.

Terakhir dia lapor memang tahun 2010, namun sayangnya kekayaan Ade Komaruddin yang tercatat di Anti-Corruption Clearing House milik KPK adalah laporan 2001. Saat itu, kekayaannya tercatat Rp 1.395.641.000 dan USD 1.459. Kekayaannya sekarang, hanya Ade Komaruddin sendiri yang tahu. Yang pasti, Ade menjadi anggota DPR sejak 1997 hingga 2019 nanti. Dan riwayat hidupnya dipenuhi kiprahnya di organisasi KNPI, AMPI, SOKSI, dan Partai Golkar. Tak disebut Ade Komaruddin sebagai pengusaha.

Apa yang dilakukan ketua DPR ini, yang tak segera menyerahkan laporan LHKPN ke KPK, juga dilakukan 181 anggota DPR lainnya, 117 belum lapor masa jabatan saat ini dan 64 anggota belum pernah lapor sama sekali. Ade Komaruddin sebagai ketua DPR, punya pengikut dalam urusan LHKPN ini. Di DPRD, seperti DKI misalnya juga banyak yang belum menyerahkan LHKPN ke KPK. Padahal, sesuai UU No 28 Tahun 1999 Pasal 5, setiap penyelenggara negara baik pejabat maupun anggota DPR, wajib melaporkan kekayaannya.

Kewajiban melaporkan kekayaan penyelengara negara itu, didasari semangat menciptakan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setiap penyelenggara negara harus bisa mempertanggungjawabkan kekayaan yang dimilikinya sebelum, selama, dan sesudah memegang jabatan. 

Artinya, kewajiban mengisi LHKPN ini berpotensi mengurangi kemungkinan tindak korupsi penyelenggara negara. Jika ditambah dengan pengisian SPT pajak yang benar, pengawasan oleh PPATK, tentu ruang gerak potensi korupsi pejabat bisa diminimalkan. Oleh karena itu, jika penyelenggara negara tak punya masalah terkait harta, tentu LHKPN bukanlah beban yang patut ditunda-tunda pengisiannya.

Namun, sebaliknya, jika harta yang dimiliki penyelenggara negara itu bermasalah, entah karena asal-usul yang tak jelas atau masalah pajak yang tak jujur, berakibat diundur-undurnya pengisian LHKPN itu. Entah menunggu ditemukan jalan meng-clear-kan asal-usul hartanya itu, mengaburkannya, atau setidaknya menunggu peluang pengampunan pajak seperti yang saat ini ramai dibicarakan itu.

Tak Ada Sanksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun