Di balik aroma kopi yang baru diseduh dan desain interior yang memanjakan mata, ada satu elemen tak terlihat yang kerap menjadi nyawa dari sebuah kafe: musik.Â
Alunan yang mengisi ruang itu tak hanya sekadar latar, melainkan detak jantung yang meracik suasana dan menentukan betah atau tidaknya kita.Â
Namun, belakangan ini, detak jantung itu terancam senyap. Aturan royalti musik kini menjadi pedang bermata dua, memicu dilema bagi para pemilik kafe dan memunculkan pertanyaan mendasar bagi kita, para penikmatnya.
Namun, di balik syahdunya lagu-lagu yang menemani kita menyeruput latte, ada sebuah dilema yang kian hari kian relevan, terutama bagi para pemilik usaha: royalti musik.Â
Aturan yang bertujuan melindungi hak para musisi ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah bentuk keadilan bagi para seniman. Di sisi lain, ia menjadi tantangan operasional yang tak sederhana bagi pengelola kafe.
Hal ini lantas memunculkan pertanyaan mendasar bagi kita sebagai pelanggan: apakah kehadiran musik menjadi faktor krusial? Atau jangan-jangan, kita justru merindukan kafe yang hening sebagai oase di tengah hiruk pikuk kehidupan?
Dua Kubu Penikmat Kopi: Tim Musik vs. Tim Hening
Jika kita amati, setidaknya ada dua kubu utama dalam preferensi suasana kafe. Kubu pertama adalah mereka yang menganggap musik sebagai bagian tak terpisahkan dari pengalaman ngafe.Â
Alunan jazz yang lembut, denting piano klasik, atau bahkan lagu-lagu pop era 2000-an yang memancing nostalgia, semua itu dianggap mampu membangun mood, membuat obrolan lebih cair, dan mengubah secangkir kopi menjadi sebuah pengalaman sinematik.Â
Tanpa musik, kafe terasa hampa, kosong, dan sedikit canggung.