“Tak ada tempat yang paling kurindu selain Baitullah. Sebab di sana jejak Ibrahim meneguhkan keesaan-Nya.”
- Asma Nadia | Assalamualaikum Baitullah
Ada buku yang hanya selesai dibaca, dan ada buku yang setelah selesai dibaca, justru mulai tinggal dalam jiwa. Assalamu’alaikum Baitullah adalah yang kedua. Sebuah novel dari Asma Nadia yang bukan hanya menggambarkan perjalanan ke Tanah Suci, tapi juga perjalanan jiwa menuju pulang.
Saat mendengar kabar bahwa buku ini akan segera diadaptasi ke layar lebar, perasaanku campur aduk antara haru dan antusias. Bukan hanya karena saya menyukai tulisannya, tapi karena kisah dalam buku ini terasa sangat dekat dengan realitas hidup banyak orang. Tak lama lagi, filmnya akan tayang di bioskop, dan saya percaya, akan banyak air mata jatuh karena rindu yang sama: rindu pada Baitullah.
Dari Lembah Ujian Menuju Lembah Kasih-Nya (Sebuah Sinopsis Singkat)
Amira Khadijah, tokoh utama novel ini, bukan hanya menghadapi satu-dua ujian. Ia dihadapkan pada kehancuran rumah tangga karena perselingkuhan, tekanan keluarga, penyakit, hingga kehilangan orang terkasih. Tapi justru dalam runtuhnya dinding-dinding dunia itu, sebuah jalan hidayah terbuka. Sebuah perjalanan haji menjadi titik balik segalanya.
Buku ini tidak sekadar narasi spiritual. Ia adalah potret kehidupan: tentang bagaimana luka bisa jadi pintu pulang, dan bagaimana Tuhan tidak pernah menutup jalan kembali bagi hamba-Nya yang benar-benar ingin berubah.
Amira bertemu dengan Barra — laki-laki yang prinsipnya sederhana tapi menggetarkan: “apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan sesuatu yang kucintai.” Tapi romansa mereka tidak dibalut dengan dramatisasi murahan. Hubungan mereka berkembang seiring perjalanan rohani, bukan sekadar cinta biasa, tapi cinta yang dewasa dan saling menuntun.
Mekah, Madinah, dan Potret Sejarah yang Hidup
Salah satu kekuatan utama novel ini adalah deskripsi Asma Nadia terhadap suasana Tanah Suci. Potongan sejarah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, hingga teladan Ummul Mukminin Khadijah, terselip di banyak sudut cerita. Membaca novel ini terasa seperti ikut dalam rombongan umrah, menghirup udara panas Mekah sambil merenungi makna tawaf, sa’i, dan munajat di Arafah.
Dan bagian yang paling menyentuh hati saya? Persahabatan Amira dan Sarah Aisyah. Tanpa hubungan darah, mereka justru lebih dari saudara. Dalam luka dan doa, mereka saling menyembuhkan. Saya sampai berharap, semoga Asma Nadia menulis buku khusus untuk kisah Sarah.
Bukan Sekadar Fiksi, Tapi Juga Refleksi