Di antara sekian banyak makanan berkuah santan di Nusantara, Gulai Taboh punya tempat tersendiri - khusus, sederhana, tapi membekas. Bukan karena tampilannya yang mencolok atau aromanya yang menusuk hidung, tapi karena satu hal yang tak bisa digantikan: rasa rumah.
Bagi masyarakat Lampung, Gulai Taboh bukan sekadar makanan tradisional. Ia adalah lambang kehangatan keluarga, lambang kesederhanaan yang kaya rasa, dan sajian yang selalu berhasil menyatukan semua orang di meja makan. Tidak pedas menyengat seperti gulai Padang, tidak pula terlalu rempah seperti opor Jawa. Ia tenang, lembut, dan bersahabat - seperti pelukan di sore hari.
Sajian Wajib Saat Kumpul Keluarga
Gulai Taboh punya banyak variasi. Ada yang menggunakan ikan asap, kacang-kacangan seperti kacang hijau atau kacang tolo, daun kemangi, kadang juga diberi daun tangkil (melinjo muda), kacang panjang, jagung atau labu siam yang dipotong kecil-kecil. Semua dimasak dalam kuah santan encer yang lembut, berpadu dengan bawang, lengkuas, daun salam, dan bumbu sederhana lainnya. Tapi justru kesederhanaan itulah yang menjadi kekuatannya.
Di rumah kami, Gulai Taboh hampir selalu hadir saat ada acara besar: entah itu syukuran, lebaran, hajatan, atau sekadar kumpul keluarga saat akhir pekan panjang. Biasanya Ibu sudah mulai menyiapkan sejak pagi, dan aromanya akan menyebar ke seluruh rumah menjelang siang.
Aku paling suka saat Ibu memasak versi Gulai Taboh dengan ikan mas atau nila dan kacang panjang. Karena hanya ikan itu yang menjadi favoritku. Perpaduan gurihnya kuah santan dengan aroma khas ikan mas maupun nila benar-benar memikat. Satu piring nasi hangat dengan satu sendok besar kuah gulai dan potongan ikan cukup untuk membuat siang itu terasa lebih lama, lebih tenang.
Hangatnya Kebersamaan Keluarga - Duduk Lesehan Bersama
Alhamdulillah, kemarin sore bisa kembali berkunjung membersamai Mama ke kampung halamannya di Selagai Lingga, Lampung Tengah. Yang tadinya niat dari rumah hanya untuk silaturahmi, malah jadi minep secara dadakan. Tapi di sinilah momen kebersamaan dan kehangatan keluarga akhirnya muncul.
Para sepupu di kampung menyambut riang kedatangan kami, kebetulan juga mereka memang lagi kumpul keluarga, sepupu yang merantau di Bandung juga lagi pulang.Â
Sore menjelang maghrib kami duduk melingkar di atas tikar persegi, mengelilingi hidangan yang telah disiapkan sejak kedatangan kami. Dari lalapan, sambal seruit, hingga gulai taboh tersaji. Namun, mataku terpana dengan gulai taboh yang letaknya tak jauh dari tempat dudukku.
Langsung saja aku sendok gulai taboh itu. Saat kuah pertama menyentuh lidah, aku menutup mata sebentar. Rasa itu seperti membuka jendela ke masa kecil - siang hari di rumah, kipas angin memutar pelan, Ibu menyendokkan gulai ke piring sambil berkata, "Nanti tambah lagi kalau masih lapar ya."
Tak Perlu Rumit untuk Berarti
Yang selalu kusukai dari Gulai Taboh adalah kesederhanaannya. Ia tidak memakai banyak bahan, tidak butuh teknik memasak rumit, tapi hasilnya selalu kaya rasa. Ia mengajarkan satu hal penting: kebaikan tidak perlu ribet. Begitu juga dengan kehangatan keluarga - cukup dengan waktu bersama dan makanan rumahan, kita bisa merasa utuh kembali.
Gulai Taboh juga jadi pengingat bahwa makanan tradisional punya nilai lebih dari sekadar gizi. Ia menyimpan cerita, melekatkan identitas, dan merawat ingatan. Tak heran, meski sekarang tinggal jauh dari rumah, aku masih sering mencari jejak gulai ini. Entah di warung-warung khas Lampung, atau lewat cerita-cerita teman seperantauan yang rindu masakan ibunya.
Setiap daerah punya makanan yang bisa jadi simbol rumah. Dan buatku, Gulai Taboh adalah salah satunya. Ia bukan makanan yang bisa ditemukan di semua restoran atau mall. Tapi justru karena itu, ketika bertemu dengannya, kita tahu bahwa kita sedang di tempat yang tepat.
Kini, setiap kali pulang kampung dan melihat Ibu mulai menyiapkan gulai di dapur, aku tahu satu hal: ini bukan hanya soal makan siang. Ini tentang waktu. Tentang kenangan yang disajikan kembali dalam semangkuk kuah santan hangat, dan tentang cinta yang tak pernah mengucap, tapi selalu hadir di meja makan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI