Mohon tunggu...
Muammar Nur Islami
Muammar Nur Islami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembaca Buku

Lahir di Kembang Kerang Daya Aikmel Lombok Timur. Saat ini sedang menyelesaikan belajar di salah satu perguruan tinggi di Kota Malang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Beragama Membuat Saya Membenci Sesama? (Refleksi Pribadi)

25 Februari 2017   08:18 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:00 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melalui Aksi bela Islam berjilid-jilid beberapa waktu lalu bisa kita saksikan bagaimana kecintaan umat Islam terhadap agamanya masih kuat. Bagaimana tidak? Ratusan, bahkan ribuan orang bisa berkumpul bersama dengan satu agenda; membela Agama yang dianggap telah dinistakan.

Penulis tidak pungkiri, bahwa aksi bela Islam tersebut tidaklah murni berangkat dari perasaan merasa terhina oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) karena ucapannya yang dianggap mennista agama Islam. Beberapa orang dan kelompok justru memanfaatkan momentum ini hanya untuk kepentingan pribadi dan kelommpok saja. Sama sekali bukan untuk membela agama, tapi membela hawa nafsu sendiri.

Bukanlah rahasia lagi jika aksi tersebut kemudian dimanfaatkan dan dipolitisir. Oleh karenanya, motif setiap orang yang mengikuti aksi tersebut pastinya beragam. Ada yang benar-benar berangkat dari perasaan membela agama tercinta karena merasa kitab sucinya dinistakan. Ada yang berangkat untuk kepentingan politis, menjatuhkan elektabilitas salah seorang paslon walikota DKI yang sedang bertarung (walaupun pada akhirnya kita tahu mereka gagal), bahkan ada juga yang memanfaatkan momen aksi ini untuk unjuk gigi dan merebut simpati masyarakat muslim untuk menunjukkan bahwa kelompoknya adalah yang paling benar dan paling depan dalam membela agama Allah swt. Semoga anda masuk golongan pertama yang disebut di atas.

Saya tidak ingin membicarakan, apakah Islam sebagai agama mayoritas rakyat Indonesia ini telah dinistakan hanya karena ucapan seorang Ahok yang fenomenal itu atau tidak. Banyak para alim ulama, cendikiawan dan sarjana muslim yang lebih mumpuni telah mengupas panjang lebar hal ini.

Apa penjelasan yang begitu panjang itu belum lah jelas? Anda menemukan perbedaan pendapat? Jika demikian adanya, mari mencari penjelasan mana yang lebih pas bagi kita. Saran saya, pertama lepaskan diri anda dari argumentasi pribadi atau golongan (argumen awal). Bukalah pintu lain dalam diri anda untuk menerima argumen lain selain argumentasi pribadi tadi. Coba bandingkan, argumentasi mana yang rasanya lebih pas, kena, dan tentu saja sesuai dengan ajaran Islam. Masih belum bisa menentukan? Jika demikian, tutuplah mata anda, renungkan setiap penjelasan yang berbeda tersebut, kemudian gunakanlah senjata kemanusiaan anda, sebuah senjata yang Rendra sebut sebagai “Hakim Adil”, Hati nurani.

Tulisan ini hanya mengajak saudara seiman, untuk kembali sedikit saja merenungi ke-Islam-an kita. Sebuah tulisan reflektif, muhasabahan-nafs dalam bahasa agamanya.

Beberapa waktu belakangan ini, kita (umat Islam) dihadapkan pada perdebatan dan pertikaian yang mengancam persatuan; ukhuwahIslamiyah kita. Seorang muslim membenci saudaranya semuslim hanya karena perbedaan pilihan politik. Tidak tanggung-tanggung, cap dan label kafir, munafik, antek komunis, serta cap-cap buruk lainnya dilimpahkan pada orang yang berbeda pendapat dengannya. Padahal orang itu juga adalah seorang muslim, saudaranya sendiri! Ada apa dengan keber-Islam-an kita? Mengapa beragama membuat kita saling membenci dan memusuhi?

Apakah kata “Awliya” dalam ayat-ayat yang sering didengarkan pada kita itu berarti pemimpin? Sehingga memilih pemimpin dengan KTP islam adalah sebuah keharusan dalam beragama? Ataukah, kata tersebut berarti kekasih, atau teman karib sehingga ayat tersebut tidak berkaitan dengan kegiatan politik praktis memilih pemimpin daerah? Sehingga, memilih pemimpin dengan KTP non-Islam boleh dan tidak termasuk keharusan beragama?

Kita dapati banyak perbedaan pendapat para ulama disini. Jika demikian adanya, tidak bisa-kah kita saling menghormati pendapat satu sama lain? Lana a’maluna – walakum a’malakum,bagi kami apa yang kami percayai dan kami lakukan, dan bagi kalianlah apa yang kalian percayai dan kalian lakukan.

Jika kita jujur pada diri kita sendiri, sebenarnya kita terlalu mendahulukan emosi dari pada berpikir jernih. Berhati-hati dalam memutuskan setiap tingkah laku kita. Akhirnya, kita hanyut dalam arus kebencian dan semakin jauh dari kebenaran itu sendiri.

Kita mendaku diri sedang berjihad membela agama, namun laku kita justru banyak melanggar dan melangkahi prinsip-prinsip agama kita sendiri. sebagai contoh misalnya prinsip verifikasi atau tabayyun. Sudah sejauh mana kita melakukan tabayyun ketika kita menerima informasi atau kabar? Sudah kah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun