Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Detik Maut di Delhi

14 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 14 Maret 2020   09:59 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua jam lagi, ia akan pergi ke masjid untuk suatu acara penting dalam hidupnya.

Ia tak tahu bahwa tiga jam dari sekarang, sekumpulan orang datang untuknya.

Saat ini, Ghulam tengah merapikan jasnya untuk menemui calon istrinya, Aminah.

Sementara itu, Aminah sedang berhias diri hanya dengan tata rias sederhana. Ia memiliki alasan sendiri untuk tampil apa adanya.

Begitu pula dengan Ghulam, ia memiliki alasan sendiri untuk menikahi teman sekolah masa lalunya. Dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, Ghulam dan Aminah berteman akrab.

Di sekolah dasar, Aminah adalah seorang penderita autisme dan Ghulam seorang tunawicara. Mereka bertemu dalam ekstrakurikuler kelompok penulis puisi dan acapkali merekalah pahlawan yang mengumpulkan piala di sekolah mereka.

Di sekolah menengah pertama, Aminah baru menyadari bahwa ia bertemu Ghulam lagi setelah memasuki kelas 2. Tak hanya itu, ia baru tahu bahwa temannya ini adalah anak bungsu dari Keluarga Imran yang terkenal dengan jasa sewa mobil di Delhi. Ah, sayangnya Aminah adalah seorang yatim piatu tanpa ada satu anggota keluarga yang hidup dan mampu mengurusnya.

“Aminah, setelah pulang, maukah kau ikut dengan Bapakku?” Suatu hari, Ghulam memberikan kertas itu pada Aminah saat istirahat. Aminah tersenyum, namun masih bingung mengapa Ghulam mengajaknya ikut dengan ayahnya, “Ada apa, Ghulam?”

Ghulam mengambil buku catatannya, merobek salah satu kertasnya, dan menulis lagi pada Aminah, “Bapakku tahu kau yatim piatu,”

“Lalu?”

“Bapakku bilang salah satu tetangga di komplek rumahku adalah seorang pengurus yatim piatu dan tetanggaku ingin membantu lebih banyak anak yatim piatu dengan cara meminta tolong Bapak mencarinya.”

“Sebentar, Ghulam. Dari mana Ayahmu tahu Aminah yatim piatu? Dan bagaimana Ayahmu membantu tetanggamu mencari yatim piatu?”

“Bapakku tak hanya seorang penyedia jasa sewa mobil, Bapak kadang bekerja sebagai supir taksi,” Tulis Ghulam, “Bapak kenal dekat dengan Pak Farhan, kau mungkin tahu Pak Farhan terkadang pergi menuju tempat rapat dengan taksi, bukan?”

“Nah, supir dari taksi langganan Pak Farhan adalah Bapakku, Aminah.” Ghulam tersenyum riang.

“Aminah belum paham, Ghulam,” Aminah memiringkan kepalanya, “Apa hubungannya?” Mungkin terdengar sedikit tak sopan, tetapi Aminah memang tak tahu banyak mengenai cara berbicara dengan orang di sekitarnya dan itu dapat dibuktikan dengan tidak terbiasanya ia menatap mata lawan bicara.

Ghulam dapat memaklumi itu, “Suatu hari, Pak Farhan memberitahu Bapak mengenai sekolah dan teman-temanku di sini, Aminah. Dari situlah Bapak tahu mengenai dirimu.” Itu adalah satu-satunya cara bagi Ghulam untuk menjelaskan secara singkat bagaimana Bapak Ghulam mengetahui Aminah.

Bapak Ghulam, supir taksi, kepala sekolah bernama Pak Farhan berlangganan taksi pada Bapak Ghulam, tetangga, panti asuhan.

Dari kata kunci itu, Aminah mulai berpikir bahwa ia akan diantar oleh Bapak Ghulam menuju panti asuhan tetangganya. Ia mulai tersenyum tanpa menyadari Ghulam telah menyodorkan kertas sekali lagi, “Jadi, maukah kau ikut Bapakku ke panti asuhan?”

Tentu saja Aminah mengangguk dan menangis bahagia. Apalagi begitu ia akhirnya menjadi lebih dari sekadar yatim piatu yang masuk panti asuhan begitu sampai di tujuan : anak angkat dari Bu Hasanah sang pendiri panti asuhan. Bu Hasanah sendiri berasal dari Bangladesh.

Saat itu, Ghulam berpikir bahwa tangis haru Aminah muncul karena akhirnya ada orang yang mau menjadikannya anak angkat.

Datanglah masa sekolah menengah atas, sudah empat tahun lamanya setelah peristiwa sederhana dengan arti besar itu terjadi. Mereka mengira hidup mereka akan membaik, nyatanya inilah awal dari hancurnya hidup mereka.

Hari pertama masuk sekolah bagi Ghulam terganggu begitu ia mendengar suara jerit tangis. Walaupun pada awalnya ia baru masuk melewati gerbang, suara itu terdengar di ujung kiri gedung sekolah atau lebih tepatnya parkiran sekolah. Semakin cepat ia berlari ke sana, semakin ia menyadari bahwa suara itu milik seorang gadis yang dipalak beberapa anak wanita berjumlah empat orang.

“Ayo, serahkan uangnya, anak culun!” Awalnya, topik mereka adalah ‘uang’. Aminah hanya bisa menggelengkan kepala dan akhirnya mereka memulai ejekan baru untuknya.

“Kau mau parkir sepeda tua bangka itu di sini? Najis! Jijik, ah!” Timpal seorang gadis, para perundung tampaknya memiliki banyak sekali perhiasan. Dari kalung hingga gelang emas, tak ada yang tahu bagaimana mereka bisa menggunakan perhiasan di sekolah tanpa takut maling dan preman.

“Tahu, tuh. Sepeda karatan begitu kok dipelihara!” Ucap ‘pemimpin’ kelompok anak itu, dilihat dari rambutnya. Anak itu berambut panjang dan hitam sehitam hatinya sementara ketiga temannya memilih model rambut diikat ke belakang.

Ghulam tak mau lagi mendengar ucapan-ucapan lain dari mulut mereka dan langsung mengadukan pada petugas keamanan yang berdiri di dekat gerbang.

Begitu ia sampai di depan petugas keamanan dengan berlari, ia langsung menarik baju sang petugas sambil melambaikan kertas bertuliskan, “TOLONG!”. Awalnya sang petugas bingung dengan tingkah laku Ghulam, tetapi sang petugas akhirnya mengikuti Ghulam kembali ke parkiran sekolah.

Mereka melihat Aminah menangis dengan lutut terluka dan wajah lebam serta sepeda yang rusak. Para perundung telah berlari menuju lapangan sekolah untuk upacara bendera.

“Ada apa, nak?” Tanya sang petugas, “Mengapa kaki anak ini luka, ya?” Pikirnya. Pertanyaan yang sebenarnya dipikirkan adalah “mengapa lukanya seperti tersayat pisau”.

“A-Aminah mau p-parkir sepeda,” Aminah menangis sesenggukan sambil menahan sakit pada kakinya, “Mereka me-meminta uang dengan paksa” Ucapannya tersendat.

“Dipalak?” Aminah mengangguk begitu ditanya sang petugas, “Oleh siapa?” pertanyaan kedua dari petugas itu dijawab dengan kepala menggeleng tanda tak tahu.

Ghulam memberikan bahasa isyarat pada sang petugas, “Saya kurang tahu, Pak. Tetapi pelakunya ada empat orang dan mereka wanita, Pak,”

“Seperti apa ciri-ciri fisik mereka?” Jawaban sang petugas mungkin tenang, namun matanya menatap tajam pada Ghulam.

“Sebelum saya memberitahukannya, mungkin sebaiknya kita mengangkut dia bersama,” Ghulam memberi pesan isyarat sambil menunjuk ke dalam gedung sekolah, lebih tepatnya UKS.

“Oh ya, Bapak lupa. Kau benar, nak,” Sang petugas melihat sekeliling sebelum berbicara lagi, “Ayo kita angkat ia ke UKS,”

Aminah terbaring lemah di salah satu dari dua kasur UKS, Ghulam akhirnya tetap diizinkan ikut upacara bendera walau sempat ditanyakan oleh seorang guru mengenai keterlambatannya.

Setelah upacara selesai, Ghulam kembali berbicara dengan sang petugas. Ia menyebutkan apa saja yang ia tahu mengenai ciri fisik para perundung.

“Baik, jadi salah satu pelakunya berambut lurus dan hitam, ya?” Pak Khan, begitulah nama panggilan sang petugas, memegang jenggotnya. “Maaf jika jawaban terakhir Bapak mungkin tak memuaskan, tetapi kalian hanya bisa bertahan.”

Ghulam bingung, ia mengangkat bahunya tanda tak mengerti, untunglah Pak Khan paham maksudnya. “Sebenarnya, ada kenyataan pahit di sekolah-sekolah di seluruh negeri belakangan ini : sebagian besar sekolah di sini kadang tak menyadari atau bahkan tak peduli dengan kasus perundungan. Sekolah ini adalah salah satunya, walaupun ada peraturan yang melarang perundungan, kepala sekolah selalu mengacuhkan kasus-kasus perundungan dan beralasan bahwa perundungan adalah bagian dari tekanan hidup yang dapat memperkuat mental.”

Ghulam hanya bisa mengernyitkan dahi dan menghentakkan kakinya satu kali. Jika ia bisa berbicara, mungkin ia akan berteriak dan memaki dengan marah siapapun yang membiarkan dan melakukan perundungan di sekolah ini.

Aminah, sudah mulai sadar, segera memanggil Ghulam, “Ghulam, Aminah tak apa-apa,” Gadis itu tersenyum, “Aminah sudah biasa, kok,”

“Lalu, mengapa kau tadi menangis, Aminah?” Tanya Ghulam melalui buku tulis di tangannya.

“Aminah menahan sakit,” Dia masih mempertahankan senyumnya, “Dan Aminah tak menangis karena dirundung atau sepeda Aminah rusak, karena Aminah sudah terbiasa.”

“Maksudmu?” Ghulam menulis lagi.

“Sebelum Aminah menjadi anak angkat Bu Hasanah, Aminah seorang yatim piatu. Mungkin kau tahu itu, bukan?” Matanya mulai menatap mata Ghulam sebelum mereka berdua mengalihkan pandangan, tersipu malu. “Nah, di rumah Aminah dahulu, Aminah seringkali dipukuli warga dan bahkan diludahi.”

Mendengar hal itu rasanya membuat darah Ghulam mendidih. Ia lebih memilih untuk diam sejenak sambil menghembuskan nafas sebelum akhirnya menulis lagi, kali ini dengan tulisan yang berbeda.

APA?!

Dipukuli DAN diludahi?!

Mengapa?

Begitu Ghulam selesai menuliskannya, entah mengapa matanya mengalir air mata seakan dia sebenarnya tahu jawabannya pasti menyakitkan, “Karena para tetangga memiliki sentimen tersendiri terhadap orang tua Aminah, Lam” Aminah ikut menangis, lagi, “Ibu Aminah senang bercadar dan karena itu warga menuduh Ibu teroris, sementara Ayah Aminah seorang pedagang baju Muslim. Walaupun Ayah Aminah hanya berjualan gamis dan hijab tanpa ada cadar ataupun peci, tetap saja Ayah dituduh seorang penyedia pakaian untuk teroris negara tetangga.”

Pak Khan yang sedari tadi hanya mendengar percakapan mereka hanya bisa menundukkan kepalanya, membayangkan apa yang siswi itu alami selama hidupnya. “Bapak akan pergi keluar sebentar,” Katanyanya pelan, kemudian berbalik badan meninggalkan dua orang siswa itu di UKS.

Ghulam menulis lagi, “Maafkan aku jika aku tak bisa berbuat banyak untukmu, Aminah,”

“Tak apa, j-justru Aminah sangat senang begitu Bu Hasanah menjadikan Aminah anak angkatnya,” Aminah menyeka matanya sejenak, “Bu Hasanah baik sekali pada Aminah, Bu Hasanahlah yang mengasuh Aminah hingga sekarang dan mengajari Aminah bagaimana untuk mengatakan satu hal padamu, Ghulam,”

Ghulam memilih diam sejenak, menunggu kata apa yang keluar dari lisan Aminah.

“Aminah berharap suatu saat nanti dapat bertemu dengan Ghulam.” Aminah tersenyum ceria begitu mengucapkan kata ini.

Sepertinya Ghulam menyadari bahwa ada maksud lain dari kata tersebut, namun ia lebih memilih berpura-pura tak tahu, “Kalau boleh tahu, apa maksudmu?”

“Aminah..” Sang gadis merasa sedikit malu, namun ia memberanikan diri, “...mencintai Ghulam,”

Tunggu, apa? Aku tak salah dengar, ‘kan? Dia mencintaiku? Seperti pacaran, maksudnya? Tidak, ini tak boleh terjadi. Bisa-bisa Bapak marah!” Batin Ghulam merasa gelisah. Di satu sisi, ia juga mencintai Aminah karena Aminah adalah gadis bersahaja. Aminah lebih memilih berpenampilan sederhana walaupun siswi-siswi lainnya terbiasa memakai cincin dan kalung emas serta lipstik tebal, Aminah pulalah yang mengajarinya kesederhanaan hidup. Di sisi lain, keluarganya amat membenci pacaran dengan berbagai alasan dan Bapaknya tentu tak mau Ghulam berulah dan membuat malu keluarga Imran.

Singkatnya, Ghulam merasa ia harus membalas cinta dari Aminah karena dialah yang menunjukkan secara tak langsung pada Ghulam bagaimana cara mensyukuri kekayaan yang ia punya.

Setelah dipikir ulang, Ghulam mendapat dua kesimpulan. Pertama, ia bisa berjanji menikahi Aminah dan kesimpulan kedua adalah...

“Maaf jika pertanyaan ini menyinggungmu, namun mengapa kau menyukaiku?” Tanya Ghulam melalui coretan tangannya di atas buku catatan yang hampir habis.

“Karena Aminah tahu bahwa kaulah yang membawaku ke tempat-tempat yang tepat, dari rumah Bu Hasanah hingga UKS. Singkatnya, Aminah tahu bahwa Ghulam di depan mata Aminah orang baik penuh empati,” Wajahnya mulai kembali cerah.

“Kau satu-satunya orang yang mengajariku cara mensyukuri nikmat kekayaan yang keluargaku punya. Kau penyandang autisme, yatim piatu, namun kau tetap ceria dan memilih menjadi orang yang sederhana walau sudah diasuh Bu Hasanah. Banyak orang mendekatiku dan mengajakku berteman hanya karena Bapakku terkenal, tapi kau tak seperti kebanyakan orang.” Ghulam mengganti halaman bukunya, “Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya, namun aku menyukai orang-orang sederhana, apalagi jika kaulah orangnya.”

Ah, nyatanya Ghulam belum selesai menulis, “Aku menyukaimu, namun bagaimana kalau kita berjanji akan bertemu lagi dan menikah?”

Aminah mengangguk senang.

Saat pulang sekolah, mereka pulang bersama, sama seperti biasanya. Semenjak SMP, mereka selalu pulang bersama Pak Imran.

Selama SMA, walau banyak menghadapi perundungan, mereka tetap bisa mempertahankan persahabatan dan rasa cinta mereka.

Hingga sekarang.

Seharusnya, mereka dapat merealisasikan impian mereka membentuk keluarga bahagia penuh iman. Seharusnya mereka juga dapat merasakan kegembiraaan di balik banyaknya orang yang mengucap selamat atas pernikahan mereka. Seharusnya mereka bisa melaksanakan prosesi pernikahan dengan tenang.

Sayangnya, bukan itu yang terjadi di sini.

Ijab qabul baru dimulai, teriakan dan ejekan mulai bergema di depan pintu masjid.

Awalnya hanya gertakan penuh amarah, “Hidup Dewa Rama!”

“Hidup Dewa Rama!”

BRAK!

Pintu masjid didobrak oleh mereka yang menggunakan ikat kepala berwarna saffron. Semua orang di masjid hanya tahu bahwa pelakunya adalah kumpulan ekstremis yang tak ingin ada populasi Muslim di India.

Para pengunjung masjid mencoba menahan satu-satunya pintu yang menghalangi mereka dengan para ekstremis. Sayangnya, kunci pada pintu kayu itu terhempas dan para ekstremis berhasil menerobos masuk.

Bagi Aminah dan Ghulam, semuanya buyar. Aminah hanya bisa menjerit sekeras mungkin begitu tangannya ditarik para ekstremis sementara Ghulam dilempari batu dan dihajar dengan tongkat kayu.

“MATI KAU, TERORIS!” teriak salah satu ekstremis yang memukuli Ghulam, tak sadar diri bahwa merekalah teroris sebenarnya.

Pak Imran hanya bisa memukuli sekali ekstremis yang menghajar anaknya sebelum akhirnya dijadikan karung tinju oleh kumpulan ikat kepala saffron lainnya dan ditendang keluar masjid.

‘Berdarah’ takkan cukup untuk menjelaskan tragedi pembantaian itu, masjidnya dibakar bersama dengan beberapa korban yang terkapar lemah di dalamnya.

Pak Imran hanya bisa terduduk lemah di luar masjid setelah masjid itu menjadi abu. Namun, ia sempat melihat beberapa orang dengan serban hitam.

Tak usah menanyakan keadaan Aminah, ia bersimbah darah tanpa ada harapan hidup.

Ghulam jauh lebih parah lagi, ia mungkin sudah terbakar hidup-hidup di dalam masjid.

Tak ada yang bisa memadamkan api di masjid karena orang-orang yang membawa bak penuh air untuk memadamkan apinya menjadi korban batu bata dan batang kayu.

Orang-orang bersurban hitam yang dilihat Pak Imran adalah orang-orang Sikh, baru bisa keluar dan membantu setelah para ekstremis berikat kepala saffron pergi.

Salah satu tetua Sikh mulai menelepon ambulans. Setelah itu, ia meminta warga sekitar untuk mulai membantu para korban dengan memberi makan dan minum serta obat-obatan seadanya.

Ambulans datang, para petugas medis mulai menggotong korban-korban yang terluka parah, termasuk Ghulam dan Aminah. Pak Imran bersusah payah menaiki ambulans yang mengangkut Ghulam ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Pak Imran menunggu hasil pemeriksaan dokter. Pak Imran benar-benar berharap tak pernah mendengar hasil akhirnya beberapa menit kemudian.

“Maaf, kami tak bisa menyelamatkan anak Anda. Dia kehilangan terlalu banyak darah, jantungnya berhenti berdetak, dan luka bakarnya terlalu parah.” Ucap dokter itu dengan berat hati, “Kami sudah melakukan usaha sebaik mungkin, namun anak Anda sudah tak bisa hidup lagi, Pak. Paru-parunya juga sesak karena asap, maafkan kami.” Setelah itu, sang dokter menunduk dan berbalik badan dengan penuh penyesalan.

“Bagaimana dengan Aminah, Dok?”

Sang dokter berhenti sejenak sebelum akhirnya menghembus nafas, “Aminah mengalami pendarahan pada otak dan......” Sang dokter memegang kepalanya seakan ingin menangis.

“Ia tak bisa hidup lagi.” Pak Imran hanya bisa terduduk lemas dan menatap atap.

Pak Imran sudah mengenal dengan dekat siapa Aminah. Baginya, Ghulam sudah memilih orang yang tepat karena Aminah adalah orang yang tetap ceria walau memiliki masa lampau kelam serta mencintai kesederhanaan.

Kata kunci ‘kesederhanaan’ mengingatkannya pada satu hal terakhir yang menjadi alasan Ghulam menikahi Aminah.

“Nak Ghulam,” Panggil Pak Imran, anaknya langsung berjalan mendekati beliau.

“Kau tahu jika Aminah seorang yatim piatu, bukan?” Ghulam mengangguk.

“Bapak hanya bisa memberimu sebuah nasihat: Nikahilah Aminah,”

Ghulam memiringkan kepalanya, bingung dengan alasan Bapaknya memerintahkan demikian.

“Bapak ingin kau tak hanya mencintai Aminah sedari kecil. Bapak tahu kalau dahulu Aminah sering dirundung sebelum menjadi bagian dari keluarga Bu Hasanah dan Bu Hasanah sendirilah yang memberitahu Bapak demikian, Bapak ingin kau membantu Aminah mencapai kebahagiannya karena memiliki orang yang mendukung hidupnya,”

Pak Imran melanjutkan penjelasannya, “Bu Hasanah sempat mengatakan bahwa Aminah sempat ingin.......mengakhiri hidupnya di kamarnya karena dirundung teman-teman kuliahnya. Bu Hasanah baru dapat menghentikan Aminah setelah beliau mengingatkannya padamu, Nak.”

Tanpa penjelasan panjang, Ghulam mengerti satu hal.

Aminah tak hanya menyukainya, namun menjadikan dirinya sebagai alasan hidup.

“Barulah dua hari kemudian, Aminah mengakui bahwa kau adalah satu-satunya orang selain Bu Hasanah yang berteman baik dan peduli dengannya.”

Pak Imran lalu mengambil kertas dan menulis sesuatu untuk Ghulam, “Terkadang, dampak dari berempati, walau bagimu kecil, bisa menjadi besar bagi orang yang membutuhkannya.”

Sayang, kisah empati dan cinta mereka berakhir maut di tangan para ekstrimis dan Pak Imran hanya bisa menangis. Sang Ayah selamat, anaknya tidak.

Ia bahkan tak tahu lagi apa yang akan dirasakan Bu Hasanah begitu tahu anak angkatnya meninggal dalam serangan ekstremis tersebut.

Cerpen ini terinspirasi dari konflik yang dihadapi Umat Islam di India.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun