Mohon tunggu...
Disisi Saidi Fatah
Disisi Saidi Fatah Mohon Tunggu... Blogger

Cendekia Al Azzam - Suka mengabadikan perjalanan melalui tulisan untuk dikenang di kemudian hari | Suka Buku dan Film

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Toxic Parenting Sering Tak Disadari Orang Tua

9 Juni 2025   07:49 Diperbarui: 9 Juni 2025   07:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang tua yakin bahwa mereka sudah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun, tanpa disadari, ada pola asuh yang justru bisa melukai mental anak dalam diam. Dalam program Ruang Tengah bersama CariUstadz.id, Sekar Ratnaningtyas mengajak para orang tua untuk membuka mata soal toxic parenting, atau pola asuh beracun, yang kerap dianggap "biasa" namun menyisakan luka dalam.

Toxic parenting bukan semata kekerasan fisik. Ia bisa hadir dalam bentuk kata-kata kasar, perbandingan negatif antar saudara, tekanan berlebihan, atau ekspektasi tinggi yang tak sesuai dengan kenyataan. Luka yang ditinggalkan bukan hanya sesaat, tapi bisa tumbuh menjadi trauma dan ketidakpercayaan diri yang menetap hingga dewasa.

Yang menarik, Sekar menekankan bahwa pola asuh seperti ini seringkali merupakan warisan. Orang tua masa kini tumbuh dalam asuhan orang tua zaman dulu yang keras, dan tanpa refleksi, mereka bisa dengan mudah meneruskan siklus itu. Apa yang dulu dianggap "tegas", kini kita tahu bisa berdampak buruk pada mental anak.

Namun, ini bukan tentang menyalahkan generasi sebelumnya. Ini tentang kesadaran. Kesadaran bahwa zaman berubah. Anak-anak hari ini tumbuh di lingkungan yang jauh berbeda, dengan tantangan dan tekanan yang tak sama. Maka, cara mendampingi mereka pun harus beradaptasi. Refleksi terhadap pola asuh masa lalu adalah langkah awal memutus rantai.

Sekar juga mengingatkan bahwa anak bukan cermin impian orang tua. Banyak orang tua yang, tanpa sadar, memaksakan ambisi pribadi yang belum tercapai ke anak. Anak dituntut menjadi "hebat" bukan karena itu yang mereka inginkan, tapi karena itu yang diharapkan orang tua. Di sinilah letak bahaya yang halus: anak kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Setiap anak lahir dengan karakter unik. Ada yang aktif, ada yang tenang. Ada yang cepat menyerap pelajaran, ada yang butuh pendekatan khusus. Tugas orang tua bukan menyeragamkan, tapi memahami dan merawat keunikan itu. Dengan begitu, potensi anak bisa tumbuh tanpa tekanan yang tak perlu.

Menjadi orang tua memang bukan tugas mudah. Ini proses panjang yang butuh kesabaran, pembelajaran, dan pengendalian emosi. Kita tidak dituntut sempurna, tapi kita diajak untuk terus belajar. Mengasuh anak bukan hanya soal mengatur, tapi membangun hubungan yang sehat dan penuh cinta.

Dan di tengah semua usaha itu, Sekar mengajak para orang tua untuk tak lupa pada kekuatan doa. Dalam segala tantangan dan kekhawatiran, bersandar kepada Allah adalah sumber ketenangan yang tak tergantikan. Doa dan tawakal bukan pelarian, tapi penguat langkah dalam mendampingi proses tumbuh kembang anak.

Toxic parenting memang nyata, dan lebih sering tak disadari. Tapi kabar baiknya: kesadaran adalah awal dari perubahan. Dengan membuka hati dan pikiran, orang tua bisa membangun rumah yang sehat secara emosi - tempat anak-anak tumbuh bahagia, dihargai, dan dicintai apa adanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun