Kedudukan manusia menurut Islam terbagi pada dua, yaitu sebagai 'abullah dan khalifah. Al-Qur'an telah menjelaskan eksistensi manusia sebagai 'abd atau hamba Allah ini dalam  Q.S. al-Zariyat 56 yang berarti :Â
 "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". Â
Dari ayat di atas diketahui bahwa tujuan penciptaan manusia sekaligus tugas manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah.Kehidupan dunia hanyaah sementara.Dunia adalah ladang untuk mencari kehidupan yang mulia di akhirat.Allah tidak butuh ibadah kita,tapi justru kita yang sangat butuh untuk beribadah kepada Allah.Ibadah terdiri dari ibadah maghdah dan ghairu mahdah.Ibadah maghdah yakni ibadah yang kita tujukan langsung kepada Allah tanpa perantara manusia,contohnya yaitu shalat dan puasa.Sementara ibadah ghairu maghdah yakni ibadah yang kita lakukan melalui perantara dunia dan tidak langsung kepada Allah ,contohnya seperti zakat,sedekah,bermuamalah yang sesuai syariat dsb.Pendapat para ulama beragam dalam merumumuskan makna ibadat secara istilah. Dengan kata abd, Allah swt. ingin menunjukkan salah satu kedudukan manusia sebagai hamba Allah yang mengemban tugas-tugas peribadahan.
 Sedangkan mengenai kedudukan manusia sebagai khalifah dapat kita temukan dalam QS. al-Fatir : 39 yang berarti
"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah- khalifah di muka bumi...".Â
Ayat tersebut memberikan penegasan terhadap informasi yang terkandung dalam ayat-ayat sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah swt mengetahui apa yang tidak terlihat oleh manusia, maka ayat ini menjelaskan Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Â Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa, yang berarti menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya, karena itu khalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Dengan inilah kata khulufa dan khalaif sebagai bentuk jamak dari kata khalifah telah digunakan dalam al-Qur'an. Dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai khalifah fi al-ardh menurut Ensiklopedi Islam, bahwa khalifah itu berarti wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi; pengganti nabi Muhammad saw dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan, bahkan lebih jauh khalifatu fi al-ardh digambarkan sebagai kedudukan yang kudus, yaitu zill al-Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di permukaan bumi). Evidensi semua pengertian di atas, mengisyaratkan hal yang sama bahwa kata khalifah bermakna seseorang yang menggantikan yang lainnya, hanya saja di sini terdapat perbedaan yang cukup tajam tentang siapa yang digantikannya. Dalam hal ini Shalih Abdullah mengklasifikasikan kepada tiga pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan spesies lain yang pernah lebih dahulu hidup di bumi. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa istilah khalifah dipakai untuk merujuk kepada kelompok manusia yang menggantikan kelompok manusia yang lain. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa khalifah bukanlah sekedar menunjuk pengertian seorang mengganti atau mengikuti yang lain, namun lebih jauh adalah pengganti Allah. Memahami perbedaan pendapat di atas, dibawah ini dikemukakan gambaran al-Qur'an
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".Â
Jika melihat bagaimana hubungan manusia dengan Allah swt seperti digambarkan surat al-Baqarah 30 di atas, antara yang Mencipta dan yang dicipta, jelas bahwa penunjukan istilah khalifah lebih cenderung pada makna pengganti Allah. Dalam pengertian bahwa manusia mempunyai beban normatif untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh Allah swt. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian khalifah sebagai duta atau wakil Tuhan di muka bumi merujuk pada pengertian individual yang dapat dimiliki oleh setiap umat manusia. Semua manusia berhak mendapat predikat yang sama, hanya saja kualifikasi ke-khalifah-annya akan ditunjukkan oleh sejauh mana hasil optimalisasi potensi kemanusiaan manusia tersebut. Â Pada tahap struktural, al-Qur'an menyebut manusia sebagai nafs, dari ego, ke-Aku-an yang terbentuk dari unsur jasad, hayat dan ruh. Sedangkan dalam tahap fungsional menurut As'arie, al-Qur'an menyebut manusia sebagai abd dan dengan khalifah. Maka esensi manusia sebagai abd Allah, adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Sedangkan khalifah esensinya adalah kebebasan dan kreatifitas dalam upaya pembentukan kebudayaan, yang dalam konteks antropologi merupakan suatu proses perwujudan eksistensi manusia. Â Kehadiran konsep khalifah, dalam hal ini tidak lantas dipertentangkan dengan konsep 'abd, sebab keduanya berada dalam mainstream pemikiran yang sama.
Menarik interpretasi Tobroni dan Samsul Arifin, fungsi manusia sebagai abd, khalifah dalam konteks lebih makro, atau minimal dalam paradigma tauhid, keduanya tidak dipandang sebagai kesatuan terpisah, tapi memerlukan hubungan dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya. Dua tugas pokok di atas, haruslah merupakan paduan interaktif dan dialektis yang saling mempengaruhi dan saling mendukung, sehingga tercipta pribadi yang utuh dan sempurna dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dalam kerangka trilogi hubungan harmonis- dinamis, antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan masyarakat, dan lingkungan alam sekitarnya. Jika hal tersebut dilakukan, maka substansi kedudukan manusia sebagai khalifah dan abdullah dengan sendirinya akan terjelaskan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI