Mengais cerita kejayaan bangsa di masa yang telah berlalu. Sang Merah Putih masih berkibar dengan tegar diatas hembusan angin penuh kepalsuan. Darah  pejuang kemerdekaan telah mengering bersama nama besarnya. Jasa pejuang telah terkubur dibawah megahnya gedung - gedung yang berisikan para pegulat lidah.
Indonesia setahun terakhir seperti telur diujung tanduk. Kerisauan terus menghantui benak rakyatnya yang murung karna kebingungan mencari rezeki pengganjal perut. Sementara janji terus ditumpuk layaknya tumpukan batu bara di bawah hutan sejuk Pulau Kalimantan. Atau seluas hamparan laut Nusantara yang dasarnya berisikan bangkai kapal - kapal hasil jarahan hingga terumbu karang dan ikan - ikanpum ikut mengutuk kebejatan penghuni daratan negeri ini.
Kontestasi angka tejadi Nol (0) dicemarkan oleh satu (01) dan dua (02). Taukah engkau, di negeri ini nyawa bukanlah hal yang dianggap begitu berharga. 600 (Enam Ratus) rakyat tidak berdosa akhirnya harus mengecup tajamnya malaikat pencabut nyawa karena di iming - imingi oleh paradoks Nasionaliasem.Â
Iya, Nasionaliasem menjadikan manusia lupa rasa berterimaksih, Krisis jiwa kemanusiaan, bahkan haus akan kekuasaan. Lahirlah barisan - barisan yang berisikan golongan - golongan pemuda yang katanya menyuarakan keberpihakan terhadap kaum miskin kota. Namun bungkam dibawah jebakan pendahulu yang terlanjur berselingkuh dengan penguasa.
Usut demi usut ternyata jabatan dan kenyamanan menjadi bagian dari lingkaran penguasa membuat banyak tokoh agama yang pandai menghujat dengan menunggangi firman Tuhan.
Mengutuk 01 dan 02
Ketika angka Nol (0) dicemari oleh para pemburu tahta. Isyu di gulirkan layaknya bola liar yang hanya menyisakan kerisauan. Kualisi - kualisi dibangun dengan arsitek kelas Internasional.
Adalah 01 (Nol Satu) dan 02 (Nol Dua) masing - masing membangun kekuatan. Merawat tubuh dengan suntikan suplemen yang meng-kekarkan otot hingga Bom terkuat sekalipun tidak mampu mencabut nyawanya.
Telah berjalar hingga ke pelosok dengan mengatas namakan Nasionaliasem. Kubu dibagi, suara dipecah kedamaian berangsur sirna. Diatas wajah Ibu Pertiwi dibawah pekik sayap Garuda, Perpecahan semakin menjadi hingga Isyu Peperangan dibuat.
Begitu banyak masyarakat polos ikut tertarik dengan lantunan musik yang dimainkan dengan berbagai suara. Hampir sebagian rakyat ikut menari dengan gaya yang sama. Sementara itu, Perpecahan semakin menjadi - jadi.