Pengalaman saya selama ikut jadi blogger dan masuk ke dunia blogging (blog) sejak 10 tahun lalu (2009), yang namanya BUZZER itu memberikan pencitraan positif pada satu brand atau figur ke media sosial.Â
Bisa juga sebaliknya, BUZZER justeru dimanfaatkan untuk menjatuhkan atau pembunuhan karakter.
Namanya juga BUZZER = mendengung, atau orang yang "mendengungkan" kepentingan pihak tertentu.
Tidak jarang terjadi, sesama BUZZER malah saling serang.
Untuk jasa itu, orang yang nge-buz (BUZZER) dibayar per job, per proyek atau dikontrak dalam waktu tertentu.
Alhamdulillah, selama ini saya masih BUZZER kelas cere, keroco, ngebuzzer terbatas untuk brand, bukan politik.
Sekali-kalinya jadi BUZZER politik, waktu Pilpres 2019 lalu. Gak lama, saya mundur, setelah membaca materi buzzernya cenderung menyerang dan menjelek-jelekkan Paslon lain.
Belum lama ini ada tawaran lagi nge-buzzer. Bahkan, ada tawaran ngebuzzer khusus materi politik dan hukum, mungkin karena mereka tahu background saya wartawan dan advokat (lawyer), tapi saya masih pikir-pikir. Ini berisiko.
Lebih aman memang nge-buzzer soal produk. Seperti handphone dan laptop. Aman dan uangnya berkah....hehe...
Tapi nge-buzzer produk, bukan tidak bermasalah. Paling tidak teman saya yang juga blogger, menuding buzzer seperti ini lebih tepat disebut "Digi Marketer".Â
Entah apa maksudnya. Suka-suka dialah berpendapat dan itu juga hak dia. Gak ada yang boleh melarang berpendapat di negeri ini. Aspirasi harus dihormati dan dihargai. Yang gak etis itu, nyinyir kepada buzzer.