Koran Kompas edisi khusus 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, mengantar kita kembali menelusuri perjalanan bangsa Indonesia dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan melalui lensa jurnalisme yang jernih, reflektif, bermakna, dan menguggah.
Bukan sekadar koran, edisi spesial ini terbit 80 halaman (sesuai ulang tahun RI) penuh sejarah dan reflektif dengan arsip visual yang menarik, berisi banyak artikel-artikel klasik, baik dari editorial redaksi, maupun yang ditulis oleh para tokoh-tokoh bangsa dari berbagai bidang kehidupan masyararakat, interview tokoh lintas generasi, serta cerita lembaga dan rakyat yang membentuk wajah Indonesia saat ini.
Seperti berdialog dengan sejarah bangsa dan negara Indonesia melalui pemikiran founding fathers: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Menariknya tiga dari keempat tokoh bangsa ini berasal dari Sumatera Barat. Bung Hatta sang proklamator, Tan Malaka sebagai konseptor negara Republik Indonesia; dan Sjahrir ahli diplomasi dan Perdana Menteri pertama Indonesia.
Dalam satu artikel berjudul "Sumatera Barat, Rahim Lahirnya Pemikir Bangsa", menjelaskan sejarah suku Minangkabau yang memunculkan banyak pejuang, pemikir, intelektual, dan tokoh penting yang berkontribusi besar bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Kita diajak mendalami dan merefleksi pemikiran gagasan bernas dari para presiden. Revolusi mental Jokowi, Visi Indonesia 2045 SBY, dan Gotong Royong cara Megawati, sangat layak dicermati terutama para pembuat kebijakan dari skala kecil hingga terbesar.
Saya suka gagasan Presiden KH Abdurrahman Wahid, ketika menulis artikel berjudul "Masa Depan Demokrasi di Indonesia" yang terbit di Kompas pada 1 September 1998, tidak lama setelah reformasi dimulai. Gus Dur menulis, konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya, sebab masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat. Gus Dur menjelaskan Pusat dan daerah, Kekuatan Masyarakat, dan Demokratisasi. Gagasan yang semakin menemukan bukti demokrasi dan pemerintahan kita saat ini masih jauh dari cita-cita reformasi.
Membaca koran ini juga untuk memahami Lembaga-Lembaga Negara, dari sejarah berdirinya, fungsi dan wewenangnya; eksistensinya dalam pemerintahan kita selama delapan dekade dengan banyak tantangan setiap masa. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjaga ideologi bangsa dan pengawal konstitusi sebagai lembaga idiologis dan etik yang memandu lembaga dan badan-badan pemerintahan.
Saya juga senang mengetahui individu, organisasi, dan perusahaan-perusahaan legendaris dari berbagai bidang sebagai saksi sejarah bangsa Indonesia yang masih bertahan saat ini. Sebut saja PT KAI sebagai simbol peradaban kemajuan bangsa; PLN yang semakin menjangkau seluruh pelosok; Pertamina sebagai perusahaan dengan reputasi global; Bank BRI yang bertransformasi dari bank yang awalnya melayani kebutuhan kalangan ningrat menjadi melayani rakyat cilik; Biofarma dan Frisian Flag yang berperan banyak dalam menyokong gizi keluarga Indonesia, dan sebagainya.
Kita juga perlu bernostalgia dengan menelusuri media-media legendaris yang tetap bertahan, berinovasi, dan menjunjung tinggi kebangsaan di tengah guncangan disrupsi; Haluan di Sumatera Barat, Waspada di Medan, Kedaulatan Rakyat di Yogya, dan Suara Merdeka di Semarang. Luar biasa peran dan dedikasi mereka memberitakan sesuatu yang penting.
Jangan lupa fenomena kaum muda mahasiswa yang berjuang semakin luas, termasuk di jalur konstitusi dengan menggugat undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Kisah aktivis politik yang bermula di era digital, semakin berperan dan semakin kritis terhadap persoalan dan solusi bangsa kita juga dimuat di edisi ini.