Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Stagnasi

14 September 2019   10:00 Diperbarui: 14 September 2019   13:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua tersentak dengan betapa cepat Saifuddin menjawab itu semua, "Ah, aku ingin tahu apa saja yang dipelajari Saifuddin," Pikirku, mengingat dia juga jarang berbicara denganku dan semua orang di kelas 3E, "Nah, coba kalian lihat teman kalian," Pak Idris menunjukkan jari telunjuknya pada Saifuddin, "Ini adalah bukti kalau dia rajin membaca. 

Tolong, biasakan membaca buku dan jangan terlalu terpaku pada media sosial hanya untuk melihat budaya negara lain atau tren global terkini saja,"

Walaupun masih ada sebagian kecil orang yang tak menggubris ucapan beliau, sebagian yang lainnya menunduk malu, ucapan,  "Ya, Pak," keluar dengan penuh penyesalan.

"Ya, bicara mengenai membaca buku, apa saudara sekalian tahu kalau Andalusia memiliki 17 universitas dan 70 perpustakaan, di mana salah satu perpustakaan tersebut memiliki kurang lebih ratusan ribu buku?" Tanya Pak Idris. Lagi, semuanya hanya diam.

"Oh ya, menurut al-Hilatu as-Sira oleh Ibnu al-Abar, di dalam Perpustakaan al-Umawiyah.."

"Pak," Reni, salah seorang temanku yang tak begitu paham sejarah Islam namun bersemangat untuk bertanya jika tak paham, mengangkat tangannya, "Maaf, Pak. Namun saya ingin bertanya, mengapa kita membahas Perpustakaan al-Umawiyah, Pak?"

Sudah kuduga, respon sebagian anak yang dari tadi hanya diam, tak tahu apapun, dan tak mau bertanya, buruk sekali. Cemoohan keluar karena pertanyaan Reni dirasa tak tepat pada waktunya dan ironisnya, pelakunya adalah orang-orang yang dari awal perkenalan dosen terus mengobrol sendiri dan melihat medsos di ponsel mereka.

Tak tahan dengan ejekan yang mulai ditambah dengan ucapan tak senonoh dari sebagian mahasiswa lelaki di dalam kelas, Reni berlari keluar kelas dan Laila yang duduk di sebelahnya langsung mengejarnya.

Tak lama kemudian, Pak Idris langsung keluar kelas tanpa mengatakan apapun. Yah, kelasku memang kelas yang konon dianggap paling rendahan di antara para dosen, senang rasanya bisa ikut dianggap 'mahasiswa kurang ajar' hanya karena ada di kelas terkutuk ini sampai tiap kali aku pulang kuliah, aku membeli dua porsi mi instan hanya untuk menenangkan diriku sendiri.

Ya, walaupun nilaiku tak begitu sempurna namun di atas rata-rata, tetap saja semua siswa mendapat julukan 'tak beradab' karena mayoritas warga kelas 3E memiliki masalah sendiri, dari memberi sontekan hingga merokok di dalam angkutan umum, cukup untuk membuat malu kampus tempatku belajar saat ini.

Seperti biasa, Sultan harus berteriak lagi di depan seluruh warga kelas karena ulah mayoritas, "Woi! Kalian sadar tidak, sih, dengan kelakuan kalian?!" Bentak Sultan pada hampir semua warga kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun