Setiap tahun, lampu gemerlap dan dentum budaya Lampung berkumandang di tengah rindu akan sejarah dan keindahan alam: itulah Festival Krakatau. Acara yang lahir untuk mengenang letusan dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883, kini telah melewati lebih dari tiga dekade - menghadirkan dialog antara masa lalu dan masa depan, manusia dan alam, serta kesadaran lokal dan ambisi global.
Festival ini pertama kali digelar pada awal 1990-an sebagai bentuk penghormatan atas peristiwa epik meletusnya Krakatau dan tsunami yang mengguncang dunia. Letusan tersebut tak hanya memporak-porandakan wilayah sekitarnya, tapi juga menorehkan nama Lampung sebagai saksi bisu kekuatan alam. Sejak itu, Festival Krakatau menjadi ajang tahunan yang menyeimbangkan edukasi, budaya, dan perayaan.
Kini, festival ini bukan hanya tentang sejarah, tapi juga regenerasi identitas dan ekonomi kreatif. Dinas Pariwisata Lampung menjadikan acara ini bagian dari “Kharisma Event Nusantara” - event nasional yang terbuka bagi kolaborasi, edukasi, dan komunitas kreatif.
Tahun ini, Festival Krakatau ke-34 diadakan 1–6 Juli 2025. Pusat perayaannya berada di Lapangan Korpri dan Komplek Kantor Gubernur Lampung. Adapun agenda utamanya:
- Festival Kani’an: bazar kuliner dan kolaborasi bersama food blogger
- Pameran UMKM Parekraf: produk lokal dan kerajinan inovatif
- Lomba Sambal Seruit: sambal khas plus atraksi busana adat
- Krakatau Run: olahraga yang menyatu dengan promosi wisata
- Lampung Mask Street Carnival: parade topeng dan tapis
Panitia menyediakan 2.500 voucher makan & wisata gratis, yang bisa diambil pada Sabtu, 5 Juli 2025 mulai pukul 13.00 wib di lokasi. Door prize ini bentuk apresiasi untuk antusiasme publik.
Dari Sensasi hingga Simbolisme
Menyaksikan Mask Street Carnival tahun lalu serasa menonton film budaya hidup: topeng tuping, penari tapis, dan masyarakat yang larut dalam kebanggaan. Musik gamelan berpadu marching band membentuk simfoni identitas. Festival ini seperti panggilan lembut: “Inilah akar kita.”
Bagi saya pribadi, festival ini bukan hanya tontonan, tapi juga tuntunan. Di tengah dunia yang makin terfokus pada konten seragam dan tren instan, Festival Krakatau mengingatkan saya bahwa kearifan lokal tidak pernah usang - ia hanya butuh panggung yang tepat untuk kembali bersinar. Saya belajar bahwa budaya bukan sekadar artefak masa lalu, tapi juga energi hidup yang bisa menginspirasi masa depan. Melihat anak-anak menari dengan tapis, atau generasi muda mencicipi sambal seruit sambil mengunggahnya ke media sosial - itu artinya jembatan antara tradisi dan modernitas sedang terbangun.
Trip Krakatau memberi pengalaman spiritual-geologis - melihat Anak Krakatau yang lahir dari abu mati, bagaikan simbol harapan. Sementara sambal seruit dan bazar UMKM menunjukkan bahwa budaya juga bisa dinikmati lewat rasa dan karya.
Dengan adanya keseimbangan sejarah, budaya, dan ekonomi menjadikan festival ini istimewa. Belum lagi kolaborasi publik-swasta untuk kemandirian, edukasi bencana dan alam terbuka, dan branding Lampung sebagai destinasi budaya dan geowisata.