Ada satu hal menarik dari perkembangan film horor Indonesia beberapa tahun terakhir: makin banyak karya yang lahir dari thread viral di media sosial. Kisah-kisah pendek yang dulunya hanya beredar di Twitter atau X, kini mendapat nafas baru di layar lebar.
Tapi, di tengah tren itu, sering muncul pertanyaan: apakah semua adaptasi thread bisa naik kelas jadi film yang benar-benar layak ditonton, atau sekadar ikut-ikutan tren saja?
Film Dia Bukan Ibu memberikan jawabannya. Disutradarai oleh Randolph Zaini di bawah naungan MVP Pictures dan tayang perdana pada 25 September 2025, film ini berhasil mematahkan stigma bahwa horor adaptasi thread hanya menjual sensasi.
Ia hadir dengan eksekusi matang, atmosfer menekan, sekaligus kisah keluarga yang membekas di kepala. Hasilnya, Dia Bukan Ibu terasa lebih dari sekadar tontonan seram: ia menyentuh, menohok, sekaligus membuat kita merenung.
Horor yang Tumbuh dari Luka Keluarga
Cerita film ini berpusat pada Vira (Aurora Ribero), remaja yang berusaha bertahan setelah perceraian orang tuanya. Ia tinggal bersama adiknya, Dino (Ali Fikry), dan sang ibu, Yanti (Artika Sari Devi).
Untuk memulai hidup baru, keluarga kecil ini pindah kota dan membuka salon sederhana. Awalnya, segalanya terlihat seperti awal yang tenang. Tapi, perlahan, Vira menyadari ada sesuatu yang salah.
Yanti, yang sebelumnya rapuh, tiba-tiba berubah. Ia tampak lebih percaya diri, cantik, bahkan sukses. Namun, di balik perubahan itu, muncul sisi gelap yang tak terduga. Sang ibu jadi pemarah, mudah melukai orang lain, bahkan tega menyerang anaknya sendiri. Anehnya, esok hari ia bisa kembali bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
Dari sini, ketegangan dibangun. Vira mulai mencurigai ada sesuatu yang lebih besar: obsesi aneh, ritual terlarang, hingga kehadiran kekuatan gaib yang menyusup ke dalam keluarganya. Pertanyaan pun menggantung: apakah ibu yang selama ini ia kenal masih ada di balik sosok itu, atau sudah digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih menyeramkan?
Inilah kekuatan utama dari Film Dia Bukan Ibu. Alih-alih sekadar menyajikan hantu dan jumpscare, film ini menggali akar trauma keluarga. Ia membuat kita bertanya-tanya: bagaimana luka batin bisa membuka pintu bagi teror yang lebih gelap? Apa jadinya jika rumah, yang seharusnya menjadi tempat aman, justru berubah jadi sumber rasa takut?