Aksi massa beberapa hari ini digelar di berbagai kota di Indonesia, dengan tuntutan kepada pemerintah dan DPR untuk segera mencabut Revisi UU TNI. Aksi ini sendiri didasarkan pada penilaian objektif Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Revisi UU TNI yang dinilai akan memperdalam regresi demokrasi Indonesia, mempersempit kebebasan sipil, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Melihat tayangan-tayangan kekerasan yang dilakukan terhadap pembela HAM dan aktivis pro-demokrasi, sudah semestinya bagi kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil, untuk mengutuk tindakan tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh YLBHI, dkk., kita harus ikut serta mengutuk segala bentuk kekerasan, intimidasi, dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap massa aksi dan demonstran.
Tersiar kabar di berbagai media sosial dan surat kabar, bahwa telah terjadi penangkapan, intimidasi, dan penyiksaan terhadap mahasiswa, aktivis, dan pembela HAM. Ini mengingatkan kita akan "kembalinya pendekatan militeristik" yang serupa dengan praktik dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.
Berdasarkan laporan Amnesty, tercatat terdapat penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan dalam penanganan demonstrasi. Bahkan, TNI turut terlibat dalam pengamanan aksi unjuk rasa, yang jelas bertentangan dengan fungsi pertahanannya. Tak hanya itu, organisasi militer ini juga menurunkan pasukan elitenya dalam pengamanan rapat tertutup yang membahas Revisi UU TNI.
Berdasarkan data terkini yang saya baca pun, puluhan orang telah mengalami kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang di berbagai kota besar, seperti Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Bekasi, Karawang, Kupang, dan Medan. LBH Surabaya tercatat sedang mendampingi 25 orang korban penangkapan sewenang-wenang, sementara LBH Malang menangani kasus 6 aktivis pro-demokrasi yang ditangkap.
Di Malang, aksi yang dimulai pada Minggu (23/3/2025) pukul 15.45 dengan mimbar orasi awalnya berlangsung kondusif hingga pukul 17.45, lalu dihentikan sementara untuk berbuka puasa. Setelah melakukan aksi teatrikal pasca-berbuka puasa, kericuhan pun terjadi saat massa mencoba menerobos pintu utara Gedung DPRD Kota Malang. Bentrokan pecah, aparat keamanan pun langsung melakukan penyisiran di berbagai jalan sekitar lokasi aksi.
Tindakan penyisiran ini dilakukan oleh dua peleton aparat keamanan yang bersenjata. Kompas mencatat bahwa penangkapan oleh aparat disertai tindakan kekerasan, termasuk pemukulan terhadap peserta aksi. Tim medis, pers, dan pendamping hukum bahkan ikut serta mendapat kekerasan fisik dan ancaman. Barang-barang tim medis dan peserta aksi dirampas, dan Kompas juga mencatat bahwa terdapat dugaan adanya intimidasi verbal dan pelecehan seksual terhadap perempuan paramedis. Data yang diambil dari Kompas.id menunjukkan bahwa puluhan orang luka-luka, sementara beberapa peserta aksi langsung dilarikan ke RS Universitas Brawijaya dan RS Syaiful Anwar.
Di Surabaya, aksi penolakan revisi UU TNI diselenggarkaan di depan Gedung Negara Grahadi, Senin (24/3/2025). Massa aksi yang hadir di sana berjumlah lebih dari 500 orang. Kericuhan di Surabaya terjadi lebih cepat, yakni pecah pukul 16.21 WIB setelah sejumlah orang menyalakan petasan.
Massa dilaporkan merusak pagar kawat berduri, baliho, tiang, pembatas jalan, dan kamera CCTV di sekitar Grahadi. Aparat keamanan pun langsung merespons dengan menyemprotkan air (water canon) ke arah massa. Massa segera melempari petugas dengan botol plastik, kaca, pecahan tegel, tiang, kursi, petasan, dan bom molotov.
Fatkhul Khoir (Kontras Surabaya), menyatakan bahwa, massa aksi yang hadir terdiri dari mahasiswa. Menanggapi informasi dari aparat keamanan yang menyatakan bahwa, pada pukul 17.21 WIB, mereka menangkap delapan orang yang tampaknya bukan mahasiswa, Khoir menjelaskan bahwa ia tidak mengenali massa tambahan yang bergabung dan memicu kericuhan.