Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siang Itu di Sunda Kelapa

8 Februari 2016   07:56 Diperbarui: 8 Februari 2016   19:44 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Orang Lombok itu harus kuat iman dan kita gak boleh sepelekan arti perkawinan,” pesannya. Meski begitu, perkawinan keduanya tak seperti rencananya. Banyak hal yang tak sejalan. “Saya dengar mantan istri saya menikah sama orang Ambon, bodyguard,” katanya sembari melepaskan senyum ke kolam pelabuhan Sunda Kelapa.

Menurut beberapa catatan peneliti, pelabuhan Sunda Kelapa dulunya bernama Pelabuhan Kalapa. Menggeliat sejak abad ke-12, adalah juga pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran. Karena strategisnya, Kalapa sempat diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Belandalah yang memenangkan Palapa dan mengangkanginya selama kurang lebih 300 tahun.

Awal tahun 70-an, nama Pelabuhan Kalapa resmi disempurnakan menjadi Sunda Kelapa. Dari sinilah pikiran saya mengembara ke rentang sejarah migrasi, pelayaran dan daya juang para pelaut dari kaki Pulau Sulawesi itu, pelaut Bugis Makassar hingga tiba di pelabuhan ini, dengan lambo dan palari. Lambo adalah pinisi yang berukuran lebih besar sedang palari berukuran lebih kecil.

Di rentang sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan lintasan sekaligus perhentian para pembuat sejarah. Sejak orang-orang Portugis membangun loji pertahanan, penyerbuan Fatahillah, pendudukan Jepang hingga zaman perjuangan kemerdekaan. Karena pendangkalan, fungsi perdagangan antar negara pelabuhan Sunda Kelapa kemudian diganti posisinya oleh Tanjung Priuk yang lebih lempang dan dalam. Kini pelabuhan ini dikelola PT Pelindo II dan diperuntukkan bagi armada dan kru kapal yang tidak bersertifikat internasional alias hanya melayani pelayanan jasa kapal antar pulau.

***

Setelah ngobrol dengan Asdir dan Sandi, dan tentu saja menyalaminya sebagai tanda terima kasih berbagi cerita dan keceriaan di siang yang terik itu, saya mengarah ke seorang tua yang sedang duduk di tangga kapal.

Bertopi rimba, berkacamata, baju dan celananya pun senada, putih yang telah menua. Ada bekas cat yang telah menyatu di celana pendeknya. Dia terlihat tampan siang itu. Senyumnya pas, gigi-giginya terlihat indah. Dialah Talib, pria yang usianya mendekati 70 tahun. Talib terlihat bahagia sebagai pengarung laut dan berkelana di selat-selat.

Talib adalah ABK di KM Lamallise’ tujuan Jakarta – Pontianak. Jalur ini menurut Talib adalah jalur yang telah dilalui selama beberapa tahun. “Mengangkut barang campuran dari Jakarta ke Pontianak,” katanya. Perjalanan dengan KM Lamallise’ ditempuh empat hari tiga malam. “Kalau cuaca bagus,” kata pria yang beristrikan perempuan Banten ini.

Talib sudah 20 hari bersandar di Pelabuhan Ratu. Selama itu sebagian besar waktunya ada di kapal. Sesekali ke Banten. “Yah, tidur di kapal ajalah,” kata pria yang lahir di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan ini. Talib telah berlayar selama 40 tahun. Dia tinggalkan Bone sejak usia belasan tahun, ikut kapal pinisi. Takdir menuntunnya untuk tetap memilih menjadi pelaut. Dengan pengalaman itu dia tak terlihat gusar meski barang yang mau dibawa ke Pontianak belum naik semua.

“Saya berlayar pertama kali ke Sumatera Selatan. Saya lahir di Doping. Anakku sudah ada tellu,” imbuhnya.  “Kalau sudah datang dari Pontianak, saya ke Banten lagi,” katanya.  Kapal yang ditempati Talin mengarungi nasib sebagai pelaut dinakhodai orang Cirebon bernama Pak Umar. “Meski tinggal di Cirebon, Umar juga orang Bugis,” katanya tertawa. Giginya terlihat rapi. Tak nampak kalau usianya sudah mendekati 70 tahun.

“Saya juga pernah ke pelabuhan Sulawesi tapi bukan di sini, di lofi lain.” Pungkasnya. Lopi disebut lofi oleh lidah Bugis adalah perahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun