Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ramai-ramai Menolak Militerisasi Sipil: Gelombang Demonstrasi Tolak Revisi UU TNI & Kekerasan Aparat

27 Maret 2025   05:19 Diperbarui: 27 Maret 2025   06:39 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Ngopibareng.id

Aksi massa beberapa hari ini digelar di berbagai kota di Indonesia, dengan tuntutan kepada pemerintah dan DPR untuk segera mencabut Revisi UU TNI. Aksi ini sendiri didasarkan pada penilaian objektif Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Revisi UU TNI yang dinilai akan memperdalam regresi demokrasi Indonesia, mempersempit kebebasan sipil, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Melihat tayangan-tayangan kekerasan yang dilakukan terhadap pembela HAM dan aktivis pro-demokrasi, sudah semestinya bagi kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil, untuk mengutuk tindakan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh YLBHI, dkk., kita harus ikut serta mengutuk segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap massa aksi dan demonstran.

Tersiar kabar di berbagai media sosial dan surat kabar, bahwa telah terjadi penangkapan, intimidasi, dan penyiksaan terhadap mahasiswa, aktivis, dan pembela HAM. Ini mengingatkan kita akan "kembalinya pendekatan militeristik" yang serupa dengan praktik dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.

Berdasarkan laporan Amnesty, tercatat terdapat penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan dalam penanganan demonstrasi. Bahkan, TNI turut terlibat dalam pengamanan aksi unjuk rasa, yang jelas bertentangan dengan fungsi pertahanannya. Tak hanya itu, organisasi militer ini juga menurunkan pasukan elitenya dalam pengamanan rapat tertutup yang membahas Revisi UU TNI.

Berdasarkan data terkini yang saya baca pun, puluhan orang telah mengalami kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang di berbagai kota besar, seperti Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Bekasi, Karawang, Kupang, dan Medan. LBH Surabaya tercatat sedang mendampingi 25 orang korban penangkapan sewenang-wenang, sementara LBH Malang menangani kasus 6 aktivis pro-demokrasi yang ditangkap.

Di Malang, aksi yang dimulai pada Minggu (23/3/2025) pukul 15.45 dengan mimbar orasi awalnya berlangsung kondusif hingga pukul 17.45, lalu dihentikan sementara untuk berbuka puasa. Setelah melakukan aksi teatrikal pasca-berbuka puasa, kericuhan pun terjadi saat massa mencoba menerobos pintu utara Gedung DPRD Kota Malang. Bentrokan pecah, aparat keamanan pun langsung melakukan penyisiran di berbagai jalan sekitar lokasi aksi.

Tindakan penyisiran ini dilakukan oleh dua peleton aparat keamanan yang bersenjata. Kompas mencatat bahwa penangkapan oleh aparat disertai tindakan kekerasan, termasuk pemukulan terhadap peserta aksi. Tim medis, pers, dan pendamping hukum bahkan ikut serta mendapat kekerasan fisik dan ancaman. Barang-barang tim medis dan peserta aksi dirampas, dan Kompas juga mencatat bahwa terdapat dugaan adanya intimidasi verbal dan pelecehan seksual terhadap perempuan paramedis. Data yang diambil dari Kompas.id menunjukkan bahwa puluhan orang luka-luka, sementara beberapa peserta aksi langsung dilarikan ke RS Universitas Brawijaya dan RS Syaiful Anwar.

Di Surabaya, aksi penolakan revisi UU TNI diselenggarkaan di depan Gedung Negara Grahadi, Senin (24/3/2025). Massa aksi yang hadir di sana berjumlah lebih dari 500 orang. Kericuhan di Surabaya terjadi lebih cepat, yakni pecah pukul 16.21 WIB setelah sejumlah orang menyalakan petasan.

Massa dilaporkan merusak pagar kawat berduri, baliho, tiang, pembatas jalan, dan kamera CCTV di sekitar Grahadi. Aparat keamanan pun langsung merespons dengan menyemprotkan air (water canon) ke arah massa. Massa segera melempari petugas dengan botol plastik, kaca, pecahan tegel, tiang, kursi, petasan, dan bom molotov.

Fatkhul Khoir (Kontras Surabaya), menyatakan bahwa, massa aksi yang hadir terdiri dari mahasiswa. Menanggapi informasi dari aparat keamanan yang menyatakan bahwa, pada pukul 17.21 WIB, mereka menangkap delapan orang yang tampaknya bukan mahasiswa, Khoir menjelaskan bahwa ia tidak mengenali massa tambahan yang bergabung dan memicu kericuhan.

Demonstrasi di Surabaya yang terdiri dari Front Anti-Militerisme mengajukan 8 tuntutan, antara lain:

  • Menolak revisi UU TNI.
  • Menolak perluasan fungsi TNI dalam ranah sipil.
  • Menolak penambahan kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang, terutama di bidang siber.
  • Membubarkan komando teritorial.
  • Menuntut penarikan seluruh kekuatan militer dari Papua.
  • Mengembalikan TNI ke barak.
  • Merevisi UU Peradilan Militer untuk menghapus impunitas bagi anggota TNI.
  • Mencopot semua personel TNI aktif dari jabatan sipil.

Para peserta aksi Surabaya paling mengkhawatirkan isu terkait penambahan 27 Kodam yang dinilainya akan memperluas kendali militer atas urusan-urusan sipil. Mereka juga menuntut supaya TNI segera mereformasikan diri dan penghapusan impunitas bagi anggota TNI harus segera dilaksanakan.

Selain mahasiswa dan peserta aksi, dua wartawan, Wildan Pratama (Suara Surabaya) dan Rama Indra (Beritajatim.com), juga turut mengalami kekerasan saat meliput demonstrasi menolak revisi UU TNI di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Keduanya diduga dipukuli, diintimidasi, dan dipaksa menghapus foto serta video yang mereka rekam terkait kericuhan. 

Kasus Wildan sendiri, dilansir dari Kompas.id, terjadi pada sekitar pukul 19.00 WIB, saat di mana Wildan masuk ke Grahadi untuk meliput demonstran yang ditangkap. Saat itu, ia mendapati 25 orang yang ditangkap sedang duduk berjejer di belakang pos satuan pengamanan. Saat Wildan memotret, ia segera didatangi anggota Polri yang memaksanya menghapus foto-foto demonstran yang ditangkap.

Kasus Rama berbeda. Terjadi sekitar pukul 18.30 WIB, saat Rama berada di Jalan Pemuda dekat Plaza Surabaya. Saat itu, Rama sedang merekam situasi penangkapan demonstran, lantas ia dihampiri polisi dan mengalami kekerasan fisik. Meskipun sudah menunjukkan kartu identitas persnya, polisi tetap mengabaikan dan menangkapnya.

Tindakan terhadap wartawan atau jurnalis ini segera disikapi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya yang mengecam tindakan kepolisian terhadap dua wartawan tersebut. Ketua AJI Surabaya, Andre Yuris, akan mendampingi kedua wartawan untuk membuat laporan ke Polda Jatim.

AJI menegaskan bahwa tindakan aparat kepolisian dinilah telah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama:

  • Pasal 4 Ayat (3) Pers memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
  • Pasal 18 Menghalangi jurnalis dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

Tuntutan AJI Surabaya pun, antara lain:

  • Mendesak Kapolrestabes Surabaya dan Kapolda Jatim untuk mengusut kasus kekerasan terhadap wartawan.
  • Menuntut kepolisian menghormati kebebasan pers dan tugas jurnalistik dalam meliput demonstrasi.
  • Mendesak perusahaan media menjamin keselamatan jurnalis, termasuk perlindungan hukum, ekonomi, dan psikis.

Tak hanya itu, SAFEnet, NGO dalam lingkup keamanan digital, juga mencatat adanya peningkatan aktivitas doxing, peretasan, dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis yang ingin mengungkap fakta di balik revisi ini. Mereka mencatat bahwa TNI juga ikut terlibat dalam operasi informasi di Instagram yang menstigmatisasi pembela HAM sebagai "antek asing". Serangan teror juga terjadi, seperti pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke jurnalis Tempo.

Segenap organisasi masyarakat non-pemerintah yang menggabungkan dirinya dalam Koalisi Kebebasan Berserikat, mengajukan 7 tuntutan untuk segera dituntaskan, antara lain:

  • Pemerintah dan DPR RI untuk segera mencabut UU TNI yang melanggar prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik serta merusak tatanan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
  • Aparat keamanan dan militer segera menghentikan segala bentuk kekerasan, kriminalisasi, penyiksaan, dan segala bentuk serangan digital terhadap masyarakat sipil, kelompok rentan lainnya, perempuan pembela HAM serta aktivis pro-demokrasi yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU TNI.
  • Pemerintah untuk memastikan adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat terhadap tindakan aparat dalam merespons aksi-aksi protes penolakan terhadap revisi UU TNI.
  • Pemerintah dan DPR RI untuk evaluasi secara menyeluruh terhadap peran TNI dalam pemerintahan sipil guna memastikan supremasi sipil dan pemisahan yang jelas antara ranah pertahanan dan pemerintahan.
  • Pemerintah harus menjamin perlindungan bagi jurnalis, aktivis, dan pembela HAM dari segala bentuk ancaman, baik fisik maupun digital, yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara.
  • ASEAN dan PBB untuk segera mencatat, melaporkan, dan memantau secara langsung pelanggaran hak asasi manusia yang semakin memperburuk situasi demokrasi Indonesia.
  • Organisasi dan gerakan masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk memperkuat dukungan terhadap penolakan pengesahan UU TNI.

Koalisi Kebebasan Berserikat bersama masyarakat sipil, dalam hal ini, terus mengawal upaya penolakan terhadap pengesahan UU TNI ini dan memastikan bahwa hak-hak demokratis warga negara tetap dijamin dan dilindungi.

Referensi

Amnesty International. "Koalisi Kebebasan Berserikat: Cabut UU TNI, Hentikan Segala Bentuk Kekerasan dan Penyiksaan Pembela HAM dan Aktivis Pro-Demokrasi." 26 Maret 2025. https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/koalisi-kebebasan-berserikat-cabut-uu-tni-hentikan-segala-bentuk-kekerasan-dan-penyiksaan-pembela-ham-dan-aktivis-pro-demokrasi/03/2025/.

Manumoyoso, Ambrosius Harto. "Aksi Tolak Revisi UU TNI di Surabaya Ricuh, Lemparan Petasan Berujung Penangkapan 20 Orang." Kompas.id, 24 Maret 2025. https://www.kompas.id/artikel/aksi-tolak-revisi-uu-tni-di-surabaya-ricuh-petasan-hingga-bom-molotov-berujung-penangkapan-20-orang.

---------. "Dianiaya Polisi Saat Liput Demonstrasi RUU TNI, Jurnalis Surabaya Lapor ke Polda Jatim." Kompas.id, 25 Maret 2025. https://www.kompas.id/artikel/dianiaya-polisi-saat-liput-demonstrasi-ruu-tni-jurnalis-surabaya-lapor-ke-polda-jatim.

Werdiono, Defri. "Tiga Demonstran Tolak Revisi UU TNI di Malang Masih Jalani Pemeriksaan." Kompas.id, 24 Maret 2025. https://www.kompas.id/artikel/tiga-demonstran-tolak-revisi-uu-tni-di-malang-masih-jalani-pemeriksaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun