Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Stagnasi

14 September 2019   10:00 Diperbarui: 14 September 2019   13:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di dalam bis Transjakarta ini, kulihat banyak sekali pemuda dan pemudi menundukkan kepalanya. Tidak, bukan melihat buku, tetapi layar ponsel genggam mereka.

Walau aku tak bisa melihat langsung layar ponsel mereka, kubisa mendengar dari obrolan mereka jika mereka sering membahas mengenai liburan, tren terkini, film, atau hobi mereka. Kulihat kaca bis, mataku disuguhkan dengan sekelompok orang berdemo menolak eksistensi dosen asing di Indonesia.

Sesampainya di lingkungan kampus, kulihat "pola" yang serupa dengan para penumpang bis tadi namun lebih parah : Tak hanya perpustakaan kampus terlihat sepi -Kalaupun ada orang di dalamnya, mereka adalah pencari referensi untuk tugas kuliah-, tetapi mereka tak tahu-menahu dengan demonstrasi tadi pagi yang berakhir rusuh dengan aparat keamanan, diduga terdapat seorang provokator di dalamnya.

"Laila, kau tahu kalau ada kerusuhan tadi pagi antara mahasiswa dengan kepolisian mengenai penolakan dosen asing di Indonesia?"

Temanku itu menggelengkan kepalanya, "Aduh, nggak, Abdul," Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel genggamnya, "Biasanya, aku hanya lihat medsos untuk tren K-Pop dan itupun aku jarang lihat berita,"

"Hah? Mengapa.....Ah, sudahlah," Pikirku, aku tak perlu menyuarakan itu pada Laila, belum saatnya.

Aku langsung bangkit dari bangku di depan pintu perpustakaan, "Oh, aku mau ke kelas dulu," Kulambaikan tanganku pada teman dekatku sejak SMA, "Duluan, ya!" Laila langsung membalas dengan berucap, "Oke!".

Masuk ke dalam lift, aku bertemu Ridho, "Assalamualaikum, Dho!" Senyum sumringah muncul di wajahnya, "Wah, Waalaikumsalam, Bung! Mau ke kelas, ya?"

Kujawab dengan anggukan, lalu kutanyakan dia hal yang sama, "Apa? Serius? Di mana?" Ridho terkejut, "Aku belum membaca berita tentang hal itu,"

"Bukankah kau sering menggunakan medsos bahkan sampai bawa laptop?" Ya, terkadang Ridho membawanya walaupun tak ada tugas presentasi, "Ya, tapi aku jarang melihat berita. Maaf kalau aku mengatakan ini tetapi jarang ada berita yang menarik perhatianku, Dul," Jawabnya sambil mengangkat pundaknya.

Akhirnya, kami memilih diam dan masuk ke dalam salah satu ruang kelas di lantai 5 kampus. Ruang 506 sudah penuh dengan teman, namun belum ada dosen yang memasukinya. Proyektor sudah menyala dan menunjukkan layar birunya, semuanya tengah mengobrol satu sama lain, kebanyakan membahas mengenai liburan mereka.

"Assalamualaikum, semuanya!" Terdengar suara seorang dosen dengan raut wajah yang menua, spontan semua warga kelas mengatur kembali posisi duduk mereka. Kelas terasa hening dan mencekam karena raut wajah dosen yang muram.

Sadar dengan kondisi emosional sang dosen, Sultan yang menjadi ketua kelasku langsung menjawab salam beliau, "Waalaikumsalam, Pak!" Ditambah dengan senyum kecil di wajahnya. "Baiklah," Suara pak dosen cukup dalam, "Bapak akan perkenalkan diri bapak terlebih dahulu. Nama saya Idris Fattah, saudara sekalian dapat memanggil bapak Idris."

Sudah menjadi tradisi kelas untuk menyambut dosen baru dengan jawaban bersama, "Baik, Pak Idris," Pak Idris langsung mengenalkan dirinya lebih lanjut dengan memberikan nomor telepon dan alamat surel beliau. Uniknya, sebagian teman-temanku malah sibuk mengobrol sendiri atau lagi-lagi menggenggam ponsel mereka.

Kuharap, apapun yang mereka lakukan sangat penting untuk hidup mereka dan bukan hanya senda gurau belaka.

Setelah Pak Idris memperkenalkan diri beliau dan menjelaskan mekanisme kuliah, Pak Idris langsung meminta perhatian para mahasiswa, "Semuanya, dalam pertemuan pertama kita kali ini, kita akan membahas sejarah pendidikan peradaban Islam," Pak Idris langsung membuka laptop pribadinya dan menyambungkannya ke proyektor di sebelah meja beliau. Di layar itu, muncul sebuah peta.

Lebih tepatnya, peta Andalusia, salah satu daerah yang diperintah umat Islam pada masa Kesultanan Umayyah.

"Apa yang kalian lihat di sini adalah sebuah daerah yang pernah dikuasai, atau lebih tepatnya diperintah, oleh umat Islam," Peta itu menunjukkan daerah yang nantinya menjadi tempat berdirinya negara Spanyol dan Portugal, ada warna hijau di bagian selatan daerah tersebut dan abu-abu di bagian utaranya. Pak Idris menunjuk bagian peta yang berwarna hijau, "Selain Andalusia, daerah ini dikenal dengan berbagai nama, ada yang tahu apa saja nama lain dari daerah ini?"

Kelas terlihat hening, sebagian dari mereka yang tak tahu hanya diam. Namun, sebagian mahasiswa lain memiliki inisiatif untuk langsung mencari jawaban di ponsel mereka.

Sebenarnya, aku tahu jawabannya. Namun, aku sudah sering menjawab pertanyaan sejak semester pertama kuliah dan aku tak begitu suka mengambil kesempatan orang lain untuk berkembang.

Dirasa terlalu lama, Pak Idris sempat menggelengkan kepalanya sebelum beliau melihat Saifuddin, salah satu temanku yang cukup pendiam dan jarang berbicara dengan seluruh mahasiswa kelas 3E, mengangkat tangannya.

"Pak, Andalusia juga dikenal sebagai Kesultanan Kordova atau Kordoba, Pak,"

Semua tersentak dengan betapa cepat Saifuddin menjawab itu semua, "Ah, aku ingin tahu apa saja yang dipelajari Saifuddin," Pikirku, mengingat dia juga jarang berbicara denganku dan semua orang di kelas 3E, "Nah, coba kalian lihat teman kalian," Pak Idris menunjukkan jari telunjuknya pada Saifuddin, "Ini adalah bukti kalau dia rajin membaca. 

Tolong, biasakan membaca buku dan jangan terlalu terpaku pada media sosial hanya untuk melihat budaya negara lain atau tren global terkini saja,"

Walaupun masih ada sebagian kecil orang yang tak menggubris ucapan beliau, sebagian yang lainnya menunduk malu, ucapan,  "Ya, Pak," keluar dengan penuh penyesalan.

"Ya, bicara mengenai membaca buku, apa saudara sekalian tahu kalau Andalusia memiliki 17 universitas dan 70 perpustakaan, di mana salah satu perpustakaan tersebut memiliki kurang lebih ratusan ribu buku?" Tanya Pak Idris. Lagi, semuanya hanya diam.

"Oh ya, menurut al-Hilatu as-Sira oleh Ibnu al-Abar, di dalam Perpustakaan al-Umawiyah.."

"Pak," Reni, salah seorang temanku yang tak begitu paham sejarah Islam namun bersemangat untuk bertanya jika tak paham, mengangkat tangannya, "Maaf, Pak. Namun saya ingin bertanya, mengapa kita membahas Perpustakaan al-Umawiyah, Pak?"

Sudah kuduga, respon sebagian anak yang dari tadi hanya diam, tak tahu apapun, dan tak mau bertanya, buruk sekali. Cemoohan keluar karena pertanyaan Reni dirasa tak tepat pada waktunya dan ironisnya, pelakunya adalah orang-orang yang dari awal perkenalan dosen terus mengobrol sendiri dan melihat medsos di ponsel mereka.

Tak tahan dengan ejekan yang mulai ditambah dengan ucapan tak senonoh dari sebagian mahasiswa lelaki di dalam kelas, Reni berlari keluar kelas dan Laila yang duduk di sebelahnya langsung mengejarnya.

Tak lama kemudian, Pak Idris langsung keluar kelas tanpa mengatakan apapun. Yah, kelasku memang kelas yang konon dianggap paling rendahan di antara para dosen, senang rasanya bisa ikut dianggap 'mahasiswa kurang ajar' hanya karena ada di kelas terkutuk ini sampai tiap kali aku pulang kuliah, aku membeli dua porsi mi instan hanya untuk menenangkan diriku sendiri.

Ya, walaupun nilaiku tak begitu sempurna namun di atas rata-rata, tetap saja semua siswa mendapat julukan 'tak beradab' karena mayoritas warga kelas 3E memiliki masalah sendiri, dari memberi sontekan hingga merokok di dalam angkutan umum, cukup untuk membuat malu kampus tempatku belajar saat ini.

Seperti biasa, Sultan harus berteriak lagi di depan seluruh warga kelas karena ulah mayoritas, "Woi! Kalian sadar tidak, sih, dengan kelakuan kalian?!" Bentak Sultan pada hampir semua warga kelas.

"Itu lelucon doang! Salah Reni, dong. Dia tak tahu dan tak membiasakan diri dengan respon kita, jadi kelakuannya mirip anak SD, cengeng!" Oposisi dadakan mulai muncul, itu tadi adalah Karta. "Tau! Dia saja bahkan tak tahu sopan santun!" Aji ikut mendukung Karta.

Cukup, sudah cukup siklus gila ini berulang. "BERISIK, BODOH!"

Semuanya melihatku, baik Aji dan Karta maupun Sultan memasang wajah heran.

"Eh, dengar baik-baik ya, kalian kumpulan bocah-bocah idiot nggak guna!" Kutatap seisi kelas penuh amarah, "Kalian sadar tidak, sih, kalau Reni hanya bertanya? Kalian sendiri bahkan tak peduli dengan SETIAP dosen di kelas! Terus saja siklus bodoh ini berulang!"

"Dari semester pertama sampai sekarang, kalian sadar tidak, kalau kita semua disebut kumpulan mahasiswa kurang ajar di seluruh angkatan dan bahkan di kampus?" Kulihat Karta yang jelas tak terima dengan keluhanku, "Kau bilang Reni cengeng? Kau anak yang paling apatis di sini!"

"Hah?" Aji mencoba membalas, "Kita semua yang duduk di belakang sini tengah menunjukkan pada kalian semua, ANAK-ANAK SOK ELITIS, kalau kelas kita di sini kurang bisa diajak bersosialisasi!" Beberapa detik kemudian, ternyata Ridho ikut mendukung oposisi Karta, "Dul, coba kau berpikir lebih panjang lagi, Karta dan Aji ada benarnya. Kelas kita dianggap 'bermasalah' seperti yang kau katakan karena sebagian dari kita terlalu membesarkan masalah,"

Karta ikut menambahkan, "Ridho dan Aji aja tahu, bagaimana bisa pendidikan Indonesia berkembang kalau kita terlalu membesarkan masalah? Bukannya Reni menyadari kesalahannya, dia malah kabur dan menangis di tempat. Kalau semuanya punya pikiran seperti Reni-"

"BUKAN BEGITU CARANYA!" Sultan marah lagi, "Bukan begitu caranya kita mendidik kemampuan sosial orang! Itu namanya merundung! Kalau kalian mau mendidik orang, kenapa tak mulai dari sekarang kalian belajar memperhatikan dosen ketika tengah mengajar?"

"Eh, Ketua. Memotong pembicaraan orang itu tak sopan tahu!" Sanggah Karta, "Kalau ada kritik, diterima dan ditampung, dong! Ketua macam apa kau, tak tahan dengan kritik?!"

"Semuanya, aku punya satu kesimpulan," Semua mata kali ini tertuju pada Saifuddin, "Kita semua ingin pendidikan Indonesia maju, kan?" Seisi kelas mengangguk, walau Karta dan Sultan memilih diam.

"Di satu sisi, Karta mau mencoba memperbaiki kemampuan bersosialisasi dengan membuat konsep 'tekanan sosial' sekaligus sering membuat lelucon dengan Aji. Bukan begitu, Karta?" Karta mengangguk, "Di sisi lain, Ridho memilih netral, 'kan?" Ridho juga mengangguk, "Ya, walaupun aku sendiri kurang suka dengan metodenya, namun Aji dan Karta ada benarnya,"

"Sultan, kau percaya bahwa pendidikan akademis penting, 'kan?" Sultan dan pendukungnya mengangguk.

"Sekarang, begini," Saifuddin mulai menarik nafasnya, "Kalian semua sadar kalau Reni seorang autis? Kenapa hanya Sultan yang tahu kalau Pak Idris kesal dengan kita dan hanya dia yang menjawab salam beliau? Kenapa masih ada sebagian besar dari kita yang menatap layar ponsel pribadi saat kuliah? Apa yang membuat kita semua 'agak' malas membaca buku dan bahkan malas pergi ke perpustakaan kampus? Apa perundungan baik untuk pendidikan?"

"Sudahlah, Saifuddin. Kau memang anak emas yang hanya bisa mendebat orang, bilang saja kau memihak Sultan!" Aji bosan mendengarnya, "Terserah kalian sajalah, kami tak mau berdebat," Dengan demikian, Aji dan Karta keluar kelas. Walau bukan hal yang mudah untuk mengingatkan orang, kuharap semuanya sadar pentingnya banyak membaca buku dan mengasah kemampuan bersosialisasi dalam kemajuan pendidikan suatu negara.

Sumber informasi cerpen:

kisahmuslim.com

islamicity.org

republika.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun