Langsung saja aku sendok gulai taboh itu. Saat kuah pertama menyentuh lidah, aku menutup mata sebentar. Rasa itu seperti membuka jendela ke masa kecil - siang hari di rumah, kipas angin memutar pelan, Ibu menyendokkan gulai ke piring sambil berkata, "Nanti tambah lagi kalau masih lapar ya."
Tak Perlu Rumit untuk Berarti
Yang selalu kusukai dari Gulai Taboh adalah kesederhanaannya. Ia tidak memakai banyak bahan, tidak butuh teknik memasak rumit, tapi hasilnya selalu kaya rasa. Ia mengajarkan satu hal penting: kebaikan tidak perlu ribet. Begitu juga dengan kehangatan keluarga - cukup dengan waktu bersama dan makanan rumahan, kita bisa merasa utuh kembali.
Gulai Taboh juga jadi pengingat bahwa makanan tradisional punya nilai lebih dari sekadar gizi. Ia menyimpan cerita, melekatkan identitas, dan merawat ingatan. Tak heran, meski sekarang tinggal jauh dari rumah, aku masih sering mencari jejak gulai ini. Entah di warung-warung khas Lampung, atau lewat cerita-cerita teman seperantauan yang rindu masakan ibunya.
Setiap daerah punya makanan yang bisa jadi simbol rumah. Dan buatku, Gulai Taboh adalah salah satunya. Ia bukan makanan yang bisa ditemukan di semua restoran atau mall. Tapi justru karena itu, ketika bertemu dengannya, kita tahu bahwa kita sedang di tempat yang tepat.
Kini, setiap kali pulang kampung dan melihat Ibu mulai menyiapkan gulai di dapur, aku tahu satu hal: ini bukan hanya soal makan siang. Ini tentang waktu. Tentang kenangan yang disajikan kembali dalam semangkuk kuah santan hangat, dan tentang cinta yang tak pernah mengucap, tapi selalu hadir di meja makan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI