Teman lain juga berkomentar. Ngotot. Malah terkesan memaksakan kehendaknya agar saya sepakat dengan pendapat dan keyakinannya. Bahwa, tidak semua buzzer dibayar.Â
Ya, gak bisa dong. Di sana mungkin gak mau dibayar. Tapi yang saya ceritakan di atas adalah pengalaman pribadi saya. Saya nge-buzzer dan dibayar. Saya juga mau koq nerima bayaran. Lalu apa yang salah?
Saya kira, semua orang punya pilihan, juga memilih menjadi buzzer tanpa dibayar. Termasuk yang dibayar. Ini juga yang diperdebatkan di Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne yang dipandu Karni Ilyas, beberapa malam lalu.
Siapa yang bayar buzzer? Kenapa dibayar, dan sejumlah pertanyaan lainnya. Di luar ILC, saya juga dihujani pertanyaan. Siapa yang bayar, ya ada deh....
Akhirnya dengan pendapat dan apa yang saya jalani sebagai buzzer, ini menjadi tertawan si kawan tadi. Paling tidak, saya juga tertawa dengan penilaian yang dia paksakan.
Dia bilang, tidak semua buzzer dibayar. Aktivis lingkungan dan sosial, nge-buzzer tanpa dibayar. Lalu apa pula salah saya jika nge-buzzer dan dibayar?
Nah, dari pada berpolemik terus. Saya akhiri saja tulisan ini. Kalau menurut Anda sendiri bagaimana?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI