Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pak Kusnanto dan Jalan Panjang Khidmah di Nahdlatul Ulama

2 Agustus 2025   14:02 Diperbarui: 2 Agustus 2025   14:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi sebagian orang, menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar pilihan organisasi. Ini soal panggilan jiwa. Ada yang mengekspresikan cintanya pada NU lewat mimbar, lantang menyuarakan perjuangan. Ada pula yang mewakafkan harta, membangun pesantren, atau mendanai kegiatan dakwah. Tapi ada satu jalan yang jarang disorot: jalan sunyi pengabdian, bekerja di balik layar tanpa tepuk tangan.

Itulah jalan yang dipilih Kusnanto, atau akrab disapa Pak Kus. Lahir di Grobogan, 10 Januari 1979, beliau sudah 24 tahun setia menjadi pelayan para ulama NU. Namanya mungkin tidak tercatat di buku sejarah resmi, tak pernah muncul di layar televisi. Tapi, langkah-langkahnya ikut menjaga bara perjuangan NU agar tak padam.

Sejak muda, Pak Kus bercita-cita mondok di pesantren. Tapi, seperti kata pepatah, tak semua mimpi berjalan sesuai rencana. Keadaan keluarga dan kondisi lain membuatnya harus mengubah arah. Tahun 2001, ia justru melangkah ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Saat itu, NU bagi Pak Kus hanyalah nama besar yang ia dengar dari cerita orang, belum ia pahami betul. Yang ia tahu: di sana ia dibutuhkan, dan ia siap mengabdi.

Pekerjaan awalnya sederhana, bahkan terkesan remeh: membersihkan kantor, menata ruangan, menyiapkan air minum untuk tamu. Tapi dari situlah perjalanan panjangnya dimulai. Tanpa sadar, tugas-tugas itu membawanya bersentuhan langsung dengan para kiai besar, ulama karismatik dari berbagai penjuru negeri. Setiap tegur sapa, setiap nasihat, menjadi guru kehidupan yang membentuk karakternya.

Tidak semua orang bisa bertahan di jalan sunyi pengabdian. Tapi Pak Kus punya modal penting: dukungan keluarga. Orang tuanya, istrinya, anak-anaknya — semuanya mengerti bahwa apa yang ia lakukan bukan sekadar pekerjaan, tapi ibadah. Meskipun hidupnya sederhana secara materi, doa dan semangat keluarga selalu membuatnya merasa cukup.

Bagi Pak Kus, keberkahan bukan diukur dari isi rekening, tapi dari hati yang tenang dan kebutuhan yang terpenuhi. “Kalau hati sudah ridha, hidup terasa lapang,” ujarnya, sebagaimana dalam liputan TVNU.

Melayani dengan Sepenuh Hati

Tugas Pak Kus di PBNU tidak berhenti di kantor. Ia juga kerap diminta mendampingi para kiai ke luar kota, membantu kebutuhan mereka selama perjalanan, memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Ia melakukannya bukan sekadar karena kewajiban, tapi karena merasa ini adalah amanah. Baginya, melayani ulama adalah bentuk khidmah yang tak ternilai.

Ia ingat betul, suatu kali harus menemani seorang kiai yang sudah sepuh ke acara di daerah. Sepanjang perjalanan, ia tak hanya menjadi sopir atau pengatur jadwal, tapi juga teman bicara, pendengar setia kisah-kisah perjuangan. Momen seperti itu yang membuatnya merasa pekerjaannya penuh makna.

Pengalaman Spiritual yang Menguatkan

Ada satu kisah yang tak pernah ia lupakan. Suatu malam di kantor PBNU, saat ia sendirian merapikan ruangan, tiba-tiba ia merasa seperti ada yang menepuk pundaknya. Bukan rasa takut yang muncul, tapi damai dan tenang. Dalam hati, ia merasa itu adalah bentuk dukungan dari para muassis NU, bahkan ia meyakini sentuhan itu berasal dari K.H. Hasyim Asy’ari. Pengalaman itu menjadi sumber kekuatan baginya untuk terus berkhidmat.

Selain itu, dorongan semangat dari para kiai sepuh PBNU yang penuh kasih sayang dan kesederhanaan membuatnya mantap melangkah. Terutama K.H. Miftachul Akhyar, Rais 'Aam PBNU - membuatnya mantap melangkah. Dari mereka, ia belajar tentang kesederhanaan, kasih sayang, dan bagaimana memimpin dengan hati.

Kedekatannya dengan Kiai Miftach menjadi salah satu anugerah terbesar dalam perjalanan hidupnya. Bagi Pak Kus, Kiai Miftach bukan hanya pemimpin, tapi guru kehidupan. Ia melihat sendiri bagaimana sang kiai bersikap rendah hati kepada siapa pun, peduli pada keluarga, dan tak segan membantu orang lain. Keteladanan inilah yang ia bawa pulang ke rumah, menjadi pedoman dalam mendidik anak-anaknya.

Tahun 2023 menjadi tahun istimewa. Allah memberinya kesempatan menunaikan ibadah haji. Perjalanan itu menjadi momen puncak spiritualnya, memperkuat tekad untuk terus mengabdi di jalan NU. Di hadapan Ka’bah, ia tak lupa mendoakan para ulama, keluarganya, dan semua yang pernah membantunya dalam pengabdian ini.

Pesan untuk Generasi Muda

Bagi generasi muda, khususnya generasi muda NU, Pak Kus punya pesan sederhana tapi dalam: “Bertahanlah. Istiqamah di jalan pengabdian. Ini bukan soal besar kecilnya peran, tapi soal keikhlasan hati. Pengabdian adalah jihad di jalan Allah.”

Ia percaya, NU bisa terus kokoh karena ada banyak orang yang bekerja diam-diam, menjaga dan melayani, tanpa berharap dikenal. Setiap senyum yang ia berikan, setiap langkah yang ia ambil, semuanya ia niatkan sebagai ibadah.

Kisah Pak Kus mengajarkan bahwa pengabdian sejati tidak selalu menuntut sorotan. Banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi penopang utama organisasi besar seperti NU, bekerja senyap di balik layar namun memberi dampak besar.

Ia juga menunjukkan betapa dukungan keluarga adalah bahan bakar utama dalam pengabdian; tanpa doa dan restu orang terdekat, sulit rasanya bertahan di jalan panjang ini. Kesederhanaan yang ia jalani justru melahirkan kelapangan hati, sebab ketenangan hidup bukan berasal dari harta, melainkan dari rasa syukur yang senantiasa dijaga.

Dan yang tak kalah penting, ia membuktikan bahwa spiritualitas dan pekerjaan dapat berjalan beriringan; pengalaman batin yang ia alami menjadi sumber kekuatan untuk menjaga langkahnya tetap lurus di jalan pengabdian.

Bagi saya pribadi, kisah Pak Kus adalah pengingat bahwa di balik gemerlap nama besar sebuah organisasi, selalu ada sosok-sosok yang tak pernah disebut dalam pidato atau terpampang di spanduk. Mereka bekerja dalam senyap, namun justru menjadi alasan roda perjuangan tetap berputar.

Mereka adalah pelita kecil yang setia menjaga cahaya, meski harus bertahan melawan angin yang kerap mencoba memadamkannya. Pak Kus mungkin bukan tokoh yang dikenali publik luas, tapi dedikasinya menorehkan jejak yang dalam di hati banyak orang.

Dan barangkali, di sanalah letak kemuliaannya — menjadi penerang tanpa pernah meminta untuk disorot, mengabdi bukan demi nama, melainkan demi cinta yang tulus. Sebab pada akhirnya, nama bisa terlupakan, namun cahaya dari hati yang tulus akan tetap tinggal — menerangi, bahkan saat pemiliknya telah tiada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun