Mohon tunggu...
Diah Utami
Diah Utami Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat

Warga dunia biasa yang masih suka hilang timbul semangat menulis dan berceritanya. Berharap bisa menebar sepercik hikmah di ruang maya kompasiana. Semoga berkah terlimpah untuk kita, baik yang menulis maupun membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hiro, Bukan Sekadar Tutor

19 Januari 2018   21:19 Diperbarui: 21 Januari 2018   04:38 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiro dan Aku di Kampus Gunma (Dok. Pribadi)

"Jangan panggil Hiro-kun." Ujarnya di pertemuan awalku dengannya. "Hiro saja."

Tapi... bukankah sapaan "kun" itu pertanda keakraban untuk laki-laki Jepang? Tukasku saat itu. "Iya, tapi Diah-san bukan orang Jepang kan?" timpalnya lagi. Ah... dia sendiri masih memanggilku dengan tambahan sapaan "san" yang merupakan penghormatan buatku. Tapi lama kelamaan, kami saling memanggil dengan Hiro dan Diah saja. Memang terasa lebih akrab.

Siang itu kulirik jam di atas meja. Lima menit menjelang jam 1 siang, waktu pertemuanku dengan Hiro, tutorku. Tak mungkin aku sampai di kampus hanya dalam waktu 5 menit dari apartemenku. 

Kukirim pesan pendek melalui ponsel untuk memintanya menunggu. Mudah-mudahan aku sudah sampai di kampus sebelum pukul 13.10. Segera kukayuh pedal sepedaku di jalanan lengang siang itu. 

Hanya di persimpangan jalan aku harus menunggu beberapa saat hingga cukup aman untuk menyeberang. Ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Hiro masuk. Katanya, dia pun akan terlambat karena sedang dalam perjalanan setelah makan siang dengan kawan karibnya. Ah... legalah aku.

Malu untuk kuakui, di Indonesia aku cukup sering terlambat menghadiri acara ini dan itu. Di Jepang, yang kabarnya terkenal sebagai negeri dengan penduduk yang sangat menjunjung tinggi disiplin dan ketepatan waktu, tentu aku menyesuaikan diri. 

Aku berusaha keras untuk datang tepat waktu pada saat kuliah, pertemuan dengan teman-teman, dan janji lainnya. Tidak mudah memang, tapi kurasa aku cukup berhasil. 

Walaupun demikian, ternyata tutorku ini tidak termasuk ke dalam tipikal orang Jepang yang sangat ketat pada jadwal. Soal janji pertemuan yang rutin kami jadwalkan, tidak hanya sekali-dua kali dia terlambat datang. 

Aku sih maklum saja... lha wong aku sendiri juga tidak jauh berbeda dengan dia kok. Mungkin memang kami ditaktirkan untuk bertemu, supaya saling mengerti. Hehe...

Pertemuan rutin kami tidak sengaja dijadwalkan untuk membahas masalah tertentu, tapi diagendakan secara fleksibel saja. Senangnya, Hiro ini punya pemahaman yang luas tentang budaya Jepang, sehingga aku bisa belajar banyak darinya.

Sebelum kepulanganku ke Indonesia, aku membeli beberapa barang khas Jepang dari Hyaku-en shop, toko serba 100 yen. Murah meriah. Salah satu benda yang kubeli adalah kantong serut bertuliskan huruf hiragana. Ketika kutunjukkan benda itu pada Hiro, aku sempatkan untuk bertanya.

Kantong serut bertulisan hiragana (Dok. Pribadi)
Kantong serut bertulisan hiragana (Dok. Pribadi)
"Kenapa sih urutan hurufnya bukan A-Ka-Sa-Ta-Na-Ha-Ma-Ya-Ra-Wa seperti standar, atau A-I-U-E-O dan seterusnya?" Hiro melirik tas itu sekilas, lalu berkomentar, "Ini adalah asal-usul huruf hiragana. Ada ceritanya nih..." Dia lalu menjelaskan panjang lebar mengenai kisah itu. Hey... ini seperti kisah ha-na-ca-ra-ka-nya huruf Jawa, begitu yang terlintas di benakku seketika. Tentu saja kisahnya berbeda. Tambah satu ilmu darinya, yang tidak kudapatkan dari sesi perkuliahan.

Selanjutnya kutelusuri asal usul tulisan ini, yang ternyata adalah sebuah puisi lama. Tanya wikipedia saja, sumber di sana cukup memberi penjelasan yang rinci dan mudah dibaca kembali. Versi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau Bahasa Jepang, sama-sama menarik namun tentu kontennya sedikit berbeda. 

Pada kesempatan lain, kuceritakan tentang seorang teman Turki yang ketakutan ketika bapak kosnya meninggal sebelum bulan Agustus. Ada sebuah legenda yang masih terpelihara di masyarakat Jepang. 

Mereka percaya bahwa setiap tanggal 15 Agustus, roh orang yang telah mati akan datang kembali untuk mengunjungi sanak saudaranya yang masih hidup. Roh-roh itu akan mengunjungi rumah kerabat mereka, "hadir" semalam suntuk, untuk kemudian kembali ke alamnya saat pagi menjelang. Temanku ini takut jangan-jangan arwah bapak kosnya ini akan salah masuk. Alih-alih ke rumah utama, malah "nyasar" ke apartemen yang dia tempati. Ah... ada-ada saja.

Hiro kemudian menyampaikan kisah tambahan seputar kembalinya para arwah para leluhur yang disebut dengan Festival Obon, yang diyakini jatuh pada tanggal 15 Agustus setiap tahunnya.

"Tahu-tidak, bahwa pada malam itu, rumah-rumah keluarga Jepang memasang api unggun atau lampion di depan pintu, untuk memandu para arwah yang berkenan datang mengunjungi mereka." Aku hanya mengangguk-angguk. Sebetulnya hanya karena tak sabar ingin mendengar kelanjutannya.

"Mereka juga menyiapkan ketimun dan terung yang diberi kaki dan kepala sebagai perlambang kendaraan yang akan dinaiki oleh para arwah itu." Kembali kepalaku mengangguk-angguk.

terung perlambang sapi dan ketimun perlambang kuda (sumber: nippon.com)
terung perlambang sapi dan ketimun perlambang kuda (sumber: nippon.com)
"Ketimun yang ramping melambangkan kuda yang akan membawa para arwah kembali ke bumi. Kuda berlari cepat, sehingga diharapkan roh leluhur itu akan dapat segera tiba untuk melihat anak-keturunannya pada malam itu. "

"Di pagi hari, akan disediakan terung yang melambangkan sapi yang gemuk dan relatif lamban, sebagai perlambang bahwa arwah leluhur itu enggan meninggalkan dunia, dan berlambat-lambat dalam perjalanan kembali ke akhirat." Oh... begitukah?

Note: ketimun Jepang atau kyuuri berwarna hijau tua dengan bentuk langsing dan lebih panjang dibandingkan dengan ketimun di Indonesia pada umumnya. Sedangkan terung ungu di Jepang justru relatif lebih bundar dibanding terung di Indonesia yang rata-rata panjang dan langsing.

Dalam kamus kita sebagai muslim, kita tentu tidak mengenal konsep semacam ini. Bagaimana pun, seseorang yang sudah meninggal akan hidup terpisah di alam yang berbeda, tanpa punya kesempatan untuk mengunjungi sanak kerabatnya yang masih hidup di dunia, apalagi dengan jadwal tertentu setiap tahunnya. 

Mereka akan hidup di alam kubur, dengan nikmat atau siksa yang akan menemani hingga hari kiamat kelak. Naudzubillaah, semoga kita tidak termasuk ke dalam orang yang mengalami siksa kubur. Aamiin...

Berkenaan dengan itu pula, Hiro sempat bertanya ini dan itu tentang beberapa prinsip keimanan dalam Islam. Tentang hidup sesudah mati, kami sempat bicara cukup panjang, tapi ternyata menjelaskan hal ini bukanlah hal yang mudah. Tentang kerudung, dia tak banyak bertanya, mungkin karena sudah cukup banyak tahu atau merasa tidak perlu tahu. 

Tentang puasa, dia sempat bertanya, tapi tidak menyempatkan untuk mengorek terlalu jauh. Tentang makanan halal, seru juga pembicaraan kami, dan dia cukup paham prinsip yang tak bisa dilanggar dalam Islam ini. Hiro kemudian justru menjadi protektorku dalam hal pemilihan makanan halal.

Dalam beberapa kesempatan, kami sempat bersantap bersama, baik berdua ataupun bersama Basshi, kawan karibnya yang kelak juga menjadi teman baikku. 

Beberapa kali kami sempat makan bersama di restoran atau semacam warung makan Jepang, dan dengan demikian aku berkesempatan mendapatkan ilmu baru tentang seluk-beluk ataupun filosofi di balik makanan khas Jepang. Selain itu, Hiro juga yang justru lebih jeli dan teliti menanyakan kandungan di dalam makanan yang kuinginkan.

"Makanan ini mengandung minyak babi atau tidak?" pertanyaan itu yang biasa dia ajukan kepada pelayan restoran bila aku memesan makanan sejenis tumis. 

Tapi aku pun jarang memesan makanan tumisan, karena memang sangat pantas untuk "dicurigai" kehalalannya. Untuk makanan yang kemudian jadi favoritku, yaitu udon dan tempura, biasanya tak perlu dipertanyakan lagi. Udon adalah mi tebal khas Jepang yang dihidangkan dengan kuah panas tanpa lemak. Insya Allah halal. Sedangkan tempura adalah sayur-mayur atau seafood dalam balutan tepung yang digoreng dalam minyak sayur. Ini pun insya Allah halal.

Makanan favorit Hiro adalah soba. Ini adalah sejenis mi yang terbuat dari tepung soba. Dia sempat memasak soba di apartemenku. Terus terang, aku sendiri kurang suka soba, karena rasanya. Setelah mencoba 2 kali di 2 tempat berbeda, keduanya berasa serupa, dan ternyata aku tidak suka. Aku lebih suka udon. 

Jadi, ketika Hiro dan Basshi memasak soba di apartemenku, sebagai balas budi atas undanganku untuk makan makanan Indonesia (padahal cuma nasi kuning instan plus abon sapi dan bakwan udang yang sangat sederhana), dia kemudian berniat baik untuk memasak untukku juga. Soba dengan kuah home made buatannya yang kemudian dimakan beramai-ramai bersama beberapa kawan lain. Ternyata... soba hasil masakan Hiro, ennak!

Homemade soba by Hiro dan Basshi (Dok. Pribadi)
Homemade soba by Hiro dan Basshi (Dok. Pribadi)
Untuk kegiatan di luar jadwal pertemuan rutinku dengannya yang diagendakan sekali dalam sepekan, Hiro tak akan menerima honorarium seperti yang sudah disepakati dalam kontrak yang ditandatanganinya dengan pihak universitas, tapi dia tidak menyesal.

Dia bahkan pernah menolak mengambil honorariumnya, karena merasa tak enak hati "mengambil keuntungan" dari hubungan kami yang kemudian berkembang menjadi persahabatan yang manis. 

Kukatakan, bahwa persahabatan kita bisa tetap berjalan walaupun dia menerima honorarium untuk waktu yang dia luangkan untukku. Apa salahnya sih? Lagipula... toh bukan aku yang membayarnya.

Persahabatan kami berlanjut hingga masa training-ku di sana berakhir. Saat ini aku kehilangan kontak dari Hiroaki Seki, tutorku yang tidak sekedar tutor. 

Ternyata tidak mudah mencari tahu keberadaannya bahkan melalui jejaring media sosial yang cukup ramai di jagat maya saat ini. Cukup rumit lah, menelusuri jejaknya. Jika ada yang mengetahui keberadaannya, tolong kabari aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun