Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Memasak adalah Keterampilan Bertahan Hidup

22 Oktober 2021   22:10 Diperbarui: 23 Oktober 2021   19:00 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan sedang memasak. | Sumber: Thinkstock via Kompas.com

Memasak merupakan aktivitas yang menyenangkan. Di sana, ada ruang untuk mengeksplorasi, mengungkapkan, ada harapan, ada humor, dan bahkan terkadang ada "kekonyolan". 

Biasanya, dalam suatu kegiatan, orang akan fokus pada hasil akhirnya. Namun ketika memasak, hasil akhir tidak selalu menjadi tujuannya namun pada prosesnya. Jika sudah begini, orang bisa berlama-lama di ruang dapur untuk mengkreasi berbagai macam variasi jenis masakan.

Sayangnya, aktivitas memasak yang menyenangkan ini kerap kali dianggap sebagai "kodrat" perempuan. Alasannya, perempuan dianggap lebih teliti, sabar, dan lebih detail dibandingkan laki-laki. 

Anggapan ini terbentuk dari berbagai aspek, salah satunya karena terbiasa melihat perempuan memasak. Akhirnya terbangun asumsi bahwa memasak seolah-olah menjadi hak "paten" perempuan.

Saya merasa, memasak merupakan salah satu bentuk keterampilan dasar yang dimiliki oleh setiap orang. Makanya, tidak perlu heran jika keterampilan memasak sangat mungkin mengalami perubahan sesuai konteks zamannya. 


Bagi saya, memasak merupakan seni "turun temurun" dalam menemu kenali, mengolah, meracik, dan meramu bahan makanan sebagai cara bertahan hidup atau bentuk dari kehidupan.

Oleh karena itu, munculnya ungkapan bahwa perempuan harus pandai memasak ternyata tidak selalu selaras dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. 

Ketika keluar dari rumah; pergi ke pasar, warung makan, kedai kopi/teh, warung angkringan, kaki lima atau ke pedagang makanan keliling (bakso dan mie ayam), pusat kuliner dan tempat publik lainnya dengan mudah kita akan menemukan laki-laki menjadi juru memasak. 

Ini berarti bahwa memasak tidak menjadi kepemilikan satu jenis kelamin tertentu saja. Atau dengan kata lain, bahwa memasak merupakan panggilan alamiah setiap orang demi bertahan hidup.

Meskipun begitu, secara jujur saya harus mengakui bahwa masih ada sebagian kecil di tengah masyarakat yang menganggap jika perempuan harus pandai memasak. 

Jika tidak mampu, maka dapat jatuh harga diri perempuan tersebut. Terkadang, bahkan menjadi bahan ghibah (gunjingan) jika tidak bisa memasak. 

Akibatnya, cap negatif diterima oleh perempuan, bukan karena tidak pandai memasak, melainkan karena dirinya perempuan. Perempuan akan dianggap wajar jika memiliki keahlian memasak. Sebaliknya rentan menjadi korban perundungan jika tidak pandai memasak. 

Sumber gambar: Dokumentasi penulis
Sumber gambar: Dokumentasi penulis

Setiap orang, hampir pasti menyukai makanan. Meskipun ada juga jenis orang yang memilah-memilih jenis makanan tertentu namun prinsipnya tidak pernah berubah, yakni semua orang butuh makan. 

Alasannya bisa macam-macam; karena hobi makan, kesenangan, suka mencoba makanan baru, penikmat makanan ataupun yang lainnya. Semua sah dilakukan.

Kita semua memahami bahwa memasak tidak memiliki jenis kelamin sekaligus bukan milik kelamin tertentu. Akan tetapi mengapa dalam "kultur" masyarakat masih saja terjadi dikotomi memasak? Dalam pengalaman hidup pribadi saya, bahkan masih ada orang yang mewajibkan perempuan pandai memasak. 

Terlebih, bagi perempuan dewasa yang sudah berumah tangga hampir pasti lebih dituntut agar bisa melayani suami dengan baik untuk urusan dapur. Mengapa tidak ada norma yang mewajibkan laki-laki harus pandai memasak, kenapa harus selalu perempuan?

Menurut saya, ada beberapa hal yang menjadi penyebab bahwa memasak dianggap sebagai kewajiban perempuan. Pertama, pendapat tersebut boleh jadi karena dikaitkan dengan istilah kodrat atau ketetapan yang tidak dapat diubah kecuali oleh sang pencipta (Tuhan). Jika terlahir sebagai perempuan (baca: memiliki vagina) maka harus bisa memasak. Tampaknya, dari sinilah masalah ini bermula. 

Akhirnya, karena memasak dianggap sebagai kodrat perempuan, dampaknya jika ada laki-laki yang bisa memasak biasanya dituduh sedang mengingkari atau melawan kodrat. Aneh memang, soal memasak saja dikaitkan dengan kodrat. Meskipun pandangan ini tidak masuk akal, ternyata ada juga yang membenarkannya. 

Semestinya pandangan ini luntur seketika, ketika di luar sana banyak dijumpai laki-laki yang berprofesi sebagai juru memasak. 

Kedua, agaknya ada keinginan untuk mendominasi (menguasai) panggung. Narasi yang menyebutkan bahwa tempat atau kekuasaan perempuan berada di dapur (domestik) tampaknya menjadi alasan mengapa laki-laki seperti "enggan" untuk memasuki dapur. 

Dalih ini bagi saya merupakan bentuk nyata hegemoni laki-laki yang "haus" ingin dilayani dan tidak ingin berbagi peran. 

Ketiga, masih adanya mitos-mitos yang dipercaya oleh sebagian kecil kalangan yang menyebut bahwa perempuan tempatnya lebih rendah daripada laki-laki atau dalam istilah lain lazim disebut sebagai patriarki, yaitu budaya yang menempatkan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, kepemilikan properti dan pada bidang tafsir agama). 

Dampaknya, laki-laki hampir selalu terlihat lebih dominan (cenderung menguasai) peran-peran strategis. Sedangkan perempuan meskipun mendapatkan peran di wilayah publik masih juga diharuskan berperan di wilayah domestik.

Ketika konsep keadilan dan kesetaraan mulai diperkenalkan, kita mengenal istilah pembagian peran (gender) antara perempuan dan laki-laki dengan asas proporsionalitas, bahwa keadilan harus sesuai dengan proporsinya. 

Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai sesama manusia, hanya aspek dan ciri biologisnya saja yang membedakannya yang dibawa sejak lahir dan bersifat universal. 

Sedangkan peran, semestinya tidak disempitkan artinya, apalagi dibatasi di wilayah jenis kelamin. Peran, sifatnya tidak permanen atau dapat diubah sesuai dengan konteks zamannya.

Memasak merupakan peran universal yang dapat dilakukan oleh siapapun. Hendaknya tidak perlu dipertentangkan, karena ketika seseorang melakukan aktivitas memasak, tidak otomatis mengubah jenis kelaminnya. Jika berubah pun hanya tampilan fisiknya saja; mengenakan celemek, mengolah bumbu dan memeragakan keahlian menggunakan peralatan memasak.

Sebagai sesama manusia, kita memiliki peran untuk terlibat aktif dalam mereduksi istilah yang menyebut bahwa memasak sebagai "kodrat" perempuan. Kita telah memahami, bahwa memasak merupakan bakat alamiah setiap individu. Semoga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun