Setiap pagi, jutaan orang di Indonesia memulai ritual yang sama: berhadapan dengan kemacetan, hiruk-pikuk klakson, dan jalanan yang padat. Perjalanan ke tempat kerja, yang seharusnya cuma fase transisi, sering kali justru jadi sumber stres utama. Waktu tempuh yang panjang, yang seharusnya jadi kesempatan, malah terasa seperti waktu yang terbuang percuma.
Namun, bagaimana jika kita ubah sudut pandang? Anggap saja waktu di jalan itu sebagai ruang pribadi, sebuah jeda yang kita punya sebelum hari kerja dimulai. Ini bukan lagi soal buru-buru sampai, tapi soal bagaimana kita mengisi momen itu agar pikiran dan hati kita tetap tenang.
Sebagai pengguna motor, saya paling sering merasakan momen ini. Macet di perempatan, atau harus melaju pelan di antara kendaraan lain. Daripada ikut-ikutan stres, saya punya cara andalan.Â
Biasanya, saya putar murotal, atau lebih seringnya lagi, berdzikir dalam hati. Sambil bawa motor, mulut komat-kamit. Ya, biar perjalanan nggak terasa lama, dan yang paling penting, biar hati tenang dan selamat sampai tujuan.
Awalnya saya pikir, ini cuma cara buat ngusir bosan. Tapi ternyata, ini lebih dari yang saya bayangkan. Ini adalah bentuk koneksi spiritual yang bisa kita bawa ke mana pun. Ada rasa damai yang muncul, seolah ada yang menjaga. Ini juga jadi pengingat agar kita selalu bersyukur, bahkan di tengah macet yang bikin emosi meninggi.Â
Kadang, ada juga momen di mana saya malah ngobrol sendiri dalam helm. Ngobrol hal-hal random, merenung, atau merencanakan sesuatu. Aneh, sih. Tapi ini adalah cara saya untuk memproses pikiran.Â
Saya sebut ini dialog internal, semacam terapi ringan yang bisa membuat pikiran lebih jernih sebelum berhadapan dengan tumpukan kerjaan. Ini justru produktif, karena saya jadi bisa menyusun prioritas atau mencari solusi dari masalah kecil yang lagi dipikirin.
Terkadang juga saya dengerin musik remix atau DJ gitu. Intinya musik yang bassnya kencang. Biar jedag-jedug. Hal ini biasanya saya putar pas rasa kantuk tiba-tiba menyerang. Mau istirahat, nyari tempat singgah belum ketemu yang tepat. Jadilah ini solusi dadakan yang cukup ampuh.
Kalau naik transportasi umum, kurang lebih sama ya. Di bus saya jarang main hp, karena nggak kuat natap layar handphone lama-lama, pusing. Jadi, ya heandsetan - muterin lagu-lagu lawas sembari bernostalgia masa-masa sekolah dan dengerin lagu-lagu Ebid G Ade sama Iwan Fals. Dengerin lagu-lagu yang bikin mood jadi baik.
Pernah juga sih baca buku, tapi sangat jarang saya lakukan. Saya tipe orang yang agak risih kalau baca buku di tempat umum, males aja gitu, tiba-tiba ada orang yang nyamperin dan pura-pura muji, tapi ujung-ujungnya bookshaming secara halus.
"Kok baca novel sih," "Bacaanmu bagus, pasti orangnya pinter," atau "Suka baca buku ya, kamu pasti rajin dan berwawasan luas." Bahkan, ada juga yang malah nguji kita dengan beragam argumen, seolah-olah kita ngajakin dia debat dan bedah buku.Â