Kesenjangan sosial di Indonesia kini tidak hanya menciptakan perbedaan ekonomi, tetapi juga membentuk dua kelas kewarganegaraan: mereka yang memiliki daya untuk berpartisipasi, dan mereka yang hanya menjadi penonton dalam sistem demokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa menjadi warga negara di Indonesia tidak selalu berarti memiliki kekuasaan yang sama untuk bersuara.
T.H. Marshall dalam Citizenship and Social Class (1950) menjelaskan bahwa kewarganegaraan terdiri dari tiga dimensi utama: hak sipil, politik, dan sosial. Ketiganya membentuk fondasi kesetaraan dan integrasi dalam masyarakat modern. Namun, di Indonesia, ketiga dimensi itu berjalan timpang. Hak sipil dan politik dijamin secara hukum, tetapi hak sosial masih sangat bergantung pada posisi ekonomi seseorang. Dalam praktiknya, demokrasi kita masih lebih mudah diakses oleh mereka yang memiliki modal pendidikan dan finansial.
Kesenjangan sosial ini menciptakan bentuk baru eksklusi kewarganegaraan. Masyarakat miskin, pekerja informal, dan kelompok marjinal sering kali tidak memiliki kesempatan nyata untuk menggunakan hak-haknya. Mereka terpinggirkan bukan karena status hukum, melainkan karena keterbatasan sosial dan ekonomi. Di sinilah relevansi teori Bryan S. Turner menjadi nyata. Turner (1990) menegaskan bahwa dalam era globalisasi dan neoliberalisme, kewarganegaraan tidak lagi semata-mata soal status legal, tetapi juga soal kapasitas sosial apakah seseorang punya sarana untuk benar-benar menggunakan haknya.
Kondisi serupa tampak jelas dalam partisipasi politik generasi muda. Survei nasional menunjukkan menurunnya minat anak muda terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan. Banyak yang memilih mengekspresikan pendapat di media sosial, namun tidak terlibat dalam pengambilan keputusan politik formal. Di satu sisi, ini menunjukkan bentuk partisipasi digital yang baru; di sisi lain, menandakan hilangnya kepercayaan terhadap sistem politik yang dianggap tidak relevan dan elitis.
Fenomena ini menggambarkan apa yang disebut para sosiolog sebagai defisit partisipatif: warga negara memiliki kesadaran identitas, tetapi kehilangan efektivitas dalam memengaruhi kebijakan publik. Padahal, kewarganegaraan sejati, seperti yang dikemukakan Marshall, menuntut integrasi antara hak dan tanggung jawab. Menjadi warga negara bukan hanya menerima perlindungan negara, tetapi juga berkontribusi aktif dalam menjaga keadilan sosial.
Masalahnya, negara belum sepenuhnya menciptakan ekosistem yang memungkinkan kewarganegaraan aktif berkembang. Pendidikan kewarganegaraan masih berorientasi pada hafalan norma, bukan pembentukan kesadaran kritis. Ruang-ruang dialog publik di tingkat lokal sering bersifat seremonial, bukan partisipatif. Akibatnya, generasi muda tidak memiliki pengalaman sosial yang cukup untuk menegosiasikan hak dan tanggung jawabnya. Mereka tumbuh sebagai "warga administratif" patuh pada aturan, tetapi pasif terhadap ketidakadilan.
Untuk membangun kewarganegaraan yang utuh, negara perlu menata ulang hubungan antara kebijakan sosial dan politik partisipatif. Pertama, pemenuhan hak sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak harus menjadi fondasi utama demokrasi. Tanpa keadilan sosial, partisipasi politik hanya akan menjadi hak formal tanpa makna substantif. Kedua, ruang partisipasi generasi muda perlu diperluas di luar struktur formal partai politik. Komunitas, forum digital, dan gerakan sosial harus diakui sebagai bagian sah dari praktik kewarganegaraan.
Marshall dan Turner sama-sama menegaskan bahwa kewarganegaraan bukan entitas tetap, melainkan proses sosial yang terus dinegosiasikan. Di era ketimpangan ekonomi dan krisis kepercayaan terhadap politik, konsep kewarganegaraan perlu ditafsir ulang bukan sekadar hak untuk memilih, tetapi juga kemampuan untuk memperjuangkan kesetaraan. Generasi muda harus menjadi motor perubahan itu, bukan sekadar penonton di tengah hiruk-pikuk demokrasi prosedural.
Jika negara gagal menutup jurang sosial dan pendidikan gagal menumbuhkan kesadaran kritis, maka kewarganegaraan hanya akan menjadi simbol tanpa substansi. Di titik ini, refleksi atas teori Marshall dan Turner menjadi penting: keadilan sosial bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi inti dari kebermaknaan menjadi warga negara Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI