Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Nikmat Merantau

2 September 2014   01:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:52 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air yang mengalir lebih baik daripada air yang tergenang.

Saya sangat suka perumpamaan yang digunakan Ahmad Fuadi pada Novel Negeri 5 Menara untuk menggambarkan MERANTAU. Meski tidak semua orang mulus melewati hari-hari di luar daerah asal mereka – seperti kasus Florence yang saat ini sedang hangat misalkan, namun menurut saya ada banyak hal positif yang bisa kita dapatkan saat kita jauh meninggalkan kota tempat kita lahir dan besar.

BELAJAR MANDIRI

Saat jauh dari sanak-keluarga tentu kita dituntut untuk memenuhi semua kebutuhan sendiri baik secara psikologis maupun secara finansial. Kita harus berupaya agar pendapatan yang kita hasilkan dari bekerja/usaha cukup untuk kebutuhan sehari-hari, syukur-syukur lebih agar bisa disimpan untuk keperluan yang tidak terduga.

Saat pindah dari Bogor ke Batam, kebetulan status saya berubah dari lajang ke menikah. Hal tersebut juga menjadi alasan saya tidak tergantung kepada keluarga besar saya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Malu juga kan, sudah menikah dan merantau, masa harus menelepon untuk minta transfer uang karena tidak ada untuk membeli beras =D. Yup, merantau mengajarkan saya untuk lebih hemat. Menyimpan sebagian penghasilan untuk keperluan yang tidak kita sangka-sangka. Apalagi setelah memiliki anak.

MENGGALI POTENSI DIRI

Setelah merantau saya memiliki kesempatan untuk lebih menggali potensi diri. Ada banyak kesempatan yang saya dapatkan setelah pindah ke kota yang berbentuk kalajengking ini. Saya bisa mencicipi pengalaman menjadi dosen tetap dengan seleksi yang tidak terlalu ketat. Saat pertama kali pindah ke Batam pada tahun 2010, lulusan master/magister linear dari jurusan yang saya ambil memang masih sedikit. Itu makanya saya sempat loncat-loncat di dua perguruan tinggi swasta di Kota Batam.

Dulu saat masih tinggal di Bogor, saya hanya mengajar paruh waktu di almamater saya dulu dan salah satu universitas cukup besar di Bogor. Sebenarnya kesempatan untuk menjadi dosen tetap di sana cukup terbuka, hanya saja waktu itu saya perlu menggenapkan jam terbang saya sebagai dosen paruh waktu selama beberapa tahun.

Kota Batam juga memberi saya kesempatan mewujudkan impian saya menjadi seorang humas hingga guru TK dan SMA. Padahal saat tinggal di Kota Bogor, saya yakin tidak akan semudah itu mendapatkan dua pekerjaan tersebut, apalagi di perusahaan besar atau sekolah nasional plus, alasannya saya bukan lulusan FKIP, saya juga bukan lulusan komunikasi.

Saya sempat menyesal, mengapa tidak dari dulu saya merantau meninggalkan hiruk pikuk Kota Bogor. Ternyata diluar kota tempat saya tinggal ada banyak kesempatan yang bisa saya dapatkan. Kesempatan kerja di Kota Batam memang cukup besar. Lulusan SMA saja bisa mendapatkan pekerjaan yang cukup baik dengan gaji besar. Keponakan tetangga saya yang hanya lulusan SMP yang berasal dari satu wilayah di Pulau Jawa dapat bekerja sebagai kasir dengan gaji yang cukup menggiurkan, lebih tinggi sedikit dari UMK Batam.

LEBIH MENGHARGAI BUDAYA ASAL

Saat masih tinggal di Bogor, mana pernah saya menggunakan percakapan dengan rekan kerja/teman sekolah/teman kuliah/tetangga dengan menggunakan Bahasa Sunda. Alasannya lebih enak menggunakan Bahasa Indonesia karena tidak terikat aturan tingkatan bahasa. Bahasa Indonesia kan sama saja kalimatnya antara ke yang lebih muda maupun ke yang lebih tua, sementara Bahasa Sunda ada tingkatan bahasa yang berbeda.

Namun saat tinggal di Batam saya justru lebih intens menggunakan Bahasa Sunda bila bertemu rekan-rekan yang berasal dari tanah Pajajaran. Kebetulan di Batam, bahkan di tempat kerja saya sekarang, cukup banyak yang berasal dari Bandung, Tasikmalaya, Sumedang, Sukabumi, hingga Bogor. Saya malah mendengar perantau dari Sunda, merupakan perantau ketiga terbesar di Kota Batam.

Terkadang saya merasa tinggal di Batam sama saja dengan tinggal di Bogor. Selain curah hujan disini sama tingginya dengan Bogor, banyak makanan-makanan khas Bogor yang dijual disini, mulai dari bubur ayam, batagor, hingga soto mie. Sehingga, setiap kali saya kangen Bogor, saya cicipi saja masakan-masakan tersebut =D.

LEBIH MENJAGA DIRI

Semenjak tinggal di Batam, saya tidak pernah lagi mengebut dijalan saat membawa kendaraan. Saya biasanya lebih bijak, tidak pernah ada omelan atau umpatan saat saya disalip oleh pengguna jalan yang lain. Padahal dulu saat tinggal di Bogor, saya sering mengumpat dan mendumel setiap kali ada yang menyalip. Saya juga terkadang terbawa emosi untuk menyalip balik, sehingga saya sempat tiga kali kecelakaan di jalan =D. Saya berpikir, haduh kalau saya kenapa-kenapa di Batam, siapa yang akan menolong saya. Lagian amit-amit juga kan kenapa-kenapa di daerah orang?

LEBIH MERASAKAN KUALITAS HIDUP

Ini sebanrnya sangat subjektif, toh kualitas hidup bisa didapatkan dimana saja. Hanya saja, saat tinggal di Batam saya tidak lagi merasakan macet. Saya juga bisa berangkat ke kantor lebih siang. Pulau utama di Kota Batam tidak besar, paling habis terkelilingi kurang dari tiga jam. Itu makanya saya sangat menikmati perjalanan pergi-pulang antara rumah dan kantor, karena hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Kebetulan tempat tinggal saya juga berada di tengah-tengah kota Batam, sehingga jarak ke pusat perbelanjaan, pusat pemerintahan, dan pusat perkantoran juga tidak terlalu jauh.

MELUPAKAN LUKA

Saya sangat bersyukur bisa merantau ke Batam. Bersyukur suami bekerja di pulau ini sehingga terpaksa harus pindah dari Bogor ke Batam. Apa pasal? Saya bisa melupakan Bogor dengan semua kenangan mengenai ibu saya yang sudah meninggal. Saya pindah ke pulau ini dua bulan setelah mama meninggal.

Terlalu banyak kenangan di Kota Bogor yang akan mengingatkan saya pada mama. Mulai dari kantor saya yang dulu – saya terkadang diantar jemput mama saya ke kantor, tempat-tempat wisata dan tempat perbelanjaan yang dulu sering kami kunjungi, hingga rumah yang dulu kami tempati. Oleh karena itu, meski sedih meninggalkan kenangan masa kecil dan teman-teman yang mulai menggunung di Kota Bogor, saya sangat bahagia bisa menetap di Batam.

Mungkin ada banyak cerita menarik mengenai merantau dari rekan-rekan Kompasianar yang lain.  Jadi, inilah ceritaku, mana ceritamu? =D. (*)


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun