Menelusuri Makna Qurban dalam Jejak Peradaban dan Spiritualitas
Dalam lintasan sejarah panjang peradaban manusia, praktik pengorbanan menjadi bagian tak terpisahkan dari laku spiritual masyarakat kuno. Di berbagai belahan dunia, baik di Mesopotamia, Mesir Kuno, hingga Amerika Tengah, pengorbanan manusia pernah menjadi ekspresi puncak ketundukan kepada kekuatan adikodrati. Manusia dijadikan tumbal demi menenangkan "dewa", menolak bencana, atau memohon keberkahan. Di balik itu semua, ada satu pertanyaan filosofis yang menggantung hingga hari ini: benarkah Tuhan menginginkan darah manusia sebagai bukti ketaatan?
Pertanyaan tersebut mendapat jawaban agung dalam kisah Ibrahim dan Ismail. Sebuah ujian besar datang dari Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS, seorang nabi yang telah menunggu kehadiran anak selama bertahun-tahun, untuk menyembelih putranya sendiri sebagai bentuk pengabdian tertinggi. Namun, pada titik kulminasi ketaatan tersebut, Allah mengganti Ismail dengan seekor hewan. Peristiwa ini tidak hanya menjadi bagian dari kisah suci yang diwariskan generasi ke generasi, tetapi merupakan momen transformatif dalam sejarah spiritual manusia. Ia adalah penanda pergeseran fundamental: pengorbanan manusia ditolak, dan kemuliaan manusia ditegaskan.
Qurban dalam Islam bukan sekadar ritual penyembelihan hewan setiap Idul Adha. Ia adalah simbol dan bahasa yang membawa pesan spiritual, etis, dan kemanusiaan yang mendalam. Kisah ini adalah kritik terhadap tradisi lama yang menempatkan manusia sebagai objek persembahan, dan sekaligus penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang harus dimuliakan, bukan dikorbankan.
Idul Qurban, dengan seluruh simbolismenya, bukan hanya momentum untuk berderma daging kurban kepada sesama. Ia adalah panggilan reflektif untuk menyembelih ego, amarah, keserakahan, dan sisi hewani dalam diri manusia. Sebab sejatinya, hewan yang kita sembelih di hadapan Allah hanyalah simbol dari pergulatan batin manusia melawan nafsu yang menurunkan derajatnya ke tingkat paling rendah.
Dengan memahami kedalaman spiritual Qurban, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ibadah ini bukan hanya bentuk pengabdian vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pernyataan nilai-nilai kemanusiaan, keikhlasan, serta pengakuan akan derajat tinggi manusia yang tidak seharusnya dijatuhkan menjadi alat ritual atau korban atas nama kekuatan adikodrati.
Maka, ketika kita menunaikan ibadah kurban, sesungguhnya kita sedang memperingati kemenangan kemanusiaan atas tradisi kebiadaban, dan menegaskan bahwa agama hadir bukan untuk merendahkan manusia, tetapi justru untuk memuliakannya setinggi-tingginya.
Transisi dari Pengorbanan Manusia ke Hewan: Koreksi Ilahi atas Praktik Barbar
Sebelum datangnya ajaran tauhid yang dibawa para nabi, banyak masyarakat kuno menjalankan praktik persembahan yang ekstrem kepada dewa-dewa mereka. Dalam kepercayaan-kepercayaan politeistik, pengorbanan manusia dianggap sebagai bentuk tertinggi dari persembahan. Anak-anak, perempuan perawan, bahkan tawanan perang dijadikan korban demi mendapatkan hujan, hasil panen melimpah, atau kemenangan dalam peperangan. Tradisi semacam ini ditemukan dalam kebudayaan Aztek, Babilonia, Kanaan, hingga suku-suku awal di wilayah Asia dan Afrika.
Dalam konteks ini, kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail AS, tampak seolah-olah mengafirmasi praktik lama tersebut. Namun justru di situlah letak kedalaman dan keunikan pesan ilahiah Islam: perintah penyembelihan itu hanyalah ujian, bukan sebuah kehendak Tuhan yang sesungguhnya. Ketika Nabi Ibrahim dan Ismail telah menunjukkan ketundukan total kepada Allah SWT, maka datanglah koreksi ilahi yang agung: Ismail diganti dengan seekor hewan sembelihan.
Peristiwa ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai pergantian objek kurban, melainkan sebagai titik balik sejarah spiritual umat manusia. Allah SWT dengan tegas menyampaikan bahwa pengorbanan manusia tidaklah dibenarkan dalam agama yang benar. Ini adalah bentuk kritik transendental terhadap praktik-praktik barbar yang mengorbankan jiwa manusia atas nama pengabdian spiritual. Tuhan dalam Islam tidak menghendaki darah manusia sebagai bukti cinta, melainkan ketaatan dan keikhlasan hati.