Membayangkan Timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia 2026 rasanya seperti menatap pelangi di tengah gerimis - tidak mustahil, tapi memang butuh keajaiban dan kesabaran. Di antara jutaan pecinta sepak bola Tanah Air, harapan itu selalu menyala.
Setiap kali lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dikumandangkan sebelum laga, ada getar di dada yang sulit dijelaskan. Ada semacam keyakinan yang diam-diam berbisik, “Suatu saat nanti, giliran kita akan tiba.”
Selama bertahun-tahun, kalimat “Indonesia lolos Piala Dunia” terdengar seperti mimpi yang terlalu jauh untuk digapai. Namun dalam beberapa tahun terakhir, mimpi itu mulai terasa punya pijakan nyata.
Melihat performa Timnas di laga-laga kualifikasi, banyak orang mulai berani bermimpi lebih tinggi.
Para pemain muda tampil penuh semangat, bukan hanya mengejar bola, tapi membawa harapan dan martabat bangsa di dada. Mereka berlari bukan sekadar demi kemenangan, tapi demi menunjukkan bahwa Garuda sudah siap terbang lebih tinggi.
Saya pribadi cukup optimistis. Mungkin Timnas kita belum selevel dengan Jepang atau Korea, tapi arah pembangunan sepak bola kita sudah di jalur yang benar. Regenerasi berjalan, kompetisi domestik mulai hidup, dan antusiasme publik semakin besar.
Di warung kopi, di kantor, bahkan di rumah, pembicaraan tentang Timnas kini bukan sekadar obrolan iseng. Ia telah menjadi simbol kebanggaan baru, semacam tanda bahwa bangsa ini pelan-pelan sedang belajar percaya pada dirinya sendiri.
Dalam kualifikasi babak keempat ini, Indonesia hanya akan menghadapi dua pertandingan: melawan Arab Saudi (8 Oktober 2025) dan Irak (11 Oktober 2025), di grup yang diselenggarakan di Saudi Arabia. Karena grup hanya berisi tiga tim, setiap tim hanya bermain dua kali.
Juara grup langsung lolos ke Piala Dunia, sedangkan runner-up masih punya peluang melalui playoff melawan runner-up dari grup lain, dan jika menang, akan berlaga di playoff antar-konfederasi.
Dengan format sempit itu, Indonesia harus tampil dengan strategi matang, fisik prima, dan mental juang tak tergoyahkan agar bisa lolos dari grup yang berat ini.
Yang menarik, publik kini juga mulai dewasa. Kekalahan tidak lagi disambut dengan cacian, tetapi dengan dukungan dan harapan agar mereka belajar dan tumbuh. Ini perubahan besar - perubahan mentalitas yang menandakan bahwa bangsa ini mulai memahami arti proses.
Karena di balik setiap kekalahan, ada langkah-langkah kecil menuju kemajuan yang lebih besar. Dan jujur saja, saya merasa kali ini bukan sekadar angan-angan. Jika ada momen paling realistis untuk bermimpi, mungkin inilah saatnya.
Format baru Piala Dunia 2026 yang menambah jumlah peserta membuka peluang lebih luas. Siapa tahu, inilah waktunya Indonesia mencatat sejarah baru: pertama kalinya tampil di panggung sepak bola paling bergengsi dunia.
Kalau hal itu benar-benar terjadi, saya ingin sekali menonton langsung ke stadion di Amerika Serikat. Bayangkan duduk di tribun, mengenakan merah putih, dan mendengar lagu kebangsaan berkumandang di antara sorak penonton dari berbagai negara.
Pasti dada ini akan sesak oleh haru dan bangga. Tapi tentu, tidak semua impian semudah itu diwujudkan. Butuh biaya besar, waktu panjang, dan mungkin sedikit keberuntungan.
Namun seandainya takdir belum mengizinkan menonton langsung, menonton dari rumah pun tidak mengurangi rasa bahagia.
Bisa jadi malah lebih hangat - nonton bareng keluarga atau tetangga, berteriak tiap kali bola hampir masuk, atau menahan napas bersama ketika lawan menyerang.
Kadang, kebahagiaan itu sesederhana duduk di depan layar, bersama orang-orang yang mencintai negeri yang sama.
Sebagai bentuk dukungan pribadi, saya punya janji kecil yang ingin saya laksanakan. Jika Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026, saya akan lari maraton keliling sekitar rumah selama tujuh hari berturut-turut, minimal lima kilometer setiap harinya.
Kedengarannya konyol, tapi bagi saya, itu simbol kebahagiaan dan perayaan. Lari itu seperti metafora: tentang semangat yang tidak berhenti, tentang napas yang tersengal tapi terus berjuang, seperti Garuda yang tetap mengepakkan sayapnya di tengah badai.
Namun di luar euforia dan imajinasi itu, ada makna yang lebih dalam dari sekadar sepak bola. Piala Dunia, sejatinya, bukan hanya ajang adu kemampuan atletik. Ia adalah panggung besar tempat bangsa-bangsa menunjukkan jati diri.
Ketika Indonesia berdiri sejajar dengan Brasil, Argentina, atau Jerman, itu bukan hanya kemenangan di lapangan. Itu adalah pengakuan dunia bahwa bangsa ini mampu. Bahwa kita tidak hanya menjadi penonton di tribun, tetapi bagian dari cerita besar sepak bola global.
Bagi negara dengan sejarah panjang dan pasang-surut prestasi seperti Indonesia, lolos ke Piala Dunia akan menjadi bentuk penebusan. Penebusan atas puluhan tahun perjuangan, atas air mata suporter yang tetap setia meski sering kecewa, dan atas mimpi yang tak pernah padam meski sering diremehkan.
Bayangkan, jika hari itu datang - seluruh negeri mungkin akan berhenti sejenak. Jalanan sunyi, televisi menyala di tiap rumah, dan jutaan pasang mata menatap layar dengan doa yang sama: semoga Garuda menang. Air mata akan tumpah, bukan karena sedih, tapi karena bangga.
Lebih dari sekadar euforia, sepak bola mengajarkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi bangsa yang bersatu, disiplin, dan percaya diri. Timnas Indonesia adalah cermin kita semua - kadang jatuh, sering diremehkan, tapi selalu punya semangat untuk bangkit lagi.
Dan bukankah itu pula yang seharusnya menjadi semangat hidup bangsa ini? Untuk tidak berhenti berharap, meski dunia sering membuat kita ragu?
Entah nanti Indonesia benar-benar lolos atau belum, cinta kita kepada Garuda tak boleh padam. Karena mencintai tim nasional sama artinya dengan mencintai negeri sendiri: ada kecewa, ada air mata, tapi selalu ada alasan untuk percaya.
Dan kalau suatu hari nanti Garuda benar-benar terbang di langit Piala Dunia, saya akan berlari tujuh hari penuh sambil tersenyum, karena mimpi kecil yang dulu dianggap lucu akhirnya menjadi kenyataan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI