Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jika Mereka Membenci Bapakku, Haruskah Aku Juga Dibenci?

14 Juli 2025   09:00 Diperbarui: 14 Juli 2025   09:00 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang remaja menulis dengan ekspresi sedih di tengah foto-foto lama keluarga. Refleksi emosional tentang luka dan kenangan. (Foto: Meta AI.)

Ada pertanyaan yang terus mengusik batin saya: "Jika mereka membenci bapakku, haruskah aku juga dibenci?" Pertanyaan itu bukan sekadar ungkapan emosional. Ia muncul dari pengalaman nyata, dari hubungan yang renggang dengan beberapa saudara, bukan karena kesalahan saya, tapi karena sejarah masa lalu yang melibatkan orang tua saya. Tepatnya, bapak.

Saya menyadari bahwa beliau bukan orang sempurna. Seperti banyak manusia lainnya, bapak juga punya kekurangan, keputusan yang mungkin menyakitkan bagi sebagian orang. Tapi kini, ketika beliau sudah tiada, saya bertanya-tanya, kenapa rasa tidak suka itu masih diturunkan kepada saya? 

Padahal saya bukan bapak. Saya tidak pernah terlibat dalam konflik-konflik itu. Saya hanyalah anak yang ingin tetap menjaga hubungan baik. Lagi pula bapak tidak melulu salah. Ada kalanya memang beliau harus menolak jika sesuatu itu memang tidak benar dan tidak baik.

Namun, beberapa dari mereka memilih untuk cuek, menjauh, bahkan bersikap dingin ketika kami bertemu. Awalnya saya kira itu hanya perasaan saya saja. Tapi semakin sering terjadi, saya tak bisa lagi menepisnya. Saya datang bukan membawa dendam, justru membawa niat untuk menjalin kembali. Tapi ketika niat itu ditolak secara halus, saya mulai meragukan, apakah saya salah kalau kemudian memilih untuk menjaga jarak?

Ini terjadi tidak sekali atau dua kali, bahkan hampir setiap bertemu. Saya sudah melapangkan hati untuk menerima dan berusaha menjadi versi terbaik dari diriku. Setiap berjumpa selalu bertegur sapa, basa-basi seperti menanyakan kabar, menawarkan makanan atau minuman pun tak pernah lupa. Melepas senyum taat kali bertatap muka. Tapi, anehnya hal-hal tersebut tidak juga cukup. Justru tatapan sinis dan kalimat pesimis yang kerap telinga saya dengar, baik dari bisik-bisik maupun secara langsung.

Saya paham, bahwa dalam budaya kita, keluarga adalah segala-galanya. Kita diajarkan untuk menghormati yang tua, menjaga silaturahmi, bahkan ketika itu menyakitkan. Tapi sampai kapan saya harus memaksakan hadir di tengah mereka yang tak benar-benar menerima? Sampai kapan saya harus tersenyum dalam ruang yang penuh sindiran dan luka tersembunyi?

Saya percaya, tidak semua luka harus dibalas. Tapi juga tidak semua luka harus diulang. Jika kehadiran saya justru memicu mereka mengungkit masa lalu yang saya sendiri tak punya peran di dalamnya, bukankah itu bentuk kekejaman emosional yang terselubung? Lalu, salahkah jika saya memilih untuk menjaga kewarasan hati saya sendiri?

Sebagian orang akan mengatakan, "Ah, itu hanya perasaanmu saja, jangan baper." Tapi mereka tak tahu, rasanya menjadi seseorang yang selalu berusaha diterima, tapi terus ditolak. Mereka tak paham, bagaimana sulitnya menjaga hati agar tidak terbakar oleh api dendam yang mulai menyala karena terus dipancing.

Saya tidak ingin membalas. Tidak ingin berkata buruk. Tapi saya juga tidak ingin berpura-pura. Karena memaafkan bukan berarti harus terus hadir di meja yang tak menyediakan tempat untuk kita. Kadang, menjaga jarak adalah bentuk penghormatan pada diri sendiri, dan pada mereka juga - agar tidak saling menyakiti lebih jauh.

Sebagai generasi baru, saya tidak ingin mewarisi kebencian. Kalau pun bapak saya pernah bersalah, biarkan itu menjadi pelajaran, bukan senjata untuk menyerang anak-anaknya. Saya tumbuh dengan banyak nilai - beberapa saya warisi dari bapak, beberapa saya pelajari sendiri. Saya tahu mana yang baik dan buruk. Saya tahu mana yang perlu diteruskan dan mana yang harus dihentikan di saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun