Setiap tanggal 21 April, hampir di seluruh penjuru Indonesia, kita menyaksikan perempuan-perempuan Indonesia tampil anggun mengenakan kebaya. Di sekolah, kantor, bahkan di pelosok desa, kebaya dikenakan sebagai penghormatan terhadap sosok Raden Ajeng Kartini, perempuan bangsawan Jawa yang melawan ketertinggalan perempuan dengan pena, hati, dan keberanian.
Namun, apakah kebaya hanyalah kostum seremonial tahunan?
Apakah ia sekadar kain tradisional yang menjadikan kita tampak lebih "Indonesia" di hari peringatan?
Tidak.
Kebaya lebih dari itu. Ia adalah simbol dari perjuangan sunyi, keberanian yang lembut, dan kekuatan yang membungkus diri dalam kesantunan.
Di Balik Lipatan Kain, Tersimpan Cita-Cita Besar
Kartini hidup di era ketika suara perempuan nyaris tak terdengar. Dunia menahannya dalam batas adat, gelar, dan ruang rumah. Namun ia melawan. Tidak dengan teriakan. Tidak dengan tombak. Ia melawan lewat tulisan.
Dan ia tetap mengenakan kebaya, bukan karena tunduk pada tradisi feodal, melainkan karena ia ingin meretas batas dalam diam, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai perempuan Jawa. Kebaya baginya adalah pernyataan bahwa perempuan bisa maju tanpa kehilangan akar budaya.
Dalam foto-foto Kartini yang diwariskan kepada kita, ia tak pernah tampak "memberontak" secara visual. Namun dari balik kebaya itu, ia menulis surat-surat yang menggugat: tentang pendidikan, kesetaraan, kebebasan berpikir. Ia bergerak dalam ruang keterbatasan, berbicara lewat pena, sambil tetap mengenakan busana yang dianggap simbol kepatuhan. Di situlah letak keberaniannya.
Bagi Kartini, kebaya bukan penjara. Kebaya adalah bentuk diplomasi budaya. Ia memilih tetap dalam kebaya sebagai cara untuk berkata: "Aku perempuan Jawa. Aku menghormati budaya ini. Tapi aku juga ingin berpikir, bermimpi, dan menentukan nasibku."
Kebaya menjadi pelindung tubuh dan kehormatan, namun juga menyimpan bara. Ia membalut tubuh yang menolak dibungkam. Ia menyimpan ketegasan yang tak perlu diumbar.