Itu sebulan lalu, bukan? Di antara gelas-gelas koktail dan tawa yang meluruh dalam kelelahan. Aku ingat. Aku masih ingat namanya. Irma. Malam itu panjang. Terlalu panjang. Di antara kebun teh Lembang yang dingin dan jalanan yang berkelok sunyi, Nyonya Irma membawaku ke tempat yang lebih hangat.
Di keesokan harinya, aku terbangun dalam keheningan yang mengambang di antara dinding-dinding mahal. Kepala berat, tubuh remuk, tenggorokan kering. Dan dia? Dia sudah pergi, hanya meninggalkan lembaran-lembaran tebal di atas bantal.
Aku menelan ludah. Malu. Teramat malu di hadapan dua sosok yang berdiri di dekatku, tanpa bicara, tanpa ekspresi. Tapi layar itu tak peduli. Layar itu terus menayangkan segalanya. Layar itu tidak mengenal belas kasihan.
Adegan berganti. Kali ini, aku melihat diriku larut dalam gelak tawa di antara kawan-kawan sebaya. Kami, para pria dan perempuan muda bertelanjang dada berselimut asap mariyuana, meliuk lampai menari di udara.
Oh, aku tahu adegan itu. Malam perjumpaan usiaku. Malam pesta pora yang gila, malam enigma, ketika dua tubuh berpeluh dalam pelukan.
Lalu dua bulan kemudian, dia datang. Wajahnya pias, suaranya gemetar.
"Aku telat datang bulan."
Sialan.
Dunia seakan berhenti berputar. Aku takut, pikiranku kalut. Menikah? Aku belum siap. Aku belum ingin bertanggung jawab. Aku masih ingin bersenang-senang, masih ingin bercinta dengan siapa saja.
Dalam kepanikan, kami mencari cara untuk meniadakan, dan lima ratus ribu pun berpindah tangan. Ruangan pengap, aroma jamu pahit, suara rintihan yang tertahan. Lalu, segumpal darah keluar dari rahimnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!