Ada luka yang tidak terlihat tapi terasa di setiap helaan napas. Ada kesedihan yang tak bersuara tapi bergaung lama dalam dada. Itulah yang dialami Amira — seorang perempuan yang kehilangan lebih dari sekadar cinta. Ia kehilangan arah. Dan, dalam film Assalamualaikum Baitullah, kita diajak menelusuri luka demi luka yang perlahan diurai lewat perjalanan yang tak biasa: perjalanan ke tanah suci.
Disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu, di bawah naungan rumah produksi Visual Media Studio (VMS). Film yang tayang perdana pada 17 Juli dan diadaptasi dari novel karya Asma Nadia ini bukan sekadar drama romantis religi. Ia seperti lembar jurnal spiritual yang bergerak dalam gambar. Pelan tapi dalam. Sederhana tapi menghunjam.
Dari Rumah Tangga yang Renggang ke Tanah Suci yang Sunyi
Amira (yang diperankan oleh Michelle Ziudith) hidup dalam pernikahan yang awalnya tampak baik-baik saja bersama Pram (Miqdad Addausy). Tapi seperti banyak pasangan lain, ada hal-hal kecil yang dibiarkan mengendap hingga menjadi jurang.
Pram berubah, jadi dingin dan kaku. Ia mulai sering lembur kerja, tatapan tidak lagi menghangatkan, dan doa-doanya pun tak lagi saling mengaminkan. Amira mulai merasa dicintai bukan karena dirinya, tapi karena harapan yang tak kunjung ia wujudkan: anak.
Kita tahu, dalam banyak rumah tangga Indonesia, keinginan punya anak bisa jadi poros kegelisahan. Terutama untuk perempuan. Dan film ini menangkap itu dengan peka. Tanpa menyalahkan siapa pun, film ini justru memotret sisi rapuh dan resisten dari dua hati yang kehilangan arah.
Amira mempertimbangkan perceraian. Tapi bukan dari tempat marah. Melainkan dari titik letih. Di sinilah keputusannya untuk ke tanah suci lahir. Sebagai bentuk hijrah — bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah jiwa.
Di Tanah Haram, Amira Mencari Diri
Yang menarik dari film ini adalah bagaimana ia menggambarkan perjalanan spiritual bukan lewat adegan dramatis nan heboh, tapi melalui kesunyian yang panjang. Doa-doa yang lirih, hingga percakapan hati yang sunyi.
Kamera berjalan pelan mengikuti langkah Amira di pelataran Masjidil Haram, seakan mengajak kita ikut menyentuh dinding Ka’bah, bukan dengan tangan, tapi dengan luka.