Ya, menulis berita itu "ngeri-ngeri sedap".
Waktu saya (penulis) masih aktif sebagai reporter  lapangan Harian Terbit, sebuah koran sore terbitan Jakarta, saya sempat disekap beberapa jam, di ruang sekuriti sebuah pabrik konveksi di KBN Cakung Cilincing, Jakut oleh oknum anggota Koramil.
Penyekapan dilakukan saat liputan aksi demo buruh kawasan industri. Gara-garanya saya nekat wawancara buruh untuk mengetahui apa tuntutan mereka terhadap perusahaan.
Saat asyik wawancara itulah, saya diciduk dan diamankan di ruang sekuriti. Diintrogasi. Baru dilepas sore hari jelang koran naik cetak, disaat redaktur di kantor masih ngomel-ngomel menunggu laporan demo saya dari lapangan.
Rupanya, aksi demo-demo buruh saat itu, memang jadi sorotan aparat keamanan. Mereka belajar dari kasus tokoh buruh wanita bernama Marsinah, di Surabaya, beberapa bulan sebelum saya disekap. Marsinah ditemukan tewas usai demo. Diduga karena penyiksaan.
Nah, memilih profesi wartawan (jurnalis) itu, memang "ngeri-ngeri sedap". Tapi mau bilang apa lagi. Itu sudah pilihan hidup. Kalau akhirnya mati atau dipaksa mati karena menulis berita, itu sudah resiko professi sebagai jurnalis. Insya Allah mati syahid. Amin.
Hamdani, Kompasianer, sebelumnya sudah menulis kisah wartawan pekerja jurnalistik Jamal Kashoggi ini.Â
Profesi jurnalis, kata Hamdani, kian terancam jiwanya belakangan ini. Â Jamal misalnya dikabarkan hilang saat tengah melakukan pekerjaannya sebagai wartawan.Â
Pria berumur 59 tahun ini (lebih tua setahun dari umur saya hahaha....) memulai kariernya sebagai wartawan di Arab Saudi setelah lulus dari sebuah universitas Amerika di tahun 1985.
Kemudian Khashoggi bekerja di sejumlah media Arab dan saluran TV, memulai karier sebagai wartawan asing sampai menjadi pemimpin redaksi.