Perdebatan mengenai pekerjaan seks merupakan isu-isu sosial dan kemanusiaan yang menarik untuk dibahas walau terkadang kita terperangkap antara penilaian moral dan realitas empiris.Â
Pun begitu, sebelum membaca lebih jauh, perlu penulis katakan, tulisan ini bukan untuk mengajak pembaca tertarik, akan tetapi hanya sekadar pengetahuan saja bagaimana dunia luar mengatasi persoalan sosialnya. Nah, yang ini cukup menarik untuk diketahui. Hitung-hitung ngisi otak dan nambah wawasan.Â
Penanganan prostitusi dan pekerja seks di banyak yurisdiksi, rezim yang mengkriminalisasi terbukti gagal menghasilkan keamanan; larangan ketat hanya mendorong praktik ini ke ruang tersembunyi, meningkatkan kerentanan pekerja seks terhadap kekerasan, eksploitasi, dan risiko kesehatan yang lebih tinggi.Â
Sejalan dengan kegagalan sistem lama, artikel ini mengajak kita mengenal dan mempelajari model kebijakan yang paling progresif dan berpusat pada hak asasi manusia yakni dekriminalisasi menyeluruh, dengan meninjau studi kasus yang paling mendasar di dunia, yaitu, Prostitution Reform Act (PRA) 2003 di Aotearoa Selandia Baru.
Kriminologi Kritis dan Mitigasi Bahaya
Untuk memahami sepenuhnya keberhasilan model Selandia Baru, kita perlu menggunakan kerangka teoretis yang melampaui batasan hukum pidana. Pendekatan ini dikenal sebagai Bahaya Sosial (Social Harm), yang dikembangkan oleh para sarjana seperti Pemberton (2021).Â
Pendekatan Bahaya Sosial lahir dari kritik bahwa kriminologi tradisional terlalu membatasi konsep "bahaya" hanya pada tindakan yang diakui sebagai kriminal. Pendekatan ini berpendapat bahwa bahaya yang dialami individu seringkali bukan hasil dari perilaku atau pilihan pribadi, melainkan konsekuensi dari bagaimana struktur masyarakat---termasuk hukum dan kebijakan negara---diatur.
Kerangka Bahaya Sosial Pemberton (2021) menunjukkan bahwa bahaya sosial timbul ketika kebutuhan dasar manusia, seperti kesejahteraan fisik, mental, dan otonomi, tidak terpenuhi. Undang-undang yang menghukum pekerjaan seks menciptakan bahaya yang dapat dicegah.Â
Hal ini mencakup bahaya fisik dan mental, karena kriminalisasi menumbuhkan stigma yang menghambat akses ke layanan kesehatan yang aman. Berikutnya, otonomi terkikis karena pekerja seks tidak diakui secara legal atas pekerjaan mereka dan tidak diizinkan untuk mengontrol kondisi kerja mereka.Â
Terakhir, bahaya relasional timbul dari pengucilan sosial dan marginalisasi yang mengikis harga diri.