Ternyata, mengajar siswa SMP tidak semudah yang saya bayangkan.
Saat ini, saya mengajar Bahasa Indonesia di kelas 9 SMP. Dulu, sebelum menjadi guru, saya punya pandangan bahwa semakin tinggi jenjangnya, semakin sulit pula mengajarnya. Saya pikir, mengajar siswa SMA pasti jauh lebih menantang daripada mengajar anak TK atau SD.
Pandangan itu tidak muncul tanpa alasan. Waktu itu, saya melihat bahwa anak-anak kecil lebih mudah diarahkan. Mereka masih bisa diatur, dimarahi, bahkan diberi hukuman tanpa banyak perlawanan. Sementara remaja dan orang dewasa cenderung berpikir sendiri dan sering membantah. Tapi setelah saya benar-benar menjadi guru, saya menyadari sesuatu---pandangan itu keliru.
Mengajar siswa SMP ternyata tidak kalah menantang. Kesulitannya tidak bisa diukur dari usia atau jenjang, melainkan dari cara berpikir dan karakter masing-masing siswa.
Saya tahu, masih banyak orang yang berpikir seperti saya dulu: bahwa mengajar SMP itu mudah. Namun, begitu mereka benar-benar masuk ke ruang kelas, saya yakin pandangan itu akan berubah dalam hitungan menit.
Contohnya, beberapa waktu lalu saya memberi tugas kepada siswa kelas 9 untuk mengubah film pendek menjadi cerita pendek. Saya memutarkan film berdurasi singkat, lalu meminta mereka menuliskan versi ceritanya dengan alur yang sama. Singkatnya, saya ingin mereka berperan sebagai penulis skenario yang mengubah visual menjadi tulisan.
Awalnya, saya merasa penjelasan saya cukup jelas. Mereka mengangguk, mencatat, dan tampak mengerti. Tapi ketika saya memberi waktu untuk mulai menulis, satu per satu maju ke depan---bukan untuk mengumpulkan tugas, melainkan untuk bertanya maksud tugasnya. Saat itu saya sempat bingung, bahkan bertanya dalam hati, Apakah penjelasan saya yang salah? Apakah mereka pura-pura mengerti?
Belakangan saya sadar, siswa SMP memang belum mampu berpikir seluas itu. Mereka membutuhkan penjelasan yang konkret dan detail. Guru tidak bisa hanya memberi instruksi umum seperti, "Warnailah bunga itu dengan bagus!"
Kita harus mengatakan, "Warnailah bunganya dengan pensil warna ungu, batangnya cokelat, daunnya hijau, dan cobalah buat gradasinya."
Baru setelah itu hasilnya bisa sesuai harapan.
Dari pengalaman ini, saya belajar satu hal penting: setiap jenjang punya tantangannya masing-masing. Tidak adil jika kita menganggap bahwa mengajar anak kecil lebih mudah, atau mengajar remaja lebih sulit. Semua jenjang memiliki kerumitannya sendiri---tinggal bagaimana kita, para guru, belajar menyesuaikan cara terbaik untuk memahami mereka.
Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar, tapi juga tentang belajar---belajar memahami cara berpikir yang berbeda, belajar menyesuaikan diri, dan belajar untuk terus sabar.