"Kehidupan ini seperti daun yang jatuh. Biarlah angin yang menerbangkannya."
 - Tere Liye, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Ada cinta yang tumbuh bukan dari gombalan, bukan pula dari janji manis. Ia tumbuh perlahan, dari kehadiran yang konsisten, dari kebaikan yang tidak bersyarat, dari tangan yang tidak pernah menuntut imbalan. Tapi justru cinta yang seperti itulah - cinta yang sunyi, jujur, dan sederhana - seringkali harus dilepaskan, bukan dimiliki. Itulah cinta yang digambarkan Tere Liye dalam novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin", sebuah kisah menggetarkan tentang syukur, kehilangan, dan perasaan yang tak pernah bisa diucapkan tepat waktu.
Ketika Malaikat Tak Bersayap Bernama Danar Datang
Tania kecil hidup dalam kemiskinan bersama ibu dan adik laki-lakinya, Dede. Mereka tinggal di rumah kardus, bertahan hidup dari mengamen, dan harus merelakan pendidikan karena himpitan ekonomi. Dalam keadaan yang nyaris putus asa, muncullah sosok Danar, seorang pria dewasa yang hadir seperti malaikat. Ia bukan kerabat, bukan teman lama - hanya seorang asing yang memiliki empati begitu besar.
Danar menawarkan mereka bukan hanya pertolongan finansial, tetapi juga harapan. Ia menyekolahkan Tania dan Dede, membantu ekonomi keluarga, bahkan menjadi sosok ayah dan pelindung yang selama ini absen dalam hidup mereka. Pada titik itu, kehidupan Tania berubah selamanya.
Seiring bertambahnya usia, Tania mulai menyadari bahwa perasaannya pada Danar bukan hanya sekadar rasa hormat atau terima kasih. Ia mulai jatuh cinta. Cinta yang tumbuh dari kekaguman, dari rasa aman, dari kedekatan emosional yang dalam. Tapi, seperti yang bisa ditebak, perasaan itu rumit.
Danar jauh lebih tua. Danar sudah menjalani kehidupannya sendiri. Bahkan sang ibu pun memperingatkan bahwa rasa itu hanya akan membuat segalanya jadi sulit. Tapi apakah perasaan bisa dikendalikan semudah itu? Tentu tidak.
Perasaan Tania adalah hasil dari luka dan kesepian yang tak pernah benar-benar sembuh. Dan Danar adalah satu-satunya cahaya yang pernah menyinari ruang gelap dalam hidupnya.
Tere Liye menulis novel ini dengan gaya narasi orang pertama yang sangat intim. Menggunakan sudut pandang Tania, kita diajak masuk ke dalam hatinya. Membaca buku ini seperti membaca buku harian - penuh perasaan, terkadang naif, kadang marah, sering kali patah. Tapi semuanya terasa nyata.
Ketika sudut pandang berganti ke narator atau sudut pandang orang ketiga, pembaca diajak untuk menilai situasi secara lebih objektif. Di titik inilah pembaca sadar bahwa perasaan Tania, walau tulus, tetap tidak ideal. Gap usia, perbedaan posisi sosial, dan dinamika emosi membuat hubungan mereka mustahil untuk diterima logika, meski bisa dipahami oleh hati.
Meski bertema cinta, novel ini sebenarnya menyampaikan pesan yang jauh lebih besar dan mendalam:
*) Tentang berterima kasih. Tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita akan tinggal selamanya. Tapi itu tidak menghapus jasa dan kebaikan mereka.
*) Tentang memaafkan. Memaafkan bukan hanya untuk orang lain, tapi terutama untuk diri sendiri - agar bisa hidup tanpa beban.
*) Tentang melepaskan. Karena tidak semua cinta harus memiliki. Kadang, cinta sejati justru diuji ketika kita mampu mengikhlaskan orang yang paling kita sayangi demi kebaikan bersama.