Wisuda adalah momen yang sering dirayakan dengan meriah. Ada air mata haru, peluk bahagia, ucapan selamat yang tak putus-putus. Tapi diam-diam, banyak yang menjadikannya sebagai garis akhir dari belajar.
Padahal, dalam ceramah Kiai Reza Ahmad Sahid —pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Jawa Timur — kita diingatkan bahwa menuntut ilmu itu ibadah yang tidak mengenal kata selesai. Ia bukan fase, bukan syarat pekerjaan, bukan urusan usia. Tapi jalan panjang menuju keberkahan, dari lahir sampai liang lahat.
Itulah mengapa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam (SAW) bersabda, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.” Dalam Islam, belajar bukan sekadar mengejar gelar. Ia adalah bentuk ibadah yang paling berkelanjutan dan paling mulia. Tapi kita hidup di zaman yang seolah membatasi ilmu hanya pada masa sekolah. Selebihnya, hidup dijalani dengan ilmu seadanya, bahkan kadang dengan kesombongan merasa sudah cukup tahu.
Kiai Reza mengingatkan bahwa belajar bukan hanya soal buku dan ceramah. Ia adalah pengasahan hati dan jiwa. Dan ilmu yang sejati adalah ilmu yang tidak hanya disimpan, tapi diamalkan dan dibagikan. Kalau hanya dikoleksi, ia tidak akan memberi cahaya. Justru bisa menjadi beban di akhirat kelak, karena ilmu yang tidak dimanfaatkan bisa menuntut pemiliknya.
Menariknya, dalam ceramah yang disiarkan secara daring melalui channel YouTube NU Online itu juga ditekankan bagaimana para ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menjaga ilmu seperti menjaga api yang menyala dalam gelap. Mereka belajar dalam kondisi yang sulit, sering kali dalam keterbatasan.
Tapi semangat mereka tidak padam, karena mereka tahu bahwa ilmu bukan untuk kesenangan dunia, melainkan penerang jalan hidup. Bahkan Imam Syafi’i sendiri mengakui bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Betapa erat hubungan antara kebersihan hati dan keberkahan ilmu.
Di sinilah pentingnya menjaga diri, bukan hanya untuk taat, tapi agar hati tidak menjadi gelap dan menolak cahaya ilmu. Kita bisa cerdas, bisa tahu banyak hal, tapi tetap merasa kosong jika ilmu itu tidak menumbuhkan kebijaksanaan. Sebab, ilmu sejatinya bukan soal berapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa dalam kita mengerti dan mengamalkannya.
Lalu muncul pertanyaan: setelah kita belajar, lalu untuk siapa? Jawabannya jelas: untuk semua. Karena menyebarkan ilmu atau nasrul ilmi bukan tugas guru, ustaz, atau dosen saja. Kiai Reza menegaskan, siapa pun yang telah mendapat ilmu, punya tanggung jawab untuk membagikannya. Bisa lewat dakwah, bisa lewat pengajaran, bisa juga lewat contoh dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sikap yang baik pun bisa menjadi jalan menyebarkan ilmu.
Kita hidup dalam budaya yang sering kali membingkai belajar hanya untuk masa muda. Padahal, orang tua pun tetap wajib hadir di majelis ilmu, tetap boleh belajar. Tidak ada istilah "terlambat belajar" dalam Islam. Justru semakin bertambah usia, kita harus semakin giat mencari makna. Sebab hidup tak pernah berhenti menguji kita, dan hanya dengan ilmu kita bisa menjawabnya dengan benar.
Ironisnya, ada yang merasa cukup hanya karena pernah belajar. Merasa cukup hanya karena pernah mondok, pernah kuliah, atau pernah ikut pelatihan. Padahal ilmu itu seperti air — kalau tidak terus mengalir, ia akan keruh. Dan kalau kita tidak menambah ilmu, kita pelan-pelan akan kembali pada kebodohan, meski kita tidak menyadarinya.