Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkawinan, Bukan Media Menguasai Pasangan

12 September 2021   23:44 Diperbarui: 13 September 2021   00:23 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi pribadi

Perempuan dan laki-laki hakikatnya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang setara dalam proses kehidupan. Meskipun berbeda, bukan berarti boleh di beda-bedakan.

Namun begitu, kerap kali dijumpai cara pandang yang justru merendahkan perempuan yang didasarkan pada tafsir teks-teks keagamaan yang lebih "menyenangkan" pihak laki-laki. Terlebih jika sudah berumah tangga, posisi perempuan biasanya akan berubah drastis akibat didoktrin harus tunduk, patuh pada suaminya dalam keadaan apapun.

Misalnya dalam hubungan seksual. Pemahaman yang berkembang sering kali dianggap sebagai kewajiban istri melayani suami. Karenanya dalam keadaan apapun istri tidak boleh menolak mana kala suami meminta istri mengajak berhubungan seksual. Atau menurut istilah Alimatul Qibtiyah dalam Feminisme Muslim di Indonesia bahkan menyebut ada intervensi malaikat dalam hubungan seksual suami istri.

Istri, juga dituntut melayani suami dengan baik. Tuntutan ini berujung pada keharusan mematuhi terhadap seluruh kemauan suami. Pemahaman umum tersebut, juga didukung oleh "budaya" dan penafsiran ajaran agama yang lebih sering menempatkan perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya. Sementara, hak-hak seksual perempuan diabaikan. Perempuan akhirnya secara tidak sadar-untuk tidak menyebut terpaksa- mengamini apa saja yang diperintahkan oleh suami.

Nahasnya, meskipun mengalami kondisi yang penuh "penderitaan" masih saja ada ujaran teologis yang dinarasikan oleh sebagian kalangan sebagai ibadah dan meminta perempuan agar mengalah dan memahami kondisi laki-laki, bahkan diminta memakluminya.

Menurut Abdul Mustaqim dalam pernikahan maslahah dan sakinah, menjelaskan bahwa anggapan istri harus patuh terhadap suami ternyata kerap disampaikan oleh kebanyakan penceramah ketika memberikan mauidhah hasanah (khutbah nikah) yang cenderung kurang mengakomodir kepentingan pihak istri.

Biasanya, hal ini tampak dari cara penceramah tersebut ketika menguraikan hak dan kewajiban antara istri dan suami. Lazimnya, penceramah akan mengutip ayat al-Qur'an yang berbunyi Arrijalu qowwamuna 'ala an-nisa' yang cenderung ditafsirkan secara sepihak dan "hanya" menguntungkan suami.

Meminjam istilah Abdul Mustaqim, ayat tersebut kerap kali dipahami sepotong - potong, sehingga dengan serta merta diartikan bahwa suami adalah pemimpin, atau bahkan penguasa istri. Dengan kata lain, suami dianggap paling berwenang atau bahkan sebagai pemilik otoritas di wilayah rumah tangga. Akibatnya, tafsir semacam ini cenderung mengarahkan kepada hegemoni (penguasaan) laki-laki atas perempuan. Hasilnya, suami merasa paling kuat, paling unggul dan merasa paling berkuasa.

Dalam kondisi seperti ini, jangan heran jika istri sering kali menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga; verbal dan non verbal yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Sebab, KDRT terhadap istri berakar dari ketimpangan hubungan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang dimanifestasikan dalam institusi perkawinan dan keluarga.

Memang, ada juga suami yang menjadi korban KDRT. Namun berdasarkan data Komnas Perempuan 2021, ternyata istri yang menjadi korban jumlahnya tidak sedikit. Kasus KDRT/Ranah Personal tercatat sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%).

Perkawinan dan kontrak sosial

Merujuk pada UU No. 1 Tahun 1974, bahwa akad nikah yang lazim disebut perkawinan didefinisikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari sini kita dapat melihat bahwa pernikahan bukanlah peristiwa "main-main" karena selain dicatatkan secara hukum juga ada hubungannya dengan Tuhan (bagi yang beriman). Bahkan dalam kitab suci Al-Qur'an surah al-Baqarah ayat 185 telah digambarkan bahwa istri dan suami sebagai pakaian. Istri pakaian bagi suami dan suami pakaian bagi istri.

Kita semua memahami jika pakaian memiliki fungsi menutupi dan melindungi pemakainya. Menutupi yang tidak "baik" seperti kekurangan istri dan suami yang tidak perlu diumbar vulgar kepada publik. Melindungi dari segala bentuk "bahaya" yang mengancam keutuhan rumah tangga.

Melindungi disini bukan dimaknai salah satu pihak pasti lebih kuat, namun keduanya justru memiliki kelemahan masing-masing. Oleh karenanya kedua belah pihak agaknya perlu mengedepankan prinsip kesalingan; saling menjaga, saling melengkapi dan saling menguatkan.

Meminjam istilah M. Amin Abdullah dalam Menuju Keluarga Bahagia menyebutkan bahwa rumah tangga adalah bangunan yang dibentuk dan "kontrak sosial" dua belah pihak (istri- suami), sudah seharusnya keduanya memiliki tanggung jawab dalam mengelola, merawat hubungan dan memperindah rumah tangga tersebut agar terjaga keutuhannya.

Perempuan dan laki-laki yang telah terikat "kontrak sosial" atau dalam bahasa al-Qur'an biasa disebut miitsaqon gholiidhon (perjanjian yang kokoh, lagi berat) yang tentu saja memiliki perbedaan setelahnya. Karena sudah terikat kontrak, maka kedua belah pihak tidak bisa seenaknya sendiri karena ada konsekuensi logis setelah penanda tanganan kontrak tersebut yang disaksikan oleh banyak orang.

Saking pentingnya kontrak sosial tersebut, tentu akan berdampak pada kesediaan mengemban amanah. Istri amanah suami dan sebaliknya suami amanah istri. Dalam hal ini amanah tidak boleh dimaknai sebagai hubungan kepemilikan. Keduanya memiliki posisi setara dan sejajar dalam memenuhi hak dan kewajiban. Keduanya juga memiliki tanggung jawab yang sama terhadap-NYA. Baik istri maupun suami keduanya perlu memiliki kesadaran penuh untuk beradaptasi akan kehadiran pasangannya.

Karena pernikahan adalah hubungan yang sederajat, maka tidak semestinya menghalangi atau mematikan peran seseorang di luar rumah apalagi peran tersebut juga memiliki kemanfaatan bagi rumah tangga. Semestinya kontrak sosial ini membuat keduanya semakin menguatkan posisi, meningkatkan kemampuan keduanya. Dengan catatan tidak ada paksaan dan didasarkan pada musyawarah mufakat.

Dalam gambaran yang lebih luas, pernikahan adalah proses meninggalkan fase kehidupan sendiri, dan sebagai proses memasuki kehidupan bersama yang menyinergikan kedua belah pihak yang berbeda jenis kelamin, latar belakang, konstruksi nilai bahkan berbeda kultur dan kebiasaan.

Inilah contoh paling nyata dalam kehidupan pernikahan, bahwa keragaman sebagai keniscayaan yang tidak mudah dibantah. Keragaman ini akan "dilebur", dicairkan, dialirkan atau dipadatkan dalam institusi pernikahan. Artinya ada tantangan bagaimana cara kita merespon realitas segala perbedaan demi mencapai keluarga yang nyaman, aman, sehat dan sejahtera.

Sebagai catatan penutup, saya ingin menggaris bawahi satu hal bahwa perempuan dan laki-laki meskipun telah terikat dalam "kontrak sosial" perkawinan, bukan berarti otomatis tunduk dan patuh kepada salah satu pihak. Justru sebaliknya, perkawinan menyaratkan kedua belah pihak saling melengkapi dan saling mendukung dalam rangka menggapai keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah (penuh cinta) dan warahmah (kasih sayang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun