Mohon tunggu...
Kosasih Ali Abu Bakar
Kosasih Ali Abu Bakar Mohon Tunggu... Dosen - Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Baca, Tulis, Travelling, Nongkrong, Thinking

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Suara Tuhan Menuju Musyawarah Mufakat

18 Februari 2024   06:15 Diperbarui: 18 Februari 2024   06:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilpres kali ini sedikit banyak mengejutkan banyak pihak, tidak hanya pemenang tapi juga yang kalah, berdasarkan Quick Count. Hal yang perlu dipahami, Quick Count sendiri sejatinya sudah menjadi bagian instrumen hasil pilpres, biasanya output akhirnya hampir sama dengan Real Count. 

Sehingga, mereka yang kalah tidak secara gamblang mempersoalkan hasil Quick Countnya. Namun, lebih kepada penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dalam menciptakan ekosistem yang menguntungkan satu paslon. Biasanya, didengungkan dengan gerakan yang dilakukan oleh akademisi. Quick Count sendiri adalah ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan, lahir dari akademisi handal, apalagi dari lembaga survey yang terpecaya.

Kecurangan? Quick Count itu sebagai alat kontrol diakhiri, untuk mencegah kecurangan penghitungan. Tapi sebelum perhitungan bisa dijadikan sebagai "cek ombak" atau penggiringan opini. Ya itu tadi, akhirnya sistem yang kemudian diarahkan kepada penggiringan opini dan pengambilan keputusan.

Kecurangan? Harus berdasarkan hukum pembuktiannya. Tidak juga kepada penggiringan opini juga. Seringkali lembaga survey juga disalahkan oleh yang kalah dengan segala macam retorika, bahkan membawa nama Tuhan. Kembali bagi sebagian orang statistik atau sampling itu ada metode yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga kemudian hilanglah perbedaan antara seorang akademis dengan seorang yang tidak berilmu. 

Anomali? Kemenangan hampir 60% dari 02. PSI yang tidak terkena Jokowi efek untuk elektabilitasnya, Jateng dan Bali sebagai kandang banteng yang seharusnya didominasi oleh 03 malah dikalahkan oleh 02. Berbasis dukungan parpol, maka 03 seharusnya bisa dapat lebih 17%, 20% ke atas. Sebagian besar ceruk  generasi milineal lebih memilih 02.

Used to be? Aceh dan Sumbar dimenangkan oleh 01. Akan gabungnya partai-partai menengah ke penguasa, pragmatis atau kepentingan bangsa yang diutamakan.

Jangan-jangan ada kekuasaan Tuhan disana? Atau jangan-jangan ada kesalahan strategi disana? Gap antara kelompok akademisi dan akar rumput? Dst.

Semua analisis dan teori bisa diungkapkan untuk menjawab anomali dan used to be, serta pertanyaan-pertanyaan menggelitik tersebut. Tapi, satu hal yang pasti pencoblosan dilakukan di ruang-ruang sunyi, hanya pencoblos dan kertas suara pada bilik suara. Ketika hati manusia yang kemudian digerakkan Tuhan pada akhirnya setelah mendapatkan informasi dari panca indranya. Suara rakyat suara Tuhan. Suara satu orang Profesor sama dengan seorang lulusan SD. Seorang pengusaha sama dengan satu orang fakir. Dst. Ruang-ruang ini yang tidak bisa dikontrol oleh siapapun, karena masalah hati yang berbolak-balik.

Hal yang bisa dilakukan adalah sebelum dan sesudah pemilih mencoblos. Sebelum, maka semua upaya dan semua kelompok berupaya menggiring pemilih untuk memilih calonnya. Begitu juga sesudahnya, Quick Count sebagai salah satu alat kontrol dari Real Count, utamanya lembaga yang kredibel dan dipercaya dalam melaksanakannya.

Mendowngrade hasil pemilu tidak baik bagi bangsa ini,  kecuali ada bukti nyata dan berpengaruh kepada suara rakyat sesuai aturan berlaku, akhirnya hanya menjadi opini yang berlebihan. Apalagi sampai membatalkan hasil pemilu tanpa ada dasar yang jelas. Pemilu adalah pesta rakyat dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bahkan rakyat sendiri yang mengawal dari mulai TPS sampai ke perhitungan tingkat pusat.

Jangan sampai kekalahan kemudian menyalahkan sistem demokrasi yang terbangu, ada kelebihan dan kekurangan, bisa disempurnakan.  Sistem demokrasi kita sudah dibangun sejak lama. Mau dikatakan itu liberal atau apapun. Sistem kita menghargai satu suara satu orang, sehingga lebih kepada populis. Sering saya katakan, suara 1 Peofesor sama dengan 1 orang tuna wisma di pinggir jalan. Ada egaliter disitu. Seperti juga Tuhan memberikan kebebasan setiap orang berkehendak, akan tetap tetap menanggung konsekuensinya dihari akhir dan kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun