Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pluralisme: Definisi oleh Para Teolog

21 April 2022   12:24 Diperbarui: 21 April 2022   12:38 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://pixabay.com/

Dewasa ini, isu pluralisme telah mengundang banyak pihak untuk ikut berkomentar dari berbagai kalangan; terutama para teolog dunia. Ada yang mengaitkan pendapatnya berdasarkan agama. Namun ada pula berdasarkan konteks sosial. 

Pendapat mereka; para teolog terkadang menjadi rujukan oleh akademisi, umat beragama, atau bahkan para pemerhati kajian agama-agama. Namun ungguh disayangka, acap kali dengan mudah kita temukan munculnya berbagai ragam pemahaman terhadap isu pluralisme yang tidak jarang dibelokkan atau bahkan digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi kelompok lain yang berbeda. 

Sebagai umat beragama perlukah mempertanyakan pluralisme? Karena sesungguhnya problem kehidupan beragama masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara aman, nyaman dan penuh perdamaian antar pemeluk agama, tampaknya toleransi masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. 

Meskipun  wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan.

Belum lagi dengan kemunculan kelompok-kelompok yang kerap kali mengeluarkan pernyataan bernada sentimen terhadap agama tertentu, serta munculnya perilaku klaim kebenaran yang tentu saja semakin memperbanyak volume problem keagamaan (khususnya di Indonesia). 

Karena keberagaman dalam pemikiran dan pemahaman agama yang saat ini terus berkembang, tampaknya mendesak untuk segera membuka ruang dialog. 

Dengan demikian, pelbagai perbedaan yang muncul boleh jadi dapat "dipertemukan" dengan memahami latar belakang pemikiran yang muncul dalam sebuah wacana keagamaan. Inilah sekurang-kurangnya yang disampaikan Ahmad Fuad Fanany.

Merujuk KBBI, pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya. Dalam konteks ini jika kita sepakat  bahwa kemajemukan (keragamanan) merupakan keniscayaan, dalam artian sebagai hukum alam yang tidak bisa dilawan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun maka menjaganya merupakan tanggung jawab umat manusia. 

Oleh karenanya, tidak perlu heran jika sebagian besar umat beragama sering kali mengumandangkan slogan anti kekerasan atas nama agama, atas nama kemanusiaan. Berikut saya sampaikan spoiler singkat pendapat para teolog tentang pluralisme agama. 

Mizbah Yazdi, seorang ulama Iran, memberikan empat kemungkinan pengertian atau pemahaman terhadap terminologi pluralisme, yaitu: 1) Toleransi 2) Kebenaran adalah sebuah hakekat yang memiliki wajah yang bermacam-macam dan muncul pada berbagai agama. 3) Kebenaran itu banyak dan bermacam-macam. 4) Tidak ada kebenaran yang utuh. Semuanya hanya merupakan saham yang berpotensi membentuk konfigurasi sebuah kebenaran komprehensif bernama pluralisme.

Dalam perkembangannya, gerakan "Pluralisme Agama" akhirnya melahirkan suatu teologi (dalam istilah Kristen) yang mereka sebut sebagai "Teologi Religionum". 

Jika gerakan "Pluralisme Agama" hanya sekedar menerima dan mengakui ada kebenaran-kebenaran dalam semua agama-agama, tanpa membuang keunikan kebenaran agama-agama yang mereka percayai. 

Tetapi lain dengan "Teologi Religionum", gerakan teologi ini lebih maju lagi, yaitu mau menggabungkan semua kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama-agama dan menolak semua kemutlakan yang ada di dalam agama-agama, yang dapat menjadi benteng pemisah di antara mereka. 

Dengan kata lain mereka menolak semua klaim agama yang bersifat ekslusif, absolute, unik dan final. Karena bagi mereka semua kebenaran dalam agama dan tentang agama itu adalah "relative". 

Semboyan dari gerakan "Teologi Religionum" yang sering mereka kumandangkan adalah "Deep down, all religions are the same -- different paths leading to the same goal" (Jauh di lubuk hati, semua agama adalah sama -- jalan berbeda menuju tujuan yang sama).

Disatu sisi, pluralisme dianggap sebagai "kebijaksanaan" Tuhan dalam menciptakan makhluknya. Namun disisi lain pluralisme adalah bila pluralisme agama diterima, berarti, tidak ada agama yang benar di dunia ini.  

Ketika akan merespon pluralisme agama, tampaknya perlu mempertimbangkan pendapat dari para teolog agar sebagai umat beragama memiliki sanad (pijakan) yang jelas mengapa menerima/menolaknya.

Misalnya Karl Rahner, dianggap sebagai Teolog terbesar agama Katolik abad 20 dan mempunyai peran signifikan terhadap teologi vatikan council. Rahner berpendapat, bahwa penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (anonymous Christian). 

Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Oleh karena itu Rahner mengatakan bahwa agama lain sebenarnya bentuk implisit dari agama yang kita anut.

Dalam konteks ini boleh jadi Rahner ingin menyatakan bahwa kebenaran memang terkait erat dengan relativitas, bahkan sangat erat. 

Kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi usaha dari masing-masing agama dan antar umat beragama yang lainnya untuk saling mempelajari kesamaan-kesamaan kebenaran yang mereka anut, sampai taraf dimana mereka dapat saling menerima keabsahan dan kebenaran semua agama (Pluralisme Agama) begitulah setidaknya yang disampaikan oleh Stevri Lumintang dalam Theologia Abu-abu.  

Selanjutnya John Harwood Hick, seorang filsuf yang juga konsen terhadap isu hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain secara normatif. 

Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju pernyataan yang menyebut bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang "lebih" dibanding kebenaran agama lain. 

Oleh karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya.

Agaknya salah satu cara yang relatif bijak untuk memahami kebenaran agama lain dapat dimulai dari kesediaan untuk menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. 

Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. 

Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencari-nya. Maka dari itu Hick menolak pendekatan "Christocentric" terhadap agama-agama lain yang menurutnya sudah tidak sesuai dengan jaman. 

Hick mengusulkan pendekatan "Theocentric" dimana Allah menjadi pusat agama-agama lain.  Dalam istilah lain, pandangan Hick lebih popular disebut "banyak jalan menuju Tuhan".

John Cobb Jr. Cobb. Membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme agama menurut Hick. Menurutnya, bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agamanya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. 

Selain itu, Cobb Jr. juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain, tampaknya umat beragama perlu mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama.

Dalam hal ini, kalau misalnya, beberapa agama bertemu (encounter) satu sama lainnya maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling diperkaya oleh pengetahuan tentang agama-agama lain. Mereka dapat belajar memahami dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Raimundo Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). 

Pendekatannya terhadap agama lain merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa umat beragama perlu berupaya luar biasa agar dapat memahami masing-masing agama dalam bahasa mereka sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. 

Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. 

Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan men-challenge agama-agama lainnya dalam jaringan intrikasi (seluk-beluk)-interkoneksi yang dia sebut sebagai dialog antar agama. 

Karenanya, tidaklah heran jika Panikkar menyatakan bahwa masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan tantangan antara agama yang satu dengan agama yang lain.

Wilfred Cantwell Smith. Baginya, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama.

Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. 

Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. 

Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.

Sebagai catatan penutup, penulis ingin menggaris bawahi satu hal bahwa pluralisme/kemajemukan agama sangat sulit untuk dihindari. 

Oleh karenanya, umat beragama perlu memahami lebih dalam terhadap ajaran agama masing-masing dengan dibekali penguasaan referensi yang luas. Meminjam istilah (Alm) Nurcholis Madjid, bahwa kalimatun sawa (titik temu) agama-agama boleh jadi ketika setiap pemeluk agama bersedia melakukan dialog dengan umat agama lain dengan tujuan memamahami ajaran agama lain. Kita mafhum jika ingin memahami ajaran agama lain pelajarilah kitabnya, bukan umatnya. Wallahu a'lam.

Bibliografi

Fanani, Ahmad Fuad. Keberagaman Pemikiran Islam Butuh Ruang Dialog. Kompas, Rabu 27 February 2008.

John Hick. 1980. Christianity and Other Religions. Philadelphia:Fortress.

Lumintang Stevri I.2004. Theologia Abu-abu. Malang: Gandum Mas.

Mernisi, Fatima dan Riffat Hassan. 2000. Setara Dihadapan Allah. Yogyakarta:LSPPA

Nietzsche. 1998. Ecce Homo. Lihatlah Dia (terjem). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Panikkar, Raimundo 1992. Dialog Intra Religius. Yogyakarta: Kanisius.

Paul F. Knitter. 1985. No Other Name? London: SCM

Singgih, Emanuel Gerrit. 2000. Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Suratno. Pluralitas Makna Pluralsme (Agama). http://www.islamlib.com.

Susetyo Pr, Benny. Kekerasan Dalam Agama. www.gkipi.org.

Sulaeman, Dina. Pluralisme (agama) adalah kehendak Tuhan. www. bundakirana.multiply.com.

Hutahaean, Tumpal H. Finalitas Karya Yesus Sebagai Tuhan Dan Juru Selamat Tinjauan Kritis terhadap "Teologi" Religionum. http://www.google.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun