Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyimak Susi di Seminar ISKINDO

7 Desember 2015   14:20 Diperbarui: 7 Desember 2015   14:59 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penulis bersama Ibu Menteri Susi"][/caption]Saat perempuan nyentrik bernama Susi Pudjiastuti dipinang Presiden Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), saya skeptis. Pertimbangannya bahwa cara pandang sang pengusaha lobster ini akan mengubah mainstream konservasi kelautan yang telah membaik sejak 10 tahun terakhir menjadi mazhab baru, peningkatn produksi perikanan yang bakal menerabas kaidah pelestarian laut.

Berkardus-kardus lobster dari Pulau Simeulue diterbangkan ke luar Aceh dengan memanfaatkan pesawat Susi Air yang kesohor itu dan pada sisi yang lain banyak warga lumpuh karena penyelaman lobster di Simeulue menjadi alas ragu saya.

Kekhawatiran itu saya boyong ke ruangan rapat kerja dan seminar kelautan yang dihelat oleh Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) pada tanggal 4 Desember 2015 di Hotel Millenium, Jakarta. Mengendapkannya dan menyiapkan mata dan telinga untuk mendengar pokok-pokok pikiran Sang Menteri, setahun kemudian.

Lantaran saya anggota ISKINDO, saya mencoba merangkumnya untuk kita cermati bersama (beberapa bagian saya penggal dan beberapa bagian lainnya tak saya masukkan seperti terkait isu reklamasi Jakarta)

***

Ba’da shalat Jumat, dua ratusan peserta seminar dan rapat kerja Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) memusatkan perhatiannya ke panggung acara. Seperti tersihir mereka mencipta keheningan dan membiarkan suara berat serak milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) menari di gendang telinga. Jika pas mereka bertepuk, sebagian lainnya larut dalam suasana khidmat; antara setuju atau sedang pikir-pikir. Termasuk saya.


Susi yang bergaun hitam dan berselendang merah bata gelap kembang itu terlihat anggun. Jauh dari kesan slenge’an yang saya konstruksi berdasarkan opini, berita dan sepak terjangnya di media, di social media.

Dugaan saya bahwa orientasi kepemimpinannya di KKP hanya menjadi perangkat ambisi bisnis atau ekonomi saya kubur dalam-dalam. Ini bermula dari argumentasi dia mengenai inefisiensi pembangunan di pesisir laut, ketiadaan negara dalam memaksimalkan keunggulan posisional di lokasi-lokasi strategis perikanan seperti Papua, Maluku, Banda hingga Natuna, argumentasi menolak reklamasi pantai yang berpotensi merusak keseimbangan alam.

“KKP butuh masukan Iskindo agar Indonesia menjadi negara poros maritim dunia, sebagai kekuatan ekonomi kelautan dan perikanan agar diperhitungkan oleh dunia dan kenapa kita harus menguasai di Asia Tenggara dan menjadi pemain dominan.” katanya seraya menyodorkan beberapa fakta dan temuan perubahan-perubahan selama rentang pengabdiannya di KKP.

“Melihat kebijakan-kebijakan, baik yang diterima oleh masyarakat, waktu telah membuktikan bahwa ekonomi perikanan dari kuartal pertama hingga terakhir meningkat hingga di atas angkat 8%. “ terangnya.

Apa yang disampaikannya ini sangat penting dan jadi barometer progressif sebab sektor lain sedang bergerak perlahan (slowing down) atau nyaris melemah, sebagai misal sektor pertanian hanya 5%, sementara perikanan dari 6% menjadi 8%. Demikian pula adanya signifikansi hasil tangkap mencapai 40%.

Apa yang dipaparkan Susi ini disebutnya sebagai kontribusi pada perbaikan daya asup gizi masyarakat Indonesia, protein ikan tersedia di dalam negeri dan diharapkan dapat menjadi pemicu perbaikan kualitas sumberdaya manusia kita.

“Lebih banyak protein di pasar, 1 dari 3 anak Indonesia buntet (alias kerdil).” tambahanya. Kondisi ini bagi Susi disebut sebagai ironi yang tak boleh terjadi. Susi berharap dengan sebaran ikan yang lebih banyak ke pasar itu akan akan jadi tren positif meski di Jawa tetap lebih mahal.

Beberapa hal yang menggembirakan menurut Susi adalah karena adanya proses produksi dan penampungan yang difasilitasi oleh Perindo (perusahaan Pemerintah di bidang perikanan).

“Naik 500% tahun ini!” katanya mantap terkait produksi ikan dan distribusinya tahun ini. Hal yang sangat positif bagi Perindo di tengah pengalaman sebagai perusahaan perikanan nasional yang kerap merugi.

Berkaitan dengan produksi dan tren positif ini menurutnya, Pemerintah melalui KKP telah memberikan porsi yang maksimum dalam hal penganggaran. Ada dana 12 trilliun yang bisa dimanfaatkan dan telah diplot, semisal, 2,5 trilliun untuk budidaya perikanan, 1,5 trillin untuk BPSDM termasuk untuk perikanan tangkap.

Di paparan ini Susi ingin menunjukkan bahwa selama satu tahun terakhir ada indikasi persediaan ikan di laut membaik atau meningkat sehigga meningkatkan produksi perikanan nasional meski menurutnya masih dibutuhkan pendekatan dan tata kelola yang lebih efektif dan efisien.

Anti Pemberdayaan?

Saya agak kaget saat ibu Menteri mengatakan, “Saya mengharapkan peningkatan ekonomi kelautan, kata pemberdayaan saya larang, tidak ada lagi, bahasa seperti itu. Saya berharap ISKINDO bisa membantu dalam menjamin adanya efektiftas kata.” katanya. Orang-orang diam, saya pun tertegun dan tak sabar menunggu kelanjutan sambutannya.

“Kita tidak efisisen itu dimulai dari bahasa kita, kenapa tidak straight forward? Nelayan tangkap apa, pemberdayaan bisa dalam bentuk pengadaan kapal, jaring, cold storage.” tegasnya.

Susi lalu melanjutkan bahwa dia alergi dengan kata peningkatan, pemberdayaan, peningkatan kualitas.

“Kalau nelayan diberdayakan, ya beli kapal.” lanjutnya.

Sebelum saya sempat berpikir bahwa ibu Menteri harusnya paham bahwa saat ini di Pemrmendagri 54, terdapat dua aras perencaaan pembangunan nasional yaitu perencanaan teknokratis dan perencanaan partisipatoris, di perencanaan inilah pemberdayaan masyarakat bersemayam. Sembari mencoba memahami teks omongan ibu Menteri, dia melanjutkan.

“Kita minta Bappenas, meminta presiden untuk mengubah bahasa RKAKL” janjinya. Apa yang dijelaskan Susi ini dipertegas dengan pengalokasian anggaran pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

“Kita akan siapkan anggaran untuk pengadaan sekitar 3.500 kapal nelayan, dari yang 5 GT hingga 30 GT. “ tambahnya. Anggaran yang besar hingga 100 trilliun ini karena pengurangan kata program pemberdayaan nelayan.

Intinya, pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan harus menerapkan prinsip “Straight  to the point” dan akan menjamin pembangunan perikanan Indonesia makin bergulir. Meski menurutnya, keberadaannya tak akan langgeng karena banyaknya pihak yang merasa terusik atas kehadirannya.

***

Susi lalu melanjutkan pesannya.

“Saya berpesan kepada ISKINDO, kepada organisasi kelautan, untuk tidak pernah memberi lagi konsesi kepada asing dan nelayan asing. Ini sangat penting. Kita tidak ingin seperti beberapa negara yang akhirnya, konsesi untuk menangkap ikan dimiliki oleh asing.” paparnya. Nelayan asing yang dengan kecanggihannya melupakan dan mengabaikan nelayan kecil kita. Dia mengambil contoh Afrika.

Di balik pernyataannya ini Susi ingin menegaskan perlunya kedaulatan atas sumberdaya kelautan atau maritim kita.

“Laut kita bukan untuk disharing, bukan untuk dibilateralkan, ini sovereign kita.” katanya mengutip pernyataannya di Menado saat ada pertemuan Asia Pacific tetang illegal fishing dan ikan tuna. Susi juga melansir adanya diplomat atau elite yang yang mengajukan premis kalau Pemerintah tidak bisa mengelola perikanan, harusnya di-share atau dibagikan ke negara lain.

“Tapi saya jawab No Way! EEZ is ours!.” katanya tegas. Hadirin bertepuk tangan.

Menurut Susi, EEZ atau ZEE merupakan wilayah otoritas Indonesia dan hanya bisa dikelola oleh Indonesia, hal yang sangat penting. Kalau ada proteksi, ikan bisa bebas ke pantai, nursering dan breeding dan lain sebagainya.

“Yah, kalau tidak bisa ditangkap ya biar sajalah.” katanya disambut gelak tawa hadirin.

Bagi Susi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia adalah soal nation’ interest, soal dimana ada hubungan fungsional antara nelayan, baik nelayan kecil atau besar dengan alam Indonesia. Menurutnya jika nelayan punya banyak hal dari sisi sumberdaya alam laut maka itu juga akan menjadi pola relasi yang baik dan langgeng. Jadi bukan semata-mata mengeksploitasi.

“Saat ini, di laut kita sudah mulai disegani negara lain,” katanya.

Menurut Susi kesan orang dan sikap kita adalah cerminan dari mentalitas dan mindset kita. Baginya, mentalitas orang-orang berpikir besar adalah tidak berpikir terkotak-kotak, secara operasional dapat dilihat dari alur pikir sang Menteri.

“Caranya adalah membuat transportasi antar pulau jalan, hub kita tidak bisa sendiri-sendiri, Selatan Papua, Maluku ke Australia adalah jalur yang bisa dimanfaatkan.” katanya.

Berkaitan pengembangan kawasan-kawasan strategis seperti Papua dan Maluku, Susi menghendaki adanya pemanfaatan keunggulan posisional dan ragam pengalaman selama ini. Sebagai misal, dari Papua orang Freeport bisa langsung ke Cairns Australia atau ke Brisbane atau Canberra. Demikian pula dari Maluku atau Biak ke Pasifik hingga Hawaii. Susi ingin pola seperti itu menjadi trigger pembangunan kelautan, berdasar relasi eksiting.

“Kita yakin untuk membangun dari Saumlaki. Dari Saumlaki ke Darwin sekita 400 kiklometer, tetapi kalau dari Saumlaki ke Makassar (sebagai hub bisa sangat jauh sekali), skala ekonomi kecil dan rugi.” katanya. Maksudnya adalah upaya selama ini untuk menjadikan hub-hub tertentu menjadi sangat tidak ekonomis dan hanya buang waktu. Tidak efisien.

“Mengapa tidak mengekspor ikan dari Maluku atau Biak ke Pasifik? Atau ke Australia? Jepang dengan memanfaatkan pola yang sudah ada?” tanyanya. Apa yang disampaikannya ini juga relevan dengan fakta bahwa beberapa daerah di Indonesia bisa berpotensi menjadi lokasi ekspor seperti dari Sumatera ke Phuket, Jepang.

“Kenapa harus ke Makassar? Jakarta?” tanyanya.

Bagi Susi sangat terbuka kesempatan untuk memperluas jalur distirbusi perikanan, terbuka ruang untuk mengembangkan ekonomi wilayah-wilayah lain selain Jakarta dan Makassar (sebagai misal).

“Jadi untuk, to open every single gate away whether other country harus yang realistik dan bisa diakses. Silakan Sarjana Kelautan, mamakai logika relevan dengan situasi tersebut.” Pintanya. Susi ingin menunjukkan bahwa inefisiensi, kebelanjutan, perencanaan, standar usaha perikanan yang pantas, subsidi ekonomi harus menjadi cermatan bersama.

Gagasan Susi pada optimalisasi bisnis perikanan dengan memanfaatkan keuntungan geografi merupakan hal menarik sebab bisa memangkas rantai inefisiensi. Beberapa jalur disebutkannya seperti Sulawesi Utara ke Filipina (Davao) atau ke Jepang. Demikian pula seperti Marore ke Pasifik atau ke Australia.

“Oleh sebab itu, yang saya perlukan dari kawan-kawan ISKINDO adalah membuat telaah, pendekatan yang lebih membumi, lebih realistik dan bisa dijangkau oleh kapasitas kita, saya merevitalisasi perikanan tangkap kita meskipun banyak pihak yang masih mempertanyakan termasuk anggota DPR, sekalipun.

***

Berdasarkan uraian di atas, saya menduga daya kritis sekaligus sindiran Menteri Susi pada program pembangunan selama ini termasuk penggunaan diksi “pemberdayaan masyarakat” sebagai “inappropriate” karena selama ini kita terlalu banyak menghabiskan sumberdaya, waktu dan ruang dengan menggunakan jargon yang tidak bisa diukur. Hanya menjadi mainan para elite untuk mengelabui rakyat atas nama pembangunan.

Program-program besar seperti PNPM meski telah menghabiskan dana milliaran hingga trilliunan namun kualitas hidup masyarakat di pesisir belum sepenuhnya membaik. Belum lagi sarana prasarana yang dibangun namun tak fungsional seperti balai pertemuan, MCK, dermaga dan lain sebagainya.

Pembangunan kelautan dan perikanan memang membutuhkan pendekatan baru sebab pada ruang dan waktu perubahan dan tantangan telah semakin massif dan berat, hanya pribadi dan organisasi yang tangguh yang bisa menjawabnya.

Apa yang disampaikan ibu Menteri Susi di atas banyak benarnya, namun tak semuanya bisa diterima sebagai 100% tepat. Maksudnya, perlu kesabaran dan penyesuaian kapasitas tersedia dari pusat hingga ke kampung-kampung, dari Sabang sampai Merauke, dari yang realistik dan bisa dilaksanaan, termasuk memahami situasi yang dihadapi para pihak seperti unit kerja KKP, DKP Provinsi, Kab/Kota yang mungkin saja sulit beranjak dan butuh waktu dan proses.

Anggota dan pengurus ISKINDO mungkin bisa mengakselerasi proses itu sebagaimana harapan Susi.

Apapun itu, rasa skeptis saya mulai terjawab, ada harapan baru terkuak di sana.

Jakarta, 7 Desember 2015

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun