Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kita, Gelombang Panas dan Net Zero Emissions

24 Oktober 2021   12:48 Diperbarui: 24 Oktober 2021   13:02 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuju net zero emission. | Foto diambil dari tropis.co

India: Hidup di suhu 50C

Beberapa hari lalu saya melihat video yang dibagikan BBC News Indonesia di lini masa media sosial Facebook. Melalui video tersebut diperlihatkan bagaimana orang India menyiasati gelombang panas di tengah pandemi Covid-19.

Mereka melakukan banyak hal. Salah satunya mengecat atap rumah dengan warna putih. Warna tersebut dipercaya dapat memantulkan panas, sehingga udara panas yang menyesakan di dalam rumah diharapkan dapat sedikit berkurang. 


Perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu udara sepertinya memang sedang hangat dibicarakan. Beberapa waktu sebelumnya, saya juga membaca perdebatan warganet di twitter mengenai kota-kota dengan suhu udara panas di Indonesia.

Para netizen tersebut saling menampilkan tangkapan layar suhu udara di kota masing-masing. Meski panasnya tidak seekstrem India, tapi lumayan lho. Ada yang menampilkan tangkapan layar dengan suhu udara 40 hingga 43 derajat celcius. Entah betul kenyataannya seperti itu, entah tangkapan layar tersebut sudah diedit.

Namun, saya pribadi yang saat ini tinggal di Batam, Kepulauan Riau, memang merasakan sendiri, beberapa waktu terakhir ini cuaca terasa lebih panas. Menyengat. Saking panasnya, terkadang membuat kepala terasa berdenyut pusing bila terlalu lama berada di luar ruangan dan terpapar matahari langsung.

Suhu Bumi Naik?

Berdasarkan keterangan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, yang dilansir liputan6.com, beberapa kota besar di Indonesia memang mengalami kenaikan suhu dalam beberapa waktu terakhir.

Apakah bumi semakin panas? | Gambar SHUTTERSTOCK/ParabolStudio diambil dari kompas.com
Apakah bumi semakin panas? | Gambar SHUTTERSTOCK/ParabolStudio diambil dari kompas.com

Jakarta salah satunya. Dalam periode 100 tahun, kenaikan suhu di ibu kota Indonesia tersebut mencapai 1,4 derajat celcius. Sementara beberapa wilayah industri di beberapa kota lain di Indonesia mengalami kenaikan suhu sekitar 0,7 hingga 0,9 derajat celcius dalam periode 30 tahun terakhir.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian BBC, suhu panas ekstrem memang meningkat cukup signifikan. Sejak empat dekade terakhir, jumlah total hari suhu yang mencapai 50 derajat celcius terus bertambah, meningkat hingga dua kali lipat. Tidak hanya itu, wilayah yang mengalami suhu panas ekstrem juga meluas.

FYI, suhu panas ekstrem adalah suhu di suatu wilayah yang melebihi ambang batas suhu maksimum klimatologis normal bulanan. Nah, suhu maksimum normal bulanan ini ditentukan atau dihitung dari rata-rata data suhu maksimum bulanan selama 30 tahun.

Apa Dampak Bagi Manusia?

Ada banyak dampak buruk yang akan ditimbulkan oleh suhu panas ekstrem. Tak hanya kekeringan, kesulitan air bersih, kelangkaan bahan pangan, badai dan kebakaran hutan yang lebih rentan terjadi, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia. Gangguan paru-paru, jantung, hingga ginjal. Bahkan bisa menyebabkan kematian seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kanada, India dan Pakistan.

Dampak bagi tubuh manusia. | Gambar diambil dari BBC News Indonesia
Dampak bagi tubuh manusia. | Gambar diambil dari BBC News Indonesia

Lalu Apa Penyebab Suhu Panas Ekstrem?

Berdasarkan keterangan ilmuwan iklim terkemuka, Dr Friederike Otto, kenaikan suhu sepenuhnya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil yang saat ini digunakan di hampir setiap lini kehidupan menghasilkan emisi, gas residu berupa karbon dioksida (C02).

Batu bara. Salah satu bahan bakar fosil. | Foto AFP/BAY ISMOYO foto diambil dari kompas.com. 
Batu bara. Salah satu bahan bakar fosil. | Foto AFP/BAY ISMOYO foto diambil dari kompas.com. 

Bahan bakar fosil yang dimaksud adalah batu bara, minyak bumi, dan gas alam. "Tiga sekawan" ini memang lekat dengan kehidupan manusia. Listrik yang kita gunakan --baik untuk industri maupun rumah tangga-- umumnya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau gas alam, kendaraan yang kita gunakan untuk memudahkan mobilisasi juga berasal dari minyak bumi.

Emisi karbon dari bahan bakar fosil yang terus bertambah bisa menyebabkan suhu udara meningkat dan menyebabkan pemanasan global. Itu makanya, Dr. Sihan Li, peneliti iklim dari School of Geography and the Environment, University of Oxford, mengingatkan agar kita bertindak cepat mengurangi emisi.

Peneliti asal Inggris itu mengungkapkan, bila pengurangan emisi tidak segera dilakukan, bukan hanya keadaan panas ekstrem yang akan semakin gawat dan sering, tetapi respon darurat dan pemulihan akan semakin sulit untuk dilakukan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai masyarakat umum biasa, mungkin sempat terbersit dalam hati kita, saya mah apa atuh? Biar pejabat-pejabat pemerintahan saja yang memikirkan dan melakukan hal tersebut.

Duuuh, padahal pengurangan emisi harus dilakukan secara kompak oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia. Meski mungkin skalanya berbeda-beda, tergantung kapasitas masing-masing individu.

Para delegasi setiap negara di Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Paris 2015. | Foto AFP diambil dari lepoint.fr
Para delegasi setiap negara di Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Paris 2015. | Foto AFP diambil dari lepoint.fr

Apalagi sejak Confrence of Parties (COP) 21 Paris yang dilakukan 2015 lalu, semua bangsa sepakat mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbon global dan menjaga pemanasan dibawah ambang batas 2 derajat celcius.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Paris itu bahkan mewajibkan negara industri dan maju mencapai Net-Zero Emissions (NZE) atau Nol-Bersih Emisi (NBE) pada 2050.

Net zero emission yang dimaksud dalam konferensi tersebut adalah nol bersih emisi karbon negatif. Kalaupun ada emisi karbon yang dihasilkan manusia, sepenuhnya dapat diserap di bumi, baik diserap secara alami oleh tumbuhan maupun dengan bantuan teknologi canggih buatan manusia. Sehingga, tidak ada yang menguap sampai ke atmosfer dan memicu pemanasan global.

Indonesia sendiri menargetkan untuk mencapai net-zero emissions paling lambat tahun 2060. Saat ini, berbagai kebijakan pembangunan rendah karbon mulai diterapkan di berbagai sektor.

Hemat Listrik

Hal termudah yang dapat kita lakukan untuk mendukung gerakan net-zero emissions adalah dengan menghemat penggunaan listrik. Selain mudah, penghematan penggunaan listrik juga dapat memberikan dampak ekonomi kepada kita secara langsung. Tagihan listrik bisa lebih kecil. Uang yang tadinya digunakan untuk membayar tagihan listrik bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.

Hemat listrik. | Gambar freepik diambil dari bobo.grid.id
Hemat listrik. | Gambar freepik diambil dari bobo.grid.id

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghemat penggunaan listrik. Sejak kita kecil sebenarnya sudah mulai diajarkan mengenai hal tersebut, mulai dari mematikan lampu saat siang hari atau bila sedang tidak diperlukan, mematikan televisi bila tidak ada yang menonton, hingga membatasi penggunaan pengatur suhu ruangan.

Selain itu, jangan biarkan steker/kabel yang sedang tidak digunakan terhubung dengan arus listrik. Cabut dari colokan listrik. Meski steker/kabel tidak digunakan, tetapi terhubung dengan colokan listrik, tetap "memakan" arus listrik. "Menghisapnya" pelan-pelan.

Selain itu, steker yang terus-menerus terhubung dengan colokan yang berarus listrik --meski tidak digunakan-- lebih rentan cepat rusak, atau performanya tidak lagi optimal.

Agar bisa menghemat listrik secara optimal, sebaiknya menyiapkan hunian yang ramah lingkungan. Upayakan memberi ruang untuk sirkulasi udara dan sinar matahari. Sehingga tidak sepanjang waktu kita tergantung kepada lampu penerang dan pengatur suhu ruangan.

Upayakan tetap menyisakan halaman rumah. Jangan pagari rumah dengan tembok yang terlalu tinggi hingga sinar matahari terhalang masuk dan sirkulasi udara tidak berjalan dengan baik. Selain bisa digunakan untuk menghemat penggunaan lampu, sinar matahari baik untuk kesehatan. Begitu juga dengan udara segar yang berasal dari sekitar rumah. Tidak bisa tergantikan dengan udara sejuk yang berasal dari air conditioner.

Selain menghemat listrik, sebaiknya juga menghemat air. Proses pengolahan air bersih perpipaan yang kita gunakan umumnya menggunakan listrik.

Padahal seperti yang kita tahu, untuk menghasilkan listrik masih mengandalkan bahan bakar fosil.

Pilih Produk Lokal

Bila tidak ada alasan khusus yang begitu krusial, sebaiknya kita mulai beralih ke produk lokal. Makanan, minuman, pakaian hingga barang-barang kebutuhan lain yang kita perlukan.

Beralih ke produk lokal. | Foto tempo.co
Beralih ke produk lokal. | Foto tempo.co

Bukan, bukan hanya masalah mendukung produk dalam negeri, tetapi dengan beralih ke produk lokal berarti kita mendukung percepatan proses net zero emission.

Semakin jauh jarak produk yang kita gunakan, berarti semakin panjang jalur transportasi yang harus dilalui. Padahal armada transportasi yang mengangkut barang-barang tersebut umumnya menggunakan bahan bakar fosil yang menjadi sumber utama penghasil emisi karbon yang dapat memicu meningkatnya suhu bumi.

Untuk aneka sayuran, bila memungkinkan malah lebih baik menanam sendiri. Bisa menggunakan botol atau kemasan plastik bekas pakai. Biasanya tabur-tabur begitu saja tumbuh. Jadi, bila memerlukan cabai, tomat, kunyit, saat memasak tinggal memetik dari halaman rumah.

Selain itu, beli (bahan) makanan, minuman, pakaian, sepatu dan barang-barang lain dengan bijak. Jangan mentang-mentang punya uang, lalu membeli secara berlebihan. Ujung-ujungnya banyak pakaian yang hanya menjadi penghuni lemari, sepatu yang berjamur karena jarang digunakan, atau sayuran yang terpaksa dibuang karena sudah layu dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Ingat lho, barang-barang tersebut banyak yang diproses dengan menggunakan bahan bakar fosil. Saat diproses di pabrik, ataupun saat diantar dari produsen ke konsumen. Jadi, saat kita menumpuk membeli barang-barang tersebut, berarti kita juga ikut andil menumpuk emisi karbon dioksida di bumi.

Batasi Penggunaan Kendaraan Bermotor

Salah satu langkah efektif untuk mendukung net zero emission adalah dengan membatasi penggunaan kendaraan bermotor. Sebab, aneka kendaraan bermotor yang kita gunakan saat ini umumnya menggunakan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi berupa karbon dioksida.

Budayakan bersepeda. | Dokumentasi Pribadi
Budayakan bersepeda. | Dokumentasi Pribadi

Bila tujuan kita tidak terlalu jauh, ada baiknya membiasakan berjalan kaki. Simpan dulu motor atau mobil di garasi rumah. Selain membantu mendukung nol-bersih emisi, juga bisa membuat badan lebih sehat, uang lebih hemat.

Bila tidak memungkinkan untuk berjalan kaki, gunakan kendaraan umum massal, atau berangkat bersama-sama dengan keluarga dan kerabat dalam satu kendaraan pribadi. Hindari suami-istri pergi sendiri-sendiri dengan kendaraan pribadi yang berbeda-beda, apalagi bila tujuannya masih satu jalur.

Ada baiknya pemerintah juga mulai menggalakan penggunaan sepeda. Sekarang sudah mulai marak, tetapi lebih cenderung ke kegiatan olahraga yang dilakukan setiap akhir pekan. Sebaiknya mulai dibudayakan sebagai gaya hidup. Jadikan sepeda seperti motor atau mobil. Jadi, kemana-mana nyaman menggunakan sepeda.

Siapkan lahan parkir yang aman dan nyaman untuk sepeda, siapkan juga jalur sepeda yang memadai, tanpa mengganggu pengguna jalan lain.

Mungkin ini bisa mulai diterapkan di kota-kota berbentuk pulau seperti Batam. Apalagi jarak dari satu tempat ke tempat lain tidak terlalu jauh. Nyaris tidak ada juga pekerja komuter seperti di kota lain. 

Ah, semoga net zero emission segera terwujud dengan dukungan kita semua. Salam Kompasiana! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun