Fenomena kebelet dewasa di kalangan pelajar kini menjadi perhatian serius. Mereka tak hanya sekadar ingin terlihat dewasa, tetapi juga terburu-buru menerapkan gaya hidup, perilaku, dan tanggung jawab yang belum sesuai dengan usia mereka. Artikel ini akan mengupas fenomena tersebut dan mengaitkannya dengan psikologi pendidikan, khususnya teori perkembangan psikososial Erikson dan teori belajar sosial Bandura.
Apa Itu 'Kebelet Dewasa'?
Kebelet dewasa merujuk pada dorongan kuat dari remaja untuk segera mencapai kedewasaan. Mereka mencontoh figur-figur dewasa, baik dari lingkungan sekitar, media sosial, maupun idola, dan menganggapnya sebagai standar yang harus dicapai. Sayangnya, proses ini seringkali dilewati tanpa pemahaman mendalam tentang konsekuensi dan tahapan yang seharusnya mereka jalani.
Ada beberapa ciri umum dari fenomena ini, seperti:
1. Pilihan Gaya Hidup: Remaja terburu-buru menerapakan gaya hidup dewasa, seperti merokok, minum alkohol, atau bahkan mengkonsumsi narkoba, karena menganggapnya sebagai tanda kemandirian dan kebebasan.
2. Hubungan Romantis: Mereka tak lagi berpacaran secara sederhana, tetapi meniru hubungan romantis yang kompleks layaknya orang dewasa.
3. Media Sosial: Mereka menggunakan media sosial untuk membangun citra diri yang 'dewasa', seringkali dengan menampilkan foto-foto provokatif atau menulis status yang terkesan 'berat'.
Erik Erikson: Krisis Identitas dan Kebingungan Peran
Teori perkembangan psikososial Erikson menyediakan pandangan yang sangat sesuai untuk memahami fenomena ini. Erikson membagi perkembangan manusia menjadi delapan tahap, dan tahap remaja (usia 12-18 tahun) adalah periode kritis yang disebut Identitas vs. Kebingungan Peran. Pada tahap ini, remaja sedang berusaha keras untuk menemukan jati diri mereka. Mereka mencari jawaban atas pertanyaan "Siapa aku?" dan "Aku mau jadi apa?". Sayangnya, tekanan dari lingkungan dan media massa seringkali membuat mereka gagal melewati tahap ini dengan baik. Mereka yang gagal akan mengalami kebingungan peran, di mana mereka tidak memiliki identitas yang kuat. Kondisi ini membuat mereka rentan untuk meniru identitas orang lain, termasuk identitas 'dewasa' yang mereka lihat di media sosial. Mereka menerapkan peran tersebut, berharap bisa menemukan pengakuan dan penerimaan dari lingkungan sekitar.
Albert Bandura: Belajar dari Lingkungan
Teori belajar sosial dari Albert Bandura juga menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi. Bandura berpendapat bahwa manusia belajar melalui observasi dan peniruan. Remaja, yang sedang mencari identitas, sangat mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di sekitar mereka, terutama di media sosial. Media sosial menampilkan kehidupan orang dewasa yang serba glamor dan penuh kebebasan. Remaja cenderung melihat sisi luarnya saja, tanpa memahami perjuangan dan tanggung jawab di baliknya. Mereka melihat idola mereka memiliki mobil mewah, pakaian mahal, atau kebebasan untuk bepergian, dan menganggap hal tersebut adalah esensi dari kedewasaan. Proses peniruan ini disebut pemodelan (modeling). Remaja menjadikan para figur tersebut sebagai model, dan meniru perilakunya, dari cara berpakaian, berbicara, hingga cara mereka berinteraksi. Sayangnya, pemodelan ini seringkali tidak diikuti dengan pemahaman akan nilai-nilai yang seharusnya, seperti tanggung jawab dan kemandirian finansial yang sesungguhnya.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Masalah Ini
Sistem pendidikan memiliki peran krusial dalam membantu remaja melewati masa ini dengan baik. Psikologi pendidikan memberikan beberapa solusi, antara lain:
1. Pendidikan Karakter: Sekolah harus memfokuskan kurikulum pada pengembangan karakter, di mana siswa diajarkan tentang nilai-nilai inti seperti tanggung jawab, dan kemandirian.
2. Bimbingan Konseling: Guru dan konselor harus lebih aktif dalam memberikan bimbingan dan konseling. Diskusi terbuka tentang perkembangan remaja dan perkembangan karier sangat penting untuk membantu mereka menemukan jati diri tanpa harus menerapkan identitas palsu.
3. Pendidikan Literasi Media: Sekolah harus mengajarkan literasi media agar siswa mampu memfilter dan menganalisis informasi yang mereka dapatkan dari media sosial. Mereka harus diajarkan bahwa apa yang terlihat di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya.
Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu remaja untuk menjalani setiap tahap perkembangan mereka secara alami, tanpa harus terburu-buru 'menjadi dewasa' sebelum waktunya.
Referensi :
"Krisis Identitas Budaya Generasi Z: Antara Lema Bahasa Nasional, Bahasa Daerah dan Bahasa Alay" oleh Anhar (2024)
Generasi Z dan Alpha: Potensi, Problem dan Solusi oleh Rohmad & Henie Ku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI