Alhamdulillah. Dua hari lalu, aku dan Mama akhirnya kembali menjejak tanah yang bagi beliau menyimpan banyak sekali kenangan: kampung halamannya di Selagai Lingga, Lampung Tengah. Meski perjalanan memakan lebih dari satu jam dengan sepeda motor, dan bayang-bayang hujan mengejar sepanjang jalan yang berbatu dan terasa seperti menempuh punggung gunung, ada semacam semangat aneh yang menyertai. Barangkali karena rindu yang sudah lama menetap. Atau mungkin karena keinginan dalam hati untuk menyambangi seseorang yang baru pulang dari rumah sakit setelah operasi di kepalanya: Abati Nurlis, paman dari jalur ibu.
Namun bukan hanya itu. Ada rindu lain yang juga ingin aku temui: Fadlan, sepupu kecilku. Ia bukan anakku, tapi jarak usia kami yang terpaut jauh menjadikan pelukannya seperti pelukan anak kepada sosok yang dipercaya. Senyumnya, entah mengapa, mencuri perhatianku. Ada cahaya di sana - cahaya yang belum bisa kupahami, tapi cukup kuat untuk membuatku ingin mengulang waktu.
Kami tiba beberapa menit sebelum hujan benar-benar turun dan membasahi halaman rumah yang ditumbuhi rumput jepang - rapi, teduh, dan sudah akrab menjadi tempat rebahan kaki-kaki kecil para keponakan saat bermain. Saat adzan mulai menggema dari surau kecil tak jauh dari rumah, udara berubah dingin. Di sanalah cerita sederhana dimulai - tentang mujair bakar, tawa sepupu, dan tangan-tangan penuh cinta yang menyajikan rasa paling hangat dari dapur-dapur kampung.
Tak lama setelah hujan turun, Usuf - sepupuku - pulang dengan baju basah dan seikat ikan di tangannya. Ia menangkapnya di kali kecil yang sedang surut - tak jauh dari belakang rumah, tanpa jala, tanpa pancing. Hanya dengan kedua tangan kosong, seperti bagaimana Abatinya dulu sering lakukan. Ada semacam keistimewaan di sana, bukan sekadar soal teknik, tapi tentang keberanian menyatu dengan alam yang sejak kecil sudah akrab.
Beberapa ekor mujair yang ia bawa kami bersihkan dan bakar perlahan di tungku dapur. Aroma asap mulai menari di udara, bercampur dengan suara parutan tempoyak dan ulekan sambal yang sedang digarap di dapur belakang. Hari itu, seruit disiapkan bukan hanya sebagai makanan, tapi semacam perayaan kecil untuk kehadiran - untuk pulihnya Abati, untuk tawa anak-anak, dan untuk rindu-rindu yang akhirnya berlabuh.
Kami duduk bersila mengelilingi tikar yang digelar di ruang tengah. Tak ada meja, hanya kehangatan yang dibentangkan bersama makanan khas yang penuh makna: seruit Lampung. Seruit bukan sekadar sajian, melainkan tradisi rasa yang diwariskan - perpaduan ikan bakar, sambal terasi yang digerus bersama tempoyak durian, daun singkong rebus, lalapan jengkol, terong goreng yang mekar hangus di tepinya, dan potongan timun segar. Sederhana, tapi cukup untuk menyatukan hati yang tersebar di berbagai arah hidup.
Tak jauh dari tempat kami berkumpul, Abati duduk di sisi kasur tempat beliau biasa berbaring. Geraknya masih terbatas, tapi dari wajahnya tampak jelas - ada cahaya pulih yang mulai kembali. Beliau makan dengan lahap, menyuapkan ikan dan sambal ke mulutnya dengan semangat yang tak dibuat-buat. Lati, istrinya, sempat berseloroh, “Makannya makin lahap karena keponakannya datang. Rindunya terobati...” katanya sambil tertawa ringan. Aku tersenyum malu, tak banyak menanggapi. Hanya mengaminkan dalam hati, diam-diam.
Sesekali Abati menatap ke arahku, lalu tersenyum kecil. Tak ada banyak bicara, tapi dari sorot matanya, aku tahu: ada rasa yang sama-sama kami simpan dalam sunyi. Aku pun tak pandai banyak bertanya atau menyapa; aku terbiasa menyembunyikan cinta lewat hal-hal kecil - doa yang tak pernah disuarakan, dan perhatian-perhatian halus yang mungkin hanya aku dan orang itu yang tahu maknanya.
Hari itu, tak ada pesta, tak ada perayaan besar. Tapi hati terasa penuh. Karena dalam ruang sederhana itu, kami semua berkumpul bukan hanya untuk makan, tapi untuk merayakan kehadiran, kesehatan, dan rindu-rindu yang diam-diam akhirnya menemukan tempat untuk pulang.
Saat itu aku teringat sosok Bati (Almarhum Bapakku). Tentang lima hari yang dulu kuhabiskan bersamanya setiap kali pulang dari perantauan. Tentang seruit yang kami nikmati kala malam hari ditemani lampu cabe sebagai penerangnya, dan bagaimana ia dengan diam-diam selalu memastikan lauk di piringku cukup - bahasa cinta yang sunyi, tapi tak pernah absen dari ingatanku.