Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Si Mulut Harimau dan Isyarat dari Masalembu

30 Juli 2017   15:53 Diperbarui: 31 Juli 2017   06:24 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darul Hasyim di acara doa bersama (foto: istimewa/DH)

"Atas nama peradaban maka kolonialisme (melalui pemaksaan cantrang) itu bisa dibenarkan?" Darul Hasyim Fath, anggota DPRD Sumenep, daerah pemilihan Masalembu, Jawa Timur.

***

Tiga bulan lalu, di sisi mulut palka kapal cantrang menganga, belasan orang berdiri mengepalkan tangan. Mengenakan kemeja putih lengan panjang berkerah hijau tua, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ikut menebar senyum. Di sampingnya, dengan kamera seluler di tangan kanan, seorang pria ikut mengepalkan tangan kiri; bebaskan cantrang!

Detikcom mengabarkan suasana di Tegal, Jawa Tengah itu dengan kasat. Cak Imin, menyulut sumbu ke arah Pemerintah. "KKP ini pertama kali didirikan (era Pemerintahan) Gus Dur, tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, bukan malah mempersulit dan bikin nelayan susah," kata politisi kawakan asal Jombang itu di hadapan ratusan orang di Tegal, Rabu (26/4/2017). Bersama Cak Imin, ikut pula sang mantan, Marwan Jafar. Orang-orang bersorak.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan ikut nimbrung. Dia mengatakan bahwa larangan penggunaan cantrang adalah masalah besar bagi nelayan karena telah menciptakan pengangguran masif. Sekitar 2,4 juta kepala keluarga terpapar, berdampak pada 12 juta buruh pengolahan ikan. Ada 120 ribu kapal nelayan pribumi tidak diperpanjang izinnya karena aturan itu.

Sampai di sini, asap peristiwa sampai di Istana. Eskalasi penolakan menggelinding melalui demo di Jakarta. Diwarnai oleh muhibah KSP ke kantong-kantong nelayan cantrang di Pantura, Presiden Jokowi lalu memberi instruksi ke Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membolehkan penggunaan cantrang setidaknya hingga akhir Desember 2017.

Perihal pelarangan cantrang

Bulan Juli ini menjadi puncak perlawanan para penghela cantrang sejak keluarnya Peraturan Menteri (Permen) KP No.2/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik di seluruh Indonesia. Cantrang salah satunya.  Sesungguhnya, Permen titu bukan hal baru sebab Soeharto pun pernah meluluskan permintaan nelayan kecil untuk melarang trawl melalui Kepres No.39/1980. Dilarang karena sifatnya yang serampangan, rakus dan melumat segala yang ada di depannya, kecil besar, induk, anakan.

Memang, KKP saat dikomandoi Freddy Numberi pernah membolehkan penggunaan trawl terbatas di tahun 2008, melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 06/Men/2008 tentang penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. Tak lama sebab Pemerintah menyadari keliru dan mengeluarkan pelarangan melalui UU No. 45 tahun 2010 tentang Perikanan. Trawl dilarang karena telah terjadi eskalasi konflik yang hebat saat itu.

Pelarangan bermula ketika KKP mencatat bahwa terjadi perkembangan modus trawl dalam varian lain bernama cantrang yang kian masif. Di pesisir Jawa, dalam 10 tahun terakhir terutama di Jawa Tengah misalnya, terjadi peningkatan hingga 100% dalam hampir 10 tahun. Dari 5.100 pada 2007 menjadi 10.758 di 2015.

Di beberapa perairan seperti di Maros, Takalar, Makassar di Sulawesi Selatan, beroperasi varian trawl bernama lampara yang juga ditentang nelayan kecil.

Organisasi lingkungan WWF-Indonesia juga menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan trawls berkisar antara 18-40% dari total komposisi tangkapan. Sisanya adalah sampingan (bycatch) yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang. Ini relevan dengan status eksploitasi sumberdaya ikan menurut versi Menteri Kelautan dan Perikanan aturan No.45/2011 yang menyebut bahwa potensi sumberdaya ikan demersal telah mencapai titik eksploitasi lebih. Salah satu penyebabnya adalah pukat hela. Udang mengalami oversfishing.

Cantrang telah menimbulkan kerusakan lingkungan, menimbulkan konflik sosial karena perebutan wilayah pemanfaatan. Spesifikasi teknis alat tangkap cantrang yang tidak sesuai dengan ketentuan, ukuran mata jaring yang amat rapat hingga ukuran tali ris. Potensi perikanan di sekitar wilayah operasi diperkirakan berkurang hingga 60%, ini dicirikan oleh semakin meluasnya wilayah operasi hingga perairan lintas provinsi, dari perairan Pantura kemudian mencoba merangsek ke Perairan Kalimantan Timur, Masalembu, Natuna bahkan hingga Merauke di Papua.

Perihal trawl dan cantrang

Trawl yang dikenal saat ini dicirikan oleh sebuah kantong besar, tempat terkumpulnya hasil tangkapan yang diikat dengan tali untuk menjaga agar hasil tangkapan tidak mudah lepas. Kantong dihubungkan oleh badan jaring yang menangkap ikan-ikan, menampung jenis ikan-ikan dasar dan udang sebelum masuk ke dalam kantong. Mulutnya didisain selebar mungkin. Serupa mulut harimau yang menganga dan mengaum lebar. Makanya disebut pula pukat harimau.

Trawl pertama kali ke Indonesia atas inisiatif A.M Von Rosendal dan W.C.A Vink pada tahun 1907, keduanya berkebangsaan Belanda. Mereka menggunakan kapal penelitian Gier untuk menguji harapannya atas penggunaan jaring tak biasa ini. Perairan Laut Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar jadi target operasinya. Lalu pada 1940 oleh Dr Westenberg namun tetap tak memuaskan.

Pasca kemerdekaan, melalui Jawatan Perikanan Laut atas tuntunan Meneer E. Schol, pakar trawl dari Belanda kemudian dilakukan riset trawl pada 1950. Disusul tahun 1957 oleh T.H Butler, ahli perikanan dari FAO (PBB) yang hasilnya amat memuaskan. Uji coba dilakukan di perairan Balikpapan dan Kota Baru pada kedalaman sekira 5-25 meter dengan hasil menggembirakan.

Trawl menemukan momentumnya pada tahun 1970. Ketika itu, trawl beroperasi di Perairan Pulau Jawa, Kalimantan, Perairan Indonesia Timur dan Sumatera dengan hasil yang luar biasa. Seiring itu reaksi perlawanan dari nelayan tradisional tersulut. Mereka protes sebab trawl merampas hak-hak nelayan kecil yang ada di pesisir Kalimantan, Jawa hingga Sulawesi. Trawl telah masuk ke wilayah yang selama itu menjadi wahana usaha perikanan nelayan tradisional. Puncaknya tahun 80an sehingga keluarlah aturan dari Pemerintah Soeharto kala itu. Trawl dilarang!

Indonesia memilih jalur dengan mendorong pengelolaan sumber daya kelautan berkelanjutan, melarang beroperasinya trawl melalui Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring Trawls (pukat harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali. Dalam perkembangannya, gairah berusaha perikanan tak padam ketika para pedagang dan nelayan memodifikasi trawl sebagai cantrang, dogol, arad (di Pulau Jawa dan Kalimantan) atau lampara di perairan Sulawesi. Modusnya tetap mengeruk dasar perairan dan dianggap dapat merusak habitat.

Masih segar di ingatan, di awal tahun pada tanggal 10 Januari 2017, satu unit kapal pukat harimau (trawl) milik pengusaha asal Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan di Pelapis, Kabupaten Ketapang. Nelayan Pelapis kesal, kesepakatan yang telah dibuat untuk tidak menggunakan jaring trawl lagi tak diindahkan pemilik.

Konflik yang sama juga terjadi di Perairan Bengkulu. Nelayan meminta agar ada langkah tegas untuk menindak kapal dengan jaring menyusahkan ini. Upaya menentang jaring serupa trawl ini sesuangguhnya bukan hanya saat ini, pada tahun 90an, di wilayah Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran, Cirebon kerap pula terjadi pembakaran alat tangkap ini karena dianggap merusak mata pencaharian nelayan kecil.

Cantrang yang ada saat ini bentuknya yang seperti kantong jaring dengan dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring, tanpa medan jaring atas, bersayap pendek dan tali penghela yang panjang. Ukuran mata jaring yang sungguh tipis menjadi alasan mengapa jaring ini dipersoalkan karena mengambil hingga yang kecil sekalipun. Ukurannya 1,5 inchi dan berlawanan dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2011 bahwa ukuran mata jaring yang diperbolehkan lebih dari 2 inci.

Seperti kita tahu, belakangan ini cantrang merupakan alat tangkap utama nelayan di Jawa Tengah. Ditaksir hingga 80 persen. Besarnya peluang hasil tangkapan menjadi alasan mengapa ini menjadi pilihan utama pemilik modal, investor dan pengusaha-pengusaha papan atas di Pantura hingga Jakarta. Meski kemudian, Pemerintah memilih untuk melarangnya karena pertimbangan keadilan sosial dan keselamatan lingkungan. Hal yang oleh politisi sekelas Cak Imin bahwa kebijakan tersebut tak berpihak ke nelayan cantrang sebagaimana ditunjukkan di Tegal itu.

Isyarat dari Masalembu

Nun jauh, di antara ujung timur Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan bagian selatan, di Pulau Masalembu, di pulau yang perairannya pernah melumat KM Tampomas 2 dalam perjalanan dari Jakarta ke Sulawesi tahun 1981 itu, ratusan nelayan setempat menunjukkan sikap berbeda; cantrang merusak wilayah usaha perikanan mereka. Cantrang mengambil semua---tak  menyisakan harapan untuk nelayan kecil dan generasi mereka.

'Cantrang Barang Haram bagi Orang Pulau." "Tolak Cantrang untuk Kesejahteraan Nelayan Tradisional." "Cantrang Menghancurkan Masa Depan Orang Pulau." Adalah sebagian pesan penolakan dari nelayan Pulau Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur sebagaimana dirilis Detik.

780624bd-68a9-4c63-986e-0cfec588ca44-597e6a7b50952946b03e1e12.jpg
780624bd-68a9-4c63-986e-0cfec588ca44-597e6a7b50952946b03e1e12.jpg
Kabar penolakan itu pula saya dengar langsung dari anggota DPRD Sumenep asal Masalembu, Darul Hasyim Fath pada 28 Juli 2017 di Jakarta.

"Itu salah satu bentuk dukungan nelayan Pulau Masalembu terhadap pelarangan cantrang. Warga dengan inisiatifnya sendiri membuat petisi. Membentang spanduk dan bikin graffiti," sebut Darul yang mengaku di dirinya mengalir darah Madura, Bugis dan Mandar asal Sulawesi ini.

"Ini juga isyarat kepada Presiden Jokowi bahwa urusan cantrang ini berkaitan dengan hajat hidup nelayan kecil, nelayan yang juga memilih Jokowi-JK di Pilpres lalu," tambah mantan saksi saat pelaksanaan Pilpres tahun 2014 ini sekaligus Ketua Komisi I DPRD Sumenep ini.

Perlawanan sosial dari Pulau Masalembu tersebut beralas pada kekhawatiran dari beragamnya jenis ikan yang ditangkap oleh armada cantrang ini. Ikan-kan dasar, ikan demersal dengan mudah ditangkap. Udang, patek, kuniran, manyung, utik, bawal, gulamah, kerong-kerong, patik, sumbal, layur, remang, kembung, cumi, kepiting, rajungan hingga cucut dan pari. Karenanya, pada beberapa lokasi terjadi konflik hebat seperti di Kota Baru, Kalimantan Selatan serta di perairan Sumenep.

"Konflik terakhir itu tahun 2014, ketika ada kapal cantrang ditahan warga dan diingatkan untuk tidak datang lagi. Tapi kemudian mereka datang lagi," kata Darul yang mengenakan baju lengan panjang warna merah kombinasi hitam ini.

Menurut Darul, aturan pelarangan cantrang sudah tepat. Nelayan Masalembu yang umumnya beralat tangkap jaring sederhana (pajala), terusik karena wilayah operasi mereka dirambah oleh nelayan-nelayan cantrang dari Pantura yang dianggap merusak kolom dan dasar wilayah eksploitasi mereka. Tidak jarang warga Masalembu menahan armada cantrang yang nekat beroperasi.

Darul mengatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah berhasil menempuh beberapa langkah strategis dan penting untuk masa depan bangsa. Moratorium izin kapal, telah membantu nelayan kecil, masyarakat pulau. Kebijakan yang tepat karena menjaga negara dari pencurian ikan dari kapal asing. Darul paham bahwa urusan cantrang ini butuh proses dan waktu sebab tidak mungkin menyelesaikan dalam waktu singkat.

Apa yang disampaikannya ini sesuai dengan realitas bahwa fokus Pemerintah adalah menggulirkan bantuan paket alat tangkap untuk nelayan cantrang dengan kapal ukuran di bawah 10 gros ton. Sebanyak 14.367 usulan penggantian cantrang di bawah 10 GT untuk tahun 2017. Jateng terbanyak hingga 6.972 unit. Kapasitas Pemerintah untuk tahun ini masih pada angkat 2.990 unit sehingga harus ada penyesuaian baru, (KKP, 2017)

***

Pada pertemuan dengan Darul tersebut penulis memperoleh informasi bahwa jumlah penduduk Masalembu mencapai 29.000 jiwa dan 60% merupakan nelayan kecil atau tradisional.

"Nelayan kami menggunakan alat tangkap sangat tradisional, membuat rumpon dan mereka memancing di situ. Sementara cantrang ini terbuat dari ratusan mata jaring. Jadi induk ikan, anak ikan semuanya diambil," kata Darul yang mengaku berada di Masalembu ketika berlangsung aksi protes dan penolakan atas pemberian izin bagi cantrang tersebut.

"Acara itu sebenarnya bertepatan dengan acara reses saya. Jadi saat tahu ada perpanjangan operasi cantrang itu, warga serentak memberikan reaksi," kata pria kelahiran tahun 1981 ini. Menurutnya, para nelayan Pulau Masalembu melaksanakan Aksi Doa Bersama pada hari Ahad, 16 Juli 2017. Di Desa Masalima.

"Nelayan kami umumnya menggunakan jaring atau sering kita sebut nelayan pajala," kata pria yang pernah kuliah di UGM pada Fakultas Filsafat ini.

1170c675-bcbb-40b0-b5f3-c2b39ee0e3b5-597e6a9e50952946b60af992.jpg
1170c675-bcbb-40b0-b5f3-c2b39ee0e3b5-597e6a9e50952946b60af992.jpg
Menurut Darul, doa bersama tersebut sebagai bentuk keprihatinan sekaligus keresahan nelayan Masalembu atas masih dilanjutkannya penggunaan alat tangkap cantrang hingga Desember 2017. Hal yang bagi Darul tak lebih sebagai memperpanjang kerusakan alam laut Masalembu.

"Nelayan Masalembu menganggap laut adalah masa depan mereka, laut yang secara turun temurun telah memberikan manfaat, karenanya harus juga dijaga," lanjutnya.

Darul mengatakan bahwa belakangan ini kapal-kapal cantrang masih kerap ditemukan di sekitar Pulau Masalembu, Masalima dan Masakambing. Mereka bersandar di tepian pulau pada malam hari. Meski demikian, Pemerintah Desa sudah mengingatkan untuk tak datang lagi sebab dapat menimbulkan kekhawatiran baru sebab mereka bisa saja masuk ke area rumpon tradisional warga setempat.

Pekerjaan nelayan merupakan pilar bagi Kecamatan Masalembu yang mempunyai luas tidak kurang 40 km persegi ini atau 2% dari luas Kabupaten Sumenep. Terdapat 4 desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Masalembu yaitu, Masalima, Suka Jeruk, Masakambing dan Karamian. Terdapat 4 pulau yaitu Masalembu, Masakambing dan Karamian. Terdapat satu pulau tidak berpenghuni yaitu Pulau Kambing, pulau yang sering jadi persinggahan nelayan cantrang.  Cantrang asal Pati dan Rembang

"Jumlah penduduk saat ini sekitar 26ribu," kata Darul dan sebagian besar merupakan bauran Suku Bugis, Mandar, Makassar dan Madura. Posisi Kecamatan Masalembu dapat dicapai selama perjalanan 12 jam dari Sumenep. Sumenep di lidah orang Bugis Makassar sebagai Sumanna'.

"Kalau dari Surabaya dapat ditempuh selama 16 jam, pakai kapal laut," kata pria yang bersaudara tiga orang ini. Dari Darul diperoleh informasi pula bahwa di Masalembu pernah dioperasikan bandar udara milik Elnusa.

"Nelayan pajala Masalembu belajar dari nelayan Makassar. Saat ini ada sekitar 600 armada pajala" ucap pria kelahiran Masalembu pada 27 Desember 1981 ini.

"Jujur saja, kami terenyuh, saat laut dianggap sebagai masa depan bangsa, kita yang satu, bersaudara, tapi kokcekcok sama tetangga dan pada saat yang sama kita juga tahu masih banyak warga pesisir miskin, pulau menjadi miskin tapi bukan di situ persoalannya," ucapnya.

"Kami tidak boleh berdiam diri, tidak boleh berpangku tangan. Serendah-rendahnya iman adalah menyampaikan harapan ke Presiden. Termasuk bersurat dengan jempol darah," katanya. Menurutnya, surat tidak kurang 600an amplop itu sebagai bukti dukungan bagi pelarangan cantrang oleh Menteri Susi.

***

Bagi Darul, persoalan cantrang ini tidak bisa dianggap sederhana dengan hanya memberi izin operasi dan mengabaikan suara-suara kemanusiaan dari nelayan kecil seperti dari Masalembu. Dia mengatakan bahwa adanya cantrang berkeliling pulau, beroperasi seperti menebar ketakutan.

"Persoalan menjadi tidak sederhana. Di satu sisi nelayan telah lama tidak berdaya, namun pada saat yang sama Negara harusnya hadir," katanya.

Wujud harapan Darul itu dibahasakan dengan bersurat ke Jokowi-JK terkait cantrang itu.

"Mereka menulis dengan tulisan sendiri ke Presiden, ke Presiden yang dipilihnya." katanya. Apa yang diperjuangkan nelayan-nelayan Masalembu ini merupakan rekfleksi dari kedalaman pedulian dan kecintaan pada lautan, pada perairan yang menjadi ruang hidup warga Masalemmbu.

"Ini local wisdomkami dalam mengeksploitasi sumber daya kelautan dan tidak membiarkan lingkungan rusak," ucap pria yang mengaku bahwa telah dikontak beberapa pihak yang ingin menyelesaikan ihwal cantrang ini namun menurutnya harus ditanggapi dengan arif.

"Sebagai perwakilan masyarakat, saya harus ada di pihak mereka, Kalau mau silaturahmi, datang saya," kata sosok yang mengaku tak yakin bahwa tanpa cantrang nelayan akan miskin.

"Kalau mau membahas atau mendiskusikan dampak cantrang, siapa yang diuntungkan, dari sisi ilmiah dan perlu diuji, kami ikut," katanya mantap. Darul mengatakan bahwa sejauh ini apa yang dilakukan oleh nelayan Masalembu masih dalam koridor advokasi yang sehat sejak tahun 2014, sejak ada konflik terbuka di lautan terkait cantrang itu.

"Saya sampaikan ke nelayan, tidak ada ruang untuk anarkisme, kalau mau anarki tangkap sendiri, kita ndak ikut," ucapnya. Dengan upaya itu, setelah peristiwa tahun 2014 itu nelayan mulai pelan-pelan menata dirinya.

Di ujung obrolan, Darul menjelaskan relasi antara memilih menjadi 'nelayan tadisional', modernisasi perikanan hingga posmodernisme sempat menjadi obrolannya dengan beberapa teman yang menyebutnya sebagai 'tidak mau berpindah dari tradisional ke perikanan modern'.

"Apakah memilih tradisionalisme,menjadi haram? Apakah dengan memodernisasi alat tangkap maka tradisionalisme akan hilang? Modernisme kan sudah ditinggalkan? Kaidah post-modernisme malah lebih arif, lebih menekankan pada keseimbangan lingkungan. Kalau teknologi dikembangkan untuk pengetahuan itu sendiri bukankah itu sangat positivistik? Kalau teknologi untuk ilmu pengetahuan saja bukankah itu dehumansasi?" katanya berfilsafat, seperti hendak mengirim pesan ke pihak-pihak yang menganggap bahwa cantrang adalah solusi ekonomi yang pas.

"Bukan tidak setuju, nelayan harus ditingkatkan menjadi modern memang suatu keniscayaan. Tapi di nenek moyang kami, sejak tahun 60an, 70an, dari pakai layar dan dayung besar kemudian berpindah ke ketinting, kapal kayu, sebagai proses alami. Kalau dipaksa saat ilmu pengetahuan belum sempurna tentu akan beda. Sama saja ketika Inggris memaksa Mahatma Gandhi menggunakan celana Levi's," tambahnya.

"Atas nama peradaban maka kolonialisme (melalui pemaksaan cantrang) itu dibenarkan? Lalu keabsahan bernegara ini ke mana? Isu laut ini berlapis-lapis dan perlu solusi bersama. Teman-teman NGO, atau aktivis lingkungan harusnya ada di situ juga." pungkasya.

Tebet, 30 Juli 2017

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun