Di balik data statistik dan wacana kesehatan publik, ada sebuah kisah yang tak terucap tentang jutaan rakyat kecil. Mereka adalah para buruh, petani, dan pekerja harian yang hidupnya digantungkan pada upah pas-pasan.
Di pundak mereka, kebijakan cukai rokok yang kian melambung terasa seperti sebuah "pajak kemiskinan" yang tak terhindarkan. Dalam dilema sehari-hari, seringkali mereka harus memilih, mendahulukan rokok sebagai pelepas penat setelah seharian bekerja, atau membeli kebutuhan pokok seperti telur dan daging.
Kenyataannya bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah pertarungan pahit antara ketahanan psikologis dan tuntutan biologis. Kebijakan yang seharusnya melindungi, justru menjepit dan membebani mereka yang paling rentan.
Rencana Pemerintah Soal Rokok
Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kini menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam merumuskan kebijakan cukai rokok, yang menekankan pentingnya menyeimbangkan tiga aspek dalam kebijakan ini yakni, penerimaan negara, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan industri domestik serta nasib pekerjanya.
Dalam pandangannya, penerimaan negara dapat ditingkatkan melalui pemberantasan peredaran rokok ilegal di pasar, baik secara fisik maupun daring, ketimbang hanya menaikkan tarif cukai.
Tarif cukai yang mencapai rata-rata 57% sebagai kebijakan yang "aneh" jika tidak diiringi dengan program mitigasi bagi pekerja yang terdampak. Rencana ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari sekadar menaikkan tarif menjadi pendekatan yang lebih holistik.
Sementara itu, anggapan bahwa harga rokok yang mahal akan membuat perokok berhenti terbukti naif dan gagal memahami realitas sosiologis.Â
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rokok telah menjadi bagian dari mekanisme bertahan hidup di tengah kerasnya tekanan ekonomi.
Fenomena ini sejalan dengan teori "lingkaran kemiskinan" yang dikemukakan oleh antropolog Oscar Lewis (1966), yang menunjukkan bagaimana pilihan yang tampaknya tidak rasional justru logis dalam konteks keterbatasan sumber daya.