Setiap pagi, deru mesin motor menjadi penanda dimulainya sebuah episode perjuangan. Bukan, ini bukan awal dari sebuah film laga, melainkan ritual harian saya — dan mungkin juga ribuan Kompasianer lainnya — seorang pejuang rupiah yang menggantungkan nasib pada putaran roda di atas aspal. Bagi saya, seorang pekerja lapangan, jalanan adalah kantor yang tak berdinding, dan setiap kilometer adalah taruhan antara pendapatan dan pengeluaran.
Pernahkah Anda berhenti sejenak di tengah rutinitas yang padat, lalu bertanya pada diri sendiri: "Sebenarnya, berapa biaya yang saya bakar di jalan setiap hari?" Pertanyaan ini sering berputar di kepala saya, terutama saat mengisi penuh tangki bensin ‘kuda besi’ yang setia menemani.
Rute Tak Menentu, Anggaran Pun Rentan ‘Boncos’
Berbeda dengan teman-teman pekerja kantoran yang rutenya cenderung statis, peta perjalanan saya berubah setiap hari. Tugas saya adalah mendata aset negara dari satu rumah warga ke rumah lainnya. Hari ini bisa di sudut kota yang terik, besok mungkin menyusuri gang-gang sempit di pinggiran. Fleksibilitas ini memang seru, tapi ada harga yang harus dibayar: konsumsi bahan bakar yang sulit diprediksi.
Setiap hari, saya mengalokasikan sekitar Rp30.000 hingga Rp40.000 hanya untuk bensin. Angka ini bisa membengkak jika lokasi penugasan hari itu benar-benar jauh dan menantang. Motor menjadi satu-satunya andalan karena tuntutan mobilitas tinggi yang tak mungkin dipenuhi oleh transportasi publik. Transit? Bagi saya, transit adalah warung kecil tempat sejenak melepas lelah atau halaman rumah warga yang ramah menyapa.
Untuk urusan perut, saya sudah menerapkan strategi jitu: membawa bekal makan siang dan tumbler berisi air minum dari rumah. Ini adalah benteng pertahanan utama agar pos pengeluaran tidak semakin jebol. Tapi, namanya juga manusia yang bekerja di bawah terik matahari, godaan untuk ‘jajan’ seringkali tak tertahankan.
Segelas es teh manis atau sebungkus gorengan hangat seolah menjadi hadiah kecil untuk diri sendiri. Biasanya, sekitar Rp5.000 hingga Rp15.000 melayang untuk kesenangan sesaat ini. Karena saya bukan perokok, mungkin ini cara saya mengalihkan alokasi ‘uang rokok’ ke pos yang lebih menyenangkan di lidah.
Jika kita hitung-hitung, pengeluaran harian saya di luar makan berat adalah:
- Biaya Transportasi (Bensin): Rp30.000 - Rp40.000
- Biaya Jajan & Minum Tambahan: Rp5.000 - Rp15.000
- Total Pengeluaran Harian di Jalan: Rp35.000 - Rp55.000
Kalkulasi Sebulan: Benarkah Sepertiga Gaji Ludes di Jalan?
Angka harian mungkin terlihat kecil. Tapi, bagaimana jika kita akumulasikan dalam sebulan? Mari kita ambil angka rata-rata pengeluaran harian sebesar Rp45.000 dan asumsi 22 hari kerja. Rp45.000 x 22 hari = Rp990.000
Angka ini baru sebatas biaya operasional harian yang terlihat. Kita belum memasukkan "biaya tak terduga" yang menjadi sahabat karib pengendara motor: ban bocor yang menuntut ongkos tambal, ganti oli rutin bulanan, atau bahkan servis ringan lainnya yang jika dirata-ratakan bisa menambah Rp100.000 - Rp200.000 per bulan.
Jadi, total pengeluaran bulanan untuk transportasi dan segala pernak-perniknya bisa dengan mudah menyentuh Rp1.100.000 hingga Rp1.200.000.
Sekarang, mari kita sandingkan dengan pendapatan. Dengan pendapatan bulanan di kisaran Rp4.000.000 hingga Rp5.000.000, pengeluaran sebesar Rp1,2 juta itu berarti memakan sekitar 24% hingga 30% dari total gaji. Ternyata, mitos pengeluaran transportasi yang bisa menyentuh sepertiga gaji itu bukan isapan jempol belaka, setidaknya untuk kasus saya saat pendapatan berada di batas bawah.
Dampak pada Pos Keuangan dan Strategi Bertahan
Tentu saja, angka sebesar itu sangat berdampak. Alokasi yang seharusnya bisa menjadi tabungan darurat, investasi masa depan, atau bahkan dana untuk rekreasi, harus rela tergerus oleh kebutuhan di jalan. Ini menciptakan tekanan psikologis tersendiri. Setiap kali melihat jarum indikator bensin mendekati huruf 'E', ada sedikit rasa was-was. Setiap kali tergoda jajan, ada bisikan kecil tentang target tabungan.
Namun, mengeluh saja tidak akan mengubah keadaan. Saya sadar harus ada strategi tambahan untuk bisa bertahan dan tetap waras secara finansial:
- Optimalisasi Rute Harian: Sebelum berangkat, saya mulai membiasakan diri untuk melihat peta dan menyusun urutan lokasi yang akan didatangi. Saya mengelompokkan rumah-rumah yang berdekatan untuk dikunjungi di hari yang sama. Tujuannya sederhana: meminimalisir jarak tempuh dan menghindari rute bolak-balik yang boros bensin.
- Gaya Berkendara ‘Eco-Riding’: Menjaga kecepatan konstan dan menghindari akselerasi atau pengereman mendadak terbukti sedikit membantu menghemat bahan bakar. Ini adalah perubahan kecil dengan dampak yang terasa dalam jangka panjang.
- Disiplin Anggaran ‘Jajan’: Alih-alih jajan impulsif, saya mencoba menetapkan bujet mingguan untuk "hadiah kecil" ini. Misalnya, maksimal Rp50.000 seminggu. Jika sudah tercapai, hari berikutnya harus lebih kuat menahan godaan.
- Dana Darurat Kendaraan: Saya menyisihkan pos khusus "dana servis" setiap bulan. Jadi, ketika ada kerusakan atau kebutuhan perawatan, saya tidak perlu mengganggu pos keuangan lainnya. Ini mengurangi stres saat terjadi hal-hal tak terduga.
Kisah ini adalah cerminan dari realita banyak pekerja lapangan yang bergantung pada kendaraan pribadi. Angka-angka yang saya paparkan bukan sekadar statistik, melainkan pengingat bahwa biaya perjalanan harian bisa menjadi beban signifikan jika tidak dikelola dengan baik.
Penting bagi kita untuk melihat pengeluaran ini sebagai investasi pada pekerjaan kita, bukan sekadar biaya yang hilang. Dengan strategi yang tepat, kita bisa mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk hidup lebih hemat dan merdeka secara finansial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI