Penjurusan di SMA: Solusi Pendidikan atau Langkah Terlalu Dini?
Oleh: Dadan Mardani
Pernahkah kita bertanya, seberapa siap seorang remaja berusia 15--16 tahun mengambil keputusan penting yang bisa menentukan masa depannya? Di Indonesia, salah satu momen krusial itu adalah saat siswa SMA harus memilih jurusan: IPA, IPS, atau Bahasa. Sebuah keputusan yang kerap dianggap remeh, padahal menyimpan banyak dilema.
Sebagai pendidik dan pemerhati pendidikan, saya sering menjumpai siswa yang masih bingung bahkan setelah penjurusan dilakukan. Ada yang dipaksa masuk jurusan tertentu karena tekanan orang tua, ada pula yang terjebak karena mengikuti tren teman. Tidak sedikit pula yang merasa "salah jurusan" namun tak tahu harus berbuat apa.
Menelisik Akar Masalah: Sistem vs Minat Siswa
Sistem penjurusan di SMA pada dasarnya bertujuan untuk mengarahkan siswa pada bidang yang paling relevan dengan minat dan kemampuan mereka. Namun dalam praktiknya, sering kali minat tidak menjadi pertimbangan utama. Faktor nilai rapor, persepsi tentang jurusan "favorit", bahkan stereotip profesi masa depan, lebih dominan dalam proses ini.
Siswa yang unggul di Matematika dan IPA, misalnya, otomatis dianggap cocok masuk jurusan IPA, tanpa memedulikan bahwa mungkin dia justru bercita-cita menjadi jurnalis atau penulis. Sementara siswa yang gemar berdiskusi dan analisis sosial mungkin dipaksa masuk jurusan IPA karena dianggap lebih bergengsi. Ini menimbulkan ketimpangan antara potensi, minat, dan pilihan jurusan.
Realita Lintas Minat dan Tantangan Masa Kini
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mencoba memberi ruang dengan menghadirkan konsep lintas minat. Siswa IPA bisa mengambil pelajaran IPS, dan sebaliknya. Tapi sayangnya, kebijakan ini belum sepenuhnya meresap di semua sekolah. Masih banyak sekolah yang membatasi fleksibilitas, baik karena kekurangan guru, keterbatasan jadwal, maupun pemahaman kebijakan yang belum merata.
Situasi ini kian kompleks dengan kenyataan bahwa dunia kerja kini tidak lagi terlalu ketat memisahkan antara jurusan eksakta dan sosial. Seorang lulusan IPS bisa bekerja di sektor teknologi, sementara lulusan IPA bisa sukses di bidang ekonomi kreatif. Dunia semakin lintas disiplin, sementara sistem pendidikan kita masih terlalu "mengotak-ngotakkan" siswa.