Mohon tunggu...
Cut FatihahDila
Cut FatihahDila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Charles Wright Mills: Sociological Imagination, The Power Elite, dan The White Collar

16 November 2022   10:21 Diperbarui: 16 November 2022   10:31 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Charles Wright Mills: Sociological imagination, The Power Elite, dan The White Collar

Unik satu kata untuk sosiolog ini, bekebangsaan Amerika tetapi dalam pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Marxis padahal biasanya teori sosiologi yang berkembang di Amerika dipengaruhi oleh teori yang dikemukakan oleh Talcott Parsons yaitu struktural fungsional dan teori yang berkembang di Amerika sangat bertentangan dalam hal asumsi teoritis teori konflik yang di kembangkan oleh Mills ini. Meskipun bertentangan antara struktural fungsional, dan teori ini membahas tentang keteraturan struktur seharusnya dan konflik malah sebaliknya tetapi dalam teori Mills dia sama-sama menganalisis dalam tingkat makro yaitu tenang struktur, kelas, dan sistem sosial.

Menyebut Mills tanpa tahu identitasnya, mari kita simak siapa Mills itu. Charles Wright Mills lahir di Texas, 28 Agustus 1916 -- New York, 20 Maret 1962 dalam latar belakang kuliahnya dia pernah berkuliah di Wisconsin University Madison Amerika dan Universitas Columbia. Dalam hal bersosial Mills ini memiliki banyak pertentangan dengan dunianya, dari mulai akademik sampai keluarga dengan satu fakta bahwa Mills pernah menikah tiga kali dan memiliki anak dari masing-masing pasangannya. 

Selain itu, bisa dilihat juga dalam teori yang dikemukakan itu sebagai bentuk kritik keras bagi ekonomi yang berkembang di Amerika diantaranya pada dominasi teori struktural fungsional yang menjadi cara pandang yang dominan, sementara itu Mills menggunakan pandangan berbeda yaitu dengan perspektif konflik yang didasari oleh teori marxis. Ada tiga poin yang akan dibahas yaitu:

1. Sociological Imagination

Dalam bukunya Mills yang berjudul Sociological Imagination, terbit pada tahun 1959 buku ini menjadi sangat berguna untuk para sosiolog melihat bagaimana cara sosiologi bekerja sebagai sebuah disiplin ilmiah. Seperti yang kita tahu bahwa Amerika memiliki sebuah pendekatan teori tentang sosiologi yaitu struktural fungsional yang dikemukakan oleh Parsons yang salah satu asumsinya menganalisis persoalan yang makro dengan mengajukan pada analisis struktural fungsional, termasuk dalam teori besar. Menurut Mills melihat realitas sosial dengan menggunakan struktural fungsional adalah suatu hal yang tidak melihat kenyataan dari kacamata yang sebenarnya, karena sifatnya abstrak, lalu Mills mengajukan sebuah pendekatan baru yang menurutnya cocok yaitu Sociological imagination. Sociological imagination menurut mills dibagi menjadi dua yaitu:

a. Macroscopic

b. Molekuler

Dalam hal macroscopic dan molecular Mills beranggapan bahwa Parsons hanya melihat suatu struktur dari luarnya saja tidak sampai hal individu dibahas. Dari sini Mills mengajukan sebuah pandangan yaitu sociological imagination, yaitu melihat realitas sosial di antara macro dan molecular caranya dengan berpikir secara pingpong, dengan melihat kedua realitas kemudian disatukan diantaranya kejadian-kejadian pribadi. Seperti yang kita tahu bahwa melihat sistem sosial yang dibentuk individu pasti memiliki akar, akar dari sistem sosial yang berkembang di masyarakat pasti dipengaruhi oleh tindakan individu yang kemudian di kembagakan menajdi system sosial. Mills memberikan gagasan lain berupa public issue (level luar individu) dan personal troubles (level mikro, dalam individu). Contohnya dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh 30 individu, dalam pengambilan keputusan hanya dia yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, itu kata Mills adalah personal troubles permasalahannya bukan hanya di struktur luar tetapi individu dengan pemikiran. Sementara dalam pemilihan keputusan ada 20 orang yang tidak setuju ini disebut public issue. Dengan berpikir seperti ini mills menjelaskan bahwa ada relasi antara hal yang bersifat mikro dan makro.

2. The Power Elite

Buku yang diterbitkan oleh Mills pada tahun 1956 menjelaskan fenomena transisi di Amerika antara sehabis perang dunia II ke great depression dalam bidang ekonomi yang merubah tatanan ekonomi, sosial, maupun politik, bisa diketahui bahwa great depression menyebabkan menurunnya sebuah institusi yang dominan lalu digantikan oleh institusi baru. 

Mills melihat dalam fenomena ini ada tiga kerucut kekuasaan di Amerika kemudian disebut sebagai the power elite. Ketiga pengerucutan ini mills melihat bahwa penguasa, politisi, dan militer dengan tiga pengerucutan ini kekuasaan berputar antara ketiga kelompok tersebut. Mills melihat dalam kepemimpinan ketiga kelompok tersebut tidak serta merta satu kelompok mendominasi yang lain tetapi ada pemerataan yang pemilipin dari suatu kelompok lakukan, maka dari itu Mills beranggapan bahwa Amerika menjunjung tinggi keseimbangan dengan control yang seimbang pula sehingga terbentuk suatu ketergantungan antar kelompok. 

Dari sini Mills bisa membuat piramida masyarakat. Pada tingkatan pertama piramida ini diisi oleh pengusaha, politisi dan militer, level kedua yaitu ketua-ketua badan pemerintahan, pemimpin lokal, kelompok penekan, level ketiga yaitu masyarakat masa, dimana masyarakat ini tidak memiliki kekuatan pada level pertama dan kedua. Hal ini bisa terjadi menurut penjelasan Mills yaitu dalam kehidupan masyarakat ada sebuah penguasaan terhadap opini yang tersebar di masyarakat, dimana opini ini berasal dari satu arah yaitu media yang diatur oleh tiga kelompok kekuasaan tersebut. Konsep ini adalah yang disebut The Power Elite yang di latar belakangi oleh tiga faktor, yaitu kesamaan psikologis, proses interaksi, dan persamaan kepentingan.

3. The White Collar (Kerah putih)

The white collar disebut sebagai kelas menengah, dalam hal ini Mills menjelaskan bahwa tidak sepenuhnya ada hubungan antara pemilik modal dan pekerja dan bisa memunculkan white collar ini sendiri. 

Perbedaan white collar dengan dua kelas yang lain yaitu pekerja dan pemilik modal, dalam prosesnya posisi mereka tidak melahirkan sebuah produk, karena yang mengeluarkan produk adalah kelas pekerja tetapi mereka mendapatkan upah dalam proses produksi yang dilakukan kelas pekerja. Seperti manager, sales, direktur dan pekerjaan lain yang tidak menghasilkan produk dalam suatu perusahaan, melihat hal ini Mills menganggap bahwa ada alienasi antara proses kerja yang dilakukan dengan barang yang dihasilkan karena white collar ini tidak melahirkan sebuah produk tertentu. Dari sini pula dalam kelas menengah terjadi proses alienasi dari kedua kelas tersebut antara kelas pekerja dan pemilik modal, ini yang menjadikan white collar berada di tengah-tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun