Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Penyuka warna biru yang demen kopi hitam tanpa gula | suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Kurma, Zam-Zam, dan 28 Kilometer Cinta dari Tanah Suci

13 Juli 2025   11:59 Diperbarui: 13 Juli 2025   11:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidangan khas Timur Tengah: kurma, kacang Arab, buah segar, disuguhkan hangat saat menjenguk tamu haji. (Sumber foto: dokpri.)

Beberapa hari lalu, aku ikut menemani kakakku menjenguk teman sejawatnya — sesama guru — yang baru saja kembali dari Tanah Suci setelah menunaikan ibadah haji. Kami memanggilnya Mami Yus, dan suaminya Bapak Arif. Sejak mendengar kabar bahwa kami akan berkunjung, rasanya aku sudah tak sabar. Ada rasa senang yang sulit dijelaskan, karena diam-diam aku punya mimpi besar: suatu hari nanti, aku juga ingin berada di sana. Di tanah para nabi. Di tempat yang sejak kecil aku sebut-sebut dalam doa.

Di rumah sederhana itu, kami disambut hangat. Suasananya ramai namun penuh keteduhan. Dengan hidangan makanan khas Timur Tengah: kurma legit, kismis manis, kacang arab, dan beberapa buah tangan dari Tanah Suci - menjadi teman lesehan pagi itu. Kakakku mendapat air zam-zam asli dari towernya di Mekkah dalam botol kecil 100 ml, juga kurma pilihan yang dibeli langsung di sana, serta tasbih digital sebagai oleh-oleh eksklusif dari Mami Yus dan Bapak Arif.

Aku pun kebagian sesuatu yang istimewa: sebuah tasbih. Aku tak tahu terbuat dari apa, tapi butiran tasbih itu memiliki perpaduan warna hitam, putih, cokelat tua, dan cokelat susu. Di bagian pangkalnya ada ornamen seni dengan sentuhan islami, dan di ujungnya tergantung bentuk menyerupai bulan sabit seperti yang biasa kita lihat di atas kubah masjid.

Tasbih itu diberikan langsung padaku oleh Mami Yus. Bukan karena aku istimewa, mungkin hanya karena aku hadir. Tapi entah kenapa, rasanya seperti hadiah dari Allah.

Namun, oleh-oleh terpenting hari itu bukanlah benda, melainkan cerita. Khususnya ketika Mami Yus menceritakan pengalaman mereka saat puncak ibadah haji.

Puncak ibadah haji adalah momen terpadat, paling melelahkan, dan paling sarat makna dalam seluruh rangkaian haji. Di sanalah para jamaah harus melaksanakan wukuf di Arafah, bermalam atau mabit di Muzdalifah, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melontar jumrah, hingga akhirnya melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram.

Dari semua itu, ada satu bagian yang membuat aku terdiam cukup lama: perjalanan kaki sejauh 28 kilometer dalam satu hari. Itu bukan angka yang kecil. Bayangkan, 28 kilometer dengan suhu yang mencapai 51 derajat Celsius. Bukan karena tidak ada kendaraan, tapi karena manusia tumpah ruah hingga mobil-mobil tidak bisa bergerak. Jika menunggu mobil bisa-bisa memakan waktu hingga 8–9 jam lamanya. Maka, satu-satunya jalan adalah berjalan kaki.

Mami Yus dan Bapak Arif melakukannya dengan sabar. “Secara logika, ya nggak mungkin kuat,” begitu kata mereka. Tapi justru di situlah letak ujian dan keajaiban dari ibadah haji. Sebanyak apa pun uang yang kamu punya, kalau Allah belum izinkan, kamu tidak akan bisa lewat. Ini bukan tentang siapa yang paling kuat atau paling kaya, tapi siapa yang paling tulus dan sabar.

Dari cerita itu aku merasa, ibadah haji memang bukan sekadar ritual. Ia adalah latihan total: hati, fisik, dan niat diuji secara bersamaan. 

Bapak Arif bahkan sempat kehilangan jejak Mami Yus saat sedang tawaf. Ia bercerita bahwa sebelumnya ia sempat membatin ketika melihat pasangan lain yang berjalan agak berjauhan. Dalam hati ia bertanya, “Nggak takut pisah ya?” Dan ternyata, ia sendiri yang justru terpisah dari istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun